Categorized | Artikel, MSN

Indonesia: “The Laid Back Competitor”?

Dalam teksbook ilmu pemasaran yang di tulis oleh guru pemasaran Philip Kotler disebutkan tentang jenis pesaing; ada yang disebut “The Laid Back Competitor” yaitu jenis pesaing yang tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap serangan pesaingnya. Pesaing yang menjual produk murah dan lebih efisien ditanggapi “dingin” saja; tidak melakukan perubahan-perubahan yang perlu untuk melakukan perlawanan. Ada juga jenis pesaing yang disebut “The Selective Competitor” yaitu pesaing yang hanya ber-reaksi terhadap serangan tertentu dan tidak bereaski pada serangan lainnya; artinya apabila pesaing lain melakukan penyerangan dengan membuat harga produk lebih murah; maka jenis pesaing ini hanya bereaksi untuk juga sama-sama berusaha membuat harganya murah, tapi tidak bereaksi terhadap gerakan pesaingnya lainnya yang melakukan perbaikan-perbaikan di bidang teknologi atau pelayanan misalnya. Pesaing jenis “The Tiger Competitor” lah yang mungkin harus dihadapi dengan tindakan extra; karena pesaing jenis ini adalah pesaing yang bereaksi keras, cepat dan tepat menghadapi setiap serangan lawannya di wilayah kekuasaannya.

Indonesia sebagai negara penandatanganan berbagai perjanijan perdagangan bebas, mau tidak mau akan menghadapi serbuan produk-produk dari negara lainnya. Tergantung pada Indonesia sendiri apakah akibat dari berbagai perjanjian perdangan bebas itu Indonesia menjadi negara yang berjenis “The Laid Back” alias diam saja tidak melakukan apa-apa atas serbuan itu atau apakah akan menjadi jenis pesaing lainnya.

Jakarta's breeze (Gettyimages royalty-free)

Indonesai bersama-sama negara anggota ASEAN pada tahun 1992 di Singapura sepakat untuk membuat liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN ini dengan menyetujui bersama penurunan tariff impor secara “gradual” atau bertahap atas beberapa produk dari 20% sampai nanti menjadi 0%. Perjanjian ini terkenal dengan sebutan AFTA atau ASEAN Free Trade Area. Dan nampaknya pada tahun 2010 nanti klausula-klausula yang mengigkat tentang penurunan tariff ini akan mulai dijalankan.

Selain itu yang mulai ramai dibicarakan saat ini adalah perjanjian perdangan bebas antara ASEAN dan China atau disebut FTA (atau Free Trade Area) ASEAN – China yang kerangkanya sudah ditandatangani oleh President Indonesia (pada waktu itu Megawati) dan pemimpin-pemimpin negara ASEAN dan China pada tahun 2002 di Phnom Penh Vietnam. Perjanjian liberalisasi perdangan itu juga mensepakati penurunan tariff atas beberapa produk sampai 0% dan akan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2010.

Implikasinya Terhadap Indonesia.

Beberapa pengusaha di Indonesia merasa khawatir dengan perjanjian perdangan bebas yang mau tidak mau harus diterima itu. Mereka beranggapan bahwa FTA ASEAN-China cepat atau lambat akan menghancurkan sendi-sendi industri dalam negeri kalau pemerintah tidak memperbaiki iklim usaha dalam negeri.

Dulu Indonesia selalu menawarkan daya tarik ekonomi kepada pihak luar negeri dalam hal murahnya sumber daya manusia dan berlimpah dan murahnya bahan baku. Pada persaingan global saat ini apa yang ditawarkan dulu sudah tidak berlaku lagi karena adanya perjanjian perdagangan bebas tadi. Negara-negara pesaing Indonesia tidak lagi harus mencari bahan baku dan SDM yang murah melainkan mencari negara yang lebih efisiean dan memberikan kemudahan berusaha yang lebih baik. Beberapa perusahaan asing yang dulu berinvestasi di Indonesia pada ramai-ramai merelokasi perusahaan keluar negeri yang dianggap lebih efesien, dengan peraturan hukum yang lebih konsisten; toh nantinya produk-produknya bisa dengan mudah masuk ke Indonesia dengan harga murah karena tarifnya sudah 0%!.

