Siapa Bilang Kita Tak Bisa?

Namanya Aisya Rabbanea Zahra, anak saya yang pertama, lahir di Singapura, setahun sesudah terpilihnya presiden baru Indonesia dan Tsunami Aceh, 6 tahun sesudah pergantian millenium, 8 tahun sejak reformasi, 5 tahun sesudah perang US-Taliban, 3 tahun setelah US menginvasi Iraq. Aisya lahir bukan di masa masa yang penuh damai, dia lahir ketika Indonesia sedang tidak nyaman, sedang banyak demo, harga harga naik, dunia sedang kacau, minyak naik, perang dimana mana, terorisme pun menggejala. Aisya lahir ketika Indonesia tengah menapakkan kaki setelah sekian tahun terkulai lemas dan hampir runtuh.

Di sisi lain, era ini juga ditandai dengan semakin meningkatnya kekayaan orang orang dan bangsa bangsa, tidak ada lain blok barat dan timur, tidak ada lagi ancaman nuklir, makin banyak negara yang bekerja keras di masa lalu, menikmati hasilnya masa kini.

Singapur, Cina, dan Indonesia

Inilah eranya Singapore. Siapa yang menyangka negara yang dulunya miskin, tanpa sumber air dan sumber daya, bisa menjadi salah satu negara paling kaya di dunia? Dengan penduduk hanya sekitar 4 juta tapi menghasilkan GDP yang menyamai negara dengan penduduk 20 kali lipat. Inilah eranya Bostwana, negeri di Afrika yang bahkan tidak mempunyai pantai, yang mampu bangkit dari pendapatan perkapita $80 per tahun setelah kemerdekaan menjadi $6.600 sekarang ini, dan obligasinya dihargai lebih tinggi dari obligasi Jepang.

Inilah era dimana seseorang mampu memperoleh penghasilan melebihi penghasilan sebuah negara. Lihat saja Warren Bufet, atau Bill Gates.

Inilah era dimana sebuah perusahaan penerbangan bisa berinvestasi melebihi cadangan devisa sebuah negara. Lihatlah Lion Air di Indonesia yang menginvestikan $12 milyar, lebih dari cadangan devisa Bangladesh.

Inilah eranya Senzhen di China, sebuah kota yang dulunya hanya berpenduduk 200.000 yang hanya dalam waktu 20 tahun menjadi megacity dengan penduduk lebih dari 10 juta dan dengan pendapatan $7.000 per tahun.

Lalu bagaimana dengan kita?

Nenek kakek kita dulu punya alasan untuk hidup susah karena penjajahan dan kolonialisme, serta peperangan tanpa henti. Maaf, generasi kita saat ini tidak mempunyai alasan itu, sama sekali tidak. Ada yang berasalan, Indonesia sudah terlalu rusak oleh korupsi, tapi dibandingkan dengan China 15 tahun lalu, kita belum apa apa. Sekarang, liatlah China.

Ada yang bilang, energi kita habis di jaman perang. Lihat Jerman, Jepang, dan Korea. Negara mereka hancur lebur dilanda perang, 15% penduduknya mati. Ssekarang, liatlah mereka.

Mari optimis!

Jangan percaya orang orang pesimis yang bertingkah sok tau dan sok penting. Jjangan percaya media-media kita yang hobi menyiarkan berita buruk tentang negeri ini. Percayalah pada contoh-contoh yang saya kemukakan di atas bahwa sebuah bangsa bisa maju hanya dalam kurun satu generasi saja. Ya, satu generasi.

Kita bisa meningkatkan GDP kita 10 kali lipat, memberantas korupsi, menjadi 5 besar ekonomi dunia, menjadi kebanggan Asia, menjadi tumpuan negara negara lain hanya dalam tempo 30 tahun. Tidak percaya? Sekali lagi, lihatlah Cina!

Kita bisa bangkit dari puing puing sekarang ini, menjadi kekuatan yang disegani seperti Jepang atau Korea. Kita juga bisa mulus menyusun demokrasi seperti Kamboja.

Tapi kebalikannya juga berlaku. Kita bisa menghancur  leburkan negeri ini hanya dalam kurang dari satu generasi seperti Pakistan, Afghanistan, dan Rwanda. Pelajari kehebatan mereka dulu, dan bandingkan dengan mereka sekarang.

Ingatlah kawan kawanku, bangsa Indonesia. Masa depan kita ada ditangan orang yang saat ini optimis dan giat bekerja, bukan orang yang pesimis dan suka mencela. Masa depan kita ada ditangan orang yang cinta negaranya, bukan orang yang cinta negara lain. Masa depan kita, ada di depan kita, dan bukan ditentukan oleh masa lalu kita.

Kondisi Indonesia di era Aisya Aisya kita nanti, pasti akan berbeda dari era kita sekarang. Semua tergantung pada kita sekarang, apakah berbeda bermakna jauh lebih baik atau lebih buruk. Sekali lagi, tanggung jawab akan masa depan anak anak kita ada di pundak kita, ada di otak kita, ada di hati kita, ada di tangan tangan kita.

About author
Comments

No comments yet.

Be first to leave your comment!

Nickname:

E-mail:

Homepage:

Your comment:

Add your comment