Sang Penakluk Berkaki Satu

 Jalannya tidak tegap, tapi badannya kuat. Kakinya tinggal satu, tapi semangatnya utuh. Tongkat sepanjang 150 cm setia menyangga tubuhnya yang menghitam. Ia bukan orang yang “cacat”, tetapi orang yang sabar. Dialah Sabar Gorky sang penakluk Elbrus.

 Jalan Slamet Riyadi kota Solo siang bolong itu tiba-tiba macet. Tidak ada perayaan ataupun demo mahasiswa. Bukan pula karena hujan atau perbaikan jalan. Rupanya para pengguna jalan memperlambat laju kendaraannya. Mereka menoleh ke sisi kiri, melihat pemandangan aneh: seorang berkaki satu bergelantungan di puncak gedung berlantai sembilan. “Edan tenan,” ujar salah seorang pengendara. Sementara, pria yang diatas gedung itu justru membalas dengan lambaian tangan dan siulan. Suit suiiit.

 Itulah salah satu pekerjaan utama penyandang cacat bernama Sabar Gorky: membersihkan kaca gedung-gedung bertingkat. Setiap kali bergelantungan, seringkali menjadi obyek perhatian masyarakat. Meskipun kakinya tinggal satu, seolah tidak berpengaruh dalam dirinya. Masih tampak jelas kegigihan hidup, kemandirian serta sikapnya pantang menyerah. Baginya, hobby-nya naik turun gunung sejak tahun 1986 telah mengantarkan dirinya berprofesi beresiko tinggi. Sesuatu yang disyukurinya setiap saat.

Sejak salah satu kakinya tergilas kereta di Kerawang pada 5 April 1990, ia tetap setia terhadap alam. Mendaki gunung dengan satu kaki dan bantuan tongkat dilakoninya dengan hati yang ceria. Hampir semua gunung tinggi di Indonesia sudah dipuncaki, kecuali Jayawijaya. Bukan karena tidak mampu, tetapi lebih karena keterbatasan finansial. Meskipun begitu, impiannya untuk menaklukkan the Seven Summits telah menggelora dan senantiasa berkobar sejak ia duduk di bangku SMA. “Bagi saya, kaki satu tidak ada masalah, toh bisa digantikan dengan tongkat,” ujarnya santai.

Pucuk dicinta ulam tiba. Pertemuannya dengan Teguh Santosa, Pimred Rakyat Merdeka Online (RMOL) tahun lalu menjadikan sebagian mimpinya berbuah kenyataan. Dengan dukungan Presiden SBY dan beberapa kementerian, tahun ini Sabar mendapatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menjamah salah satu pucuk gunung dunia, Elbrus. Gunung tertinggi di Eropa penuh salju itu dicoba ditaklukkan bersama tim Ekspedisi Merdeka-RMOL.

  Perjalanan panjang berliku

Tiba di Moskow dari Indonesia bukanlah sebuah koma dari sebuah perjalanan panjang. Menuju puncak Elbrus masih memerlukan energi 100 kali lipat. Setelah beristirahat dua hari ibukota Moskow, Sabar Cs harus terbang ke kota Mineralnye Vody selama 2,5 jam, seperti jarak antara Jakarta dan Lombok. Begitu mendarat, mereka kembali mengaspal sepanjang 45 km untuk menginap semalam di kota terakhir sebelum pendakian, Pyatigorsk.

 Dari kota kecil berpenduduk 200an ribu jiwa inilah Sabar memulai sebuah ekspedisi dalam arti yang sebenarnya. Perjalanan dari kota kecil Pyatigorsk ke Emanuel camp, bukan jalan yang lurus, di atas toll road, serta bisa diselingi dengan bernyanyi “naik-naik ke puncak gunung”. Inilah sebuah perjalanan cukup mengerikan bagi orang awam.

Perjalanan sepanjang 125 km tersebut dapat dibagi ke dalam empat etape besar. Pertama, menembus kota dan pedesaan Pyatigorks sepanjang 20 km. Awalnya jalan masih mulus, namun begitu masuk kampung, maka kubangan-kubangan aspal ada di semua sisi sehingga pengendara mobil harus mampu berzig-zag.

Etape kedua adalah jalanan non-aspal berdebu di sela-sela gunung. Perjalanan sepanjang 50-an km ini boleh dibilang masih lumayan. Cukup lebar dan penumpang mobil bisa melihat pemandangan puluhan gunung sambil bersiul.

Etape ketiga merupakan jalan bebatuan selebar 3 meter dan selalu berada di tepian gunung. Empat gunung harus didaki melalui jalan yang meliuk-liuk. Terlihat dari jauh, jalan menuju puncak gunung yang harus kita jalani lalu ketika kita sampai puncaknya terlihat lagi jalan di lembah curam hingga pucuk gunung yang lain. Rasanya, perjalanan itu tanpa ada ujungnya. Naik turun gunung pada kisaran ketinggian seribu meter berkali-kali membuat kepala makin pening.

Dan, etape mengerikan adalah 20 km terakhir. Bagaimana tidak, dengan lebar kisaran dua meter, jalan itu berbatu-batu dan banyak reruntuhan bukit. Di samping kiri selalu terdapat jurang sedalam 500-700 meter siap menelan kita bila kita lengah. Sedang di kanan terbentang tinggi tebing bebatuan yang setiap saat bisa longsor dan mengantarkan kita ke ujung jurang.

Perjalanan terakhir ini sungguh terasa panjang. Merayapi pinggiran tiga gunung, sisi tebing dan diatas tepian jurang dengan kemungkinan terguling. Ketika jalan, mobil akan meloncat-loncat seperti saat naik kuda akibat ban yang menerjang aneka bebatuan. Suasana ajrut-ajrutan itulah yang paling mengerikan. Sekali terpeleset, sangat bisa dipastikan mobil akan hancur luluh lantak ketika tiba di dasar jurang. Dan, malaikat dengan catatan amal sudah menunggu di ujung bawah.

Dan, seri etape terakhir ditutup dengan menyebarangi sungai selebar 200-an meter yang penuh dengan bebatuan dan air yang relatif cukup deras. Mobil terasa terlempar keatas lalu terbanting ke bawah. Miring ke kiri lalu tiba-tiba menungging. Adakalanya selip dan harus mundur lagi. Begitu tiba di seberang, sampailah kita di Emanuel Camp yang dituju. 

Bagi pendaki sekelas Sabar, perjalanan maut ini nyaris tidak ada artinya. Sepanjang perjalanan ia selalu riang dan bersiul. Terlihat keasyikan yang luar biasa dalam dirinya. “Saya tahu, ini baru sebuah mukadimah. Jadi, rasa ngeper saya masih harus disimpan di dalam ransel,” ujarnya sedikit sombong.

Pendakian Elbrus

Jalur yang dipilih Sabar Cs untuk menaklukkan Eblrus adalah jalur utara. Jalur ini tiga kali lipat lebih panjang dan lebih sulit dibandingkan jalur selatan yang sejak April tahun ini ditutup karena gangguan keamanan. Keuntunganya, bila berhasil dari jalur ini maka Sabar akan tercatat sebagai pendaki invalid pertama yang menaklukkan Elbrus dari jalur berat.

 

Ada tiga tahap pendakian yang harus dilalui. Dari Emanuel camp (2580 mdpl), seorang pendaki harus merayap ke Moraine camp (3800 mdpl). Lima enam bukit dan tebing curam harus dilalui. Setelah itu, di atas salju dan suhu di bawah minus, pendaki mesti naik tertatih-tarik dengan crampon dan stick-nya ke Lenz Rock (4600 mdpl). Pagi buta hari berikutnya, summit attack (5642 mdpl) baru dilakukan di tengah kegelapan malam dan kemiringan yang curam. Sedangkan dari jalur selatan pendaki jauh lebih mudah karena bisa naik kereta kabel sampai pada ketinggian 4000an mdpl.

Setelah dilakukan doa bersama dan pelepasan 13 Agustus 2011, Sabar Cs bersama tim dari UNNES dan UNJ, mulai melakukan aklimatisasi dari Emanuel camp ke Moraine camp. Perjalanan berbatu hari itu boleh dibilang sangat sukses. Melewati bukit dan jurang nan terjal, Sabar mencapai Moraine camp dalam waktu kurang dari 6 jam. Matahari yang lumayan mencorong di musim panas ini sangat membantu gerakan Sabar dengan bantuan tongkatnya. Pada hari yang