China negara yang dikenal lebih konsisten dalam membantu perusahaanperusahaanya yang berorientasi ekspor akan “all-out” membuat produk-produknya lebih murah dari pesaingnya akan memanfaatkan implementasi pedagangan bebas itu. Negara ini sering mengalami surplus dalam perdangannya dengan negara-negara ASEAN. Misalnya pada tahun 2008 nilai ekspor Indonesia ke China USD 11,6 milyar dan nilai impornya dari China USD 15,2 milyar. Padahal pada tahun 2007 impor Indonesia dari China masih USD 8,6 milyar. Tentu China ingin memanfaatkan momentum perjanjian bebas ini dengan manaikkan angka ekspornya ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. China yang “market export destination” nya sudah “diversified” atau beragam tidak tergantung pada satu atau dua negara saja sudah menjadi “main competitor” dari negara-negara maju. Tak heran devisa negara ini bisa mencapai kisaran diatas USD 1 triliun. China sudah masuk kategori “The Tiger Competitor”.

(Image by Gettyimage royalty-free)

Nampaknya Indonesia ini kaya akan policy atau kebijakan tapi miskin akan implementasi. Misalnya saja ditataran nasional memang ada keinginan kuat untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain. Namun yang masih dirasakan adalah implementasi keinginan tadi. Diberbagai daerah masih ada saja daerah yang memiliki Perda yang tidak pro-usaha (meskipun sudah ada banyak Perda seperti ini yang sudah dihapus). Pelayanan “satu atap” atau “one gate system” untuk perijinan usaha masih banyak bersifat retorika karena pengusaha masih saja mengeluarkan “extra money” untuk mengurus segala keperluan bisnisnya. Dan ini yang menyebabkan “high cost economy” itu.

Selain itu agak sulit melawan serbuan produk-produk China dan negara-negara ASEAN yang murah karena berlakuknya FTA ini bilamana pembangunan infrastruktur yang harusnya dapat menunjang dunia usaha masih belum terealisasi. Misalnya saja infrastruktur dibidang listrik. Ketersediaan listrik merupakan bagian yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ketersediaan listrik masih menjadi tantangan dan akibatnya pemadaman listrik bergilir ini sangat memukul dunia usaha, karena akibat dari hal ini produktivitas dan daya saing dunia usaha kita menjadi terpukul.

Apabila Indonesia masih membiarkan hambatan usaha dalam negeri seperti dulu dan sekarang ini, maka sangat sulit bagi Indonesia untuk bersaing di kancah persaingan global apalagi di kancah persaingan yang diakibatkan oleh berlakunya berbagai macam Free Trade Area (FTA). Jangan sampai negeri ini akan masuk kategori sebagai “The Laid Back Competitor” alias negara yang hanya diam dan terpaku menghadapi serbuan produk murah dari negara lain. Dan sikap seperti inilah yang akan menghancurkan industri dalam negeri.

*) Drs. Ec. A. Cholis Hamzah, MSc, adalah alumni FE Unair dan University of London, dan saat ini sebagai pengajar di STIE PERBANAS Surabaya. Hp: 08123-2624-59.

Popularity: 1% [?]

Share this Good News!
  • Print
  • Digg
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google Bookmarks
  • email
  • Reddit
  • Technorati
  • Twitter
  • Yahoo! Buzz
  • Tumblr
  • LinkedIn
  • MySpace

This post was posted by:

Akhyari - who has posted 780 posts on Good News From Indonesia.


Contact the author


Leave a Reply

Design your own t-shirt at ooShirts.com!

GNFI’s Charity Project

GNFI Channels


ShoutMix chat widget

counter
Share

Good News by Month