Maestro Lukis Asal Semarang yang Terkenal Sampai ke Eropa

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Menimba ilmu dari orang Belgia, tiga tahun kemudian ia menjadi salah satu pelukis terkenal di kalangan Eropa dengan karyanya menjadi koleksi Ratu Elizabeth II dan dipajang di museum-museum seni dunia.

Raden Saleh lahir di Semarang tahun 1811. Dirinya dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab. Kedekatan keluarganya dengan Belanda membuatnya mudah mendapat akses pendidikan, sehingga Saleh dikenal memiliki banyak keahlian. Melihat kedekatan tersebut beberapa sejarawan bahkan menyebut Saleh adalah orang pribumi pertama yang terkait dengan Tarekat Mason bebas atau dikenal dengan Freemasonry.

A Flood in Java, 1865-1875 (Foto: Tropenmuseum)

A Flood in Java, 1865-1875 (Foto: Tropenmuseum)

Perjalanan Raden Saleh dalam dunia melukis dimulai ketika ia belajar melukis dari pelukis Belgia, A. Payen, hingga sekitar tahun 1826. Ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Eropa. Beasiswa didapatkan dari para inspektur kolonial Belanda, setelah tiga tahun belajar melukis dari A.Payen dan datang ke Belanda.

Tak hanya beasiswa, ia juga direkomendasikan kepada orang-orang penting Belanda seperti Baron Fagel, Dubes Belanda untuk Prancis, dan Baron de Vexela, yang menundukkan pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa.

Tahun 1845 ia mulai melukis sebuah kanvas besar, berjudul Chasse au cerf (Perburuan rusa), yang dipersembahkan untuk Raja Belanda, juga Chasse au tigre (Perburuan harimau) yang telah dibeli oleh Raja Louise-Philippe di tahun 1864 dengan harga relatif tinggi atas saran Clementine, yang menyokong sang pelukis.

Raden Saleh, 1863 - 1866 (Foto: Woodbury & Page)

Raden Saleh, 1863 – 1866 (Foto: Woodbury & Page)

Di tahun 1847, lukisannya yang berjudul Perburuan Rusa di Pulau Jawa dipamerkan dalam pameran tahunan yang berlangsung di Museum Louvre. Lukisan itu berukuran 293 cm x 246 cm, dan disambut hangat oleh publik dan dibeli oleh Raja Louis-Philippe dengan harga 300 francs.

Raden Saleh juga banyak mengirimkan lukisannya kepada Raja Willem III dari Belanda, dan kemudian dipajang di Rijkmuseum, Belanda. Di tahun 1931 lukisan itu kembali ke Paris untuk yang terakhir kalinya dalam pameran kolonial. Namun sayang karena terjadi kebakaran di Paviliun Belanda di Paris tersebut, beberapa lukisan Saleh terbakar.

Namun bakat dan ketenarannya tak dapat mencegah kerinduannya kepada kampung halamannya. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda keengganan dengan kehidupannya di Paris dan kurang menaruh perhatian pada diri sendiri. Ia sedih dan kesepian, dan ingin kembali ke Jawa untuk bertemu keluarganya.

Akhirnya ditahun 1848 Raden Saleh kembali ke Jawa. Ia tidak pernah lagi menghubungi kenalan-kenalannya di Paris. Hingga 20 tahun kemudian, di tahun 1869, ia menghubungi Konsul Jenderal Prancis di Batavia, Duschene de Bellecourt, untuk memberikan dua lukisan barunya pada Napoleon III sebagai ucapan terima kasihnya atas sambutan bersahabat dari bangsa Prancis kepadanya 20 tahun yang lalu.

Setelah menerima lukisan-lukisan tersebut, Napoleon III segera mengirim kedua lukisan itu dengan kapal Capitole. Setibanya di di Paris (Juni 1870) keduanya langsung dipamerkan di istana Tuileries. Sayang, perang antara Prancis dan Prusia kemudian menyebabkan istana Tuileries terbakar, bersama dengan kedua lukisan milik Raden Saleh di dalamnya.

Juli 1875, Raden Saleh kembali ke Paris untuk yang terakhir kalinya. Kedatangannya tidak tepat karena saat itu terjadi Revolusi Prancis. Namun, ia berhasil menjual lukisannya yang berjudul Berburu Singa seharga 805.000 euro atau sekitar US$966.000 ke Jerman. Bahkan pada tahun 2011 lukisan ini telah terjual kembali dengan harga 2 Juta Euro.

Kisah Raden Saleh berakhir ketika dirinya meninggal pada Jum’at pagi 23 April 1880 di Bogor. Ia dikuburkan dua hari kemudian di Kampung Empang, Bogor. Seperti yang dilaporkan koran Javanese Bode, pemakaman Raden dihadiri sejumlah tuan tanah dan pegawai Belanda.

Dr. Werner Kraus, kurator pameran Raden Saleh dan Direktur Centre for Southeast Asian Art di Passau-Jerman, mengatakan bahwa saat Jawa di duduki oleh Belanda, semangat Saleh sebagai seorang Jawa tidak pernah luntur. Dalam beberapa lukisan, Saleh sengaja melukiskan kepala tentara-tentara Belanda itu lebih besar dibanding badan mereka. Saleh ingin menunjukkan semangatnya sebagai orang Jawa.

“Kepala tentara Belanda yang besar itu mirip raksasa jahat. Posisi orang Jawa dilukiskan di sisi kanan perlambang lebih powerful, semangat rakyat Jawa tertindas,” ujar Kraus di Temu Wicara di Galeri Nasional Jakarta, tahun lalu.

The Arrest of Pangeran Diponegoro, 1857 (Foto: Merdeka Palace Museum, Jakarta.)

The Arrest of Pangeran Diponegoro, 1857 (Foto: Merdeka Palace Museum, Jakarta.)

“Saleh merupakan pelukis dengan teknik Eropa namun dengan konten sangat Jawa. Indonesian art. Saleh sejatinya anak pesisir, namun sejak usia belia dia sudah punya sense melukis yang bagus.” imbuhnya.

Pengakuan karya-karya Saleh banyak berdatangan dari kalangan elit Eropa. Lukisannya dipesan oleh tokoh-tokoh seperti bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels. Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, di antaranya terdapat bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), dan Ridder van de Witte Valk (R.W.V.)

Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan pada tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara anumerta, berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya.

Pada tahun 2008, sebuah kawah di planet Merkurius dinamai dengan nama Raden Saleh. Dan tahun lalu harian Frankfurter Allgemeine Zeitung menyebutnya sebagai Der Schwarze Prinz alias Pangeran Hitam.

nationalgeographic.co.id

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