Sudah saatnya..

By Akhyari Hananto

Ada pemandangan yang sangat mencolok mata pagi ini ketika saya mengisi Pertamax di sebuah SPBU di Surabaya. Tepat ketika petugas Pertamina selesai mengisi tanki mobil saya (yang bukan mobil mewah), seorang penjual tahu dan arem-arem menghampiri saya yang sedang mengambil uang dari dompet untuk membayar BBM.

Saya mengamati orang ini sebentar.

Bapak ini belum cukup tua, mungkin sekitar 45 tahun-an, badannya kecil dan agak kurus, bersandal jepit, bercelana panjang, berpeci, dan berbaju putih lengan panjang. Bapak ini sengaja berpakaian rapi untuk (sekedar) berjualan tahu dan arem-arem berkeliling berjalan kaki. Bapak ini tidak punya motor seperti para penjual lain yang dengan mudah berkeliling kemanapun untuk menjual jajanannya. Bapak ini mungkin hanya memakai listrik skala terkecil dengan pemakaian sangat minim di rumahnya.

Sosok pak Susilo (namanya) ini adalah korban langsung ketidakadilan dalam subsidi BBM dan listrik. Dia dan keluarganya tidak mendapatkan manfaat langsung dari subsidi raksasa yang digelontorkan dari anggaran tahunan pemerintah. Jumlahnya sangat raksasa. Hampir Rp. 200,000,000,000,000 ! (Baca : Rp. 200 trilyun), nilai yang tak terbayangkan oleh saya, apalagi oleh pedagang asongan seperti pak Susilo.

Kalau anda jalan-jalan di  Jawa Timur menggunakan kendaraan roda empat, anda akan merasakan apa yang saya rasakan selama ini. Hampir seluruh ruas jalan utama di Jawa Timur (termasuk kota2 besar seperti Surabaya, Sidoarjo, Malang, dll) mengalami kerusakan, entah bergelombang, berlubang, atau kualitas jalan yang kurang memadai. Jangan bermimpi punya Ferrari dan ngebut Surabaya-Madiun, bahkan mobil saya yang ber-ground clearance lumayan tinggi pun tak mampu berlama-lama dipacu dengan kecepatan tinggi. Ini jugalah korban langsung subsidi raksasa BBM. Tak banyak lagi anggaran tersisa untuk memperbaiki dan membangun jalan.

Pendidikan, fasilitas kesehatan, pembangunan jalan, rel kereta, pelabuhan, akan terlalu panjang menulis ‘korban korban’ lain.

Salah satu korban  ’terpenting’ yang dilupakan banyak orang adalah, defisit anggaran. Kalau anggaran sudah defisit, maka siapapun pasti akan dengan mudah menerka korban berikutnya…yakni utang luar negeri. Beban utang yang terus menumpuk ini, akan menjadi beban anak-anak kita di masa depan. Sungguh tidak adil. Anak-anak kita yang ‘tak tahu apa-apa’ harus memikul beban utang, hanya karena kita yg hidup saat ini ‘malas’ menanggung beban kenaikan harga BBM. Sungguh ketidakadilan lintas generasi yang mengerikan!

Saya berhenti berpikir, dan kemudian membeli 10 tahu dan 5 arem-arem dan pak Susilo dan menyerahkan Rp. 20 ribu. Bukan uang kecil untuk pak Susilo.

Dan ketika saya mulai beranjak pergi, sebuah Toyota Fortuner keluaran baru berwarna putih berhenti dan…mengisi Premium. Si empunya adalah anak muda 20-an tahun, mungkin akan menjemput pacarnya, atau sekedar kongkow, entahlah. Dan yang jelas, negara memberikan subsidi kepada si pemuda kaya itu.

Sungguh, sebuah ketidakadilan lintas generasi yang mengerikan!

(Foto : Republika)

About author
Comments
  1. budak bageur

    4 / 24 / 2013 9:19 am

    what a bad news.. :(

    Reply

  2. f1rsty

    4 / 24 / 2013 11:30 am

    this is not a good news ….. :( (

    Reply

  3. Ahmad Kiwang

    4 / 24 / 2013 2:36 pm

    Naikin BBM maksimal buat sepuluh tahun ke depan Rp10000/ltr dan pemerintah mengsubsidi beras kualitas3 plus bahan pokok lain buat si miskin
    kenapa karna orang kaya makan beras kualitas1

    Reply

  4. RUDY

    5 / 1 / 2013 11:31 am

    Coba klo kita bandingkan kondisi di Jawa dan di Luar Jawa. Rasanya di Jawa tdk separah ngantri BBM, dibanding dg di Luar Jawa. Sekarang saya ada di Kaltim-Balikpapan_ ngantri BBM kaya ngantri minyak jaman thn 60-70an. Akhirnya kami hanya dijatah Rp120rb sehari unt beli Premium, pembelian pakai drum, jerican tdk diijinkan.
    Klo mati lampu hrs menyalakan genset terus beli premium dimana? ya premium eceran yg dikenal dg nama premium “Pertamini” harganya: Rp6000/btl beer. Klo diperhatikan lgi kebocoran2 penjualan premium ini yg perlu diselidiki (bukan menyelidiki yg kecil2 spt Pertamini), tapi yg besar2 seperti perush tambang, perkebunan, dll kok bisa pakai premium bersubsidi? Mereka pintar, tdk mau investasi ditransportasi, tapi sewa/kontrak dg swasta/pribadi yg msh bisa menggunakan premium bersubsidi. Jadi tetap tdk bisa kalah. Klo pakai kartu? artinya disetiap STNK kendaraan roda 4 atau lbh ditempel bar code, jadi ketahuan berapa konsumsi BBM setiap minggu atau bulannya. Pertanyaannya, siapa yg menanggung investasi mesin? ya Pertamina tentunya.
    Klo hanya pembatasan/penjatahan/quota, kasihan kami rakyat kecil ini, hrs ngantri semalam unt bisa beli BBM, pendapatan kami sangat menurun krn waktunya habis unt ngantri saja. Akibatnya barang2 naik, siapa lagi yg hrs menanggung resiko, ya kami ini. Wah… rempong deh.

    Reply

  5. Julia

    5 / 7 / 2013 2:14 am

    BBM naik tidak jadi soal asalkan tingkat kenaikannya tidak melebihi 10rb, dan kompensasi untuk rakyat miskin bisa lebih tepat sasaran.

    Reply

Nickname:

E-mail:

Homepage:

Your comment:

Add your comment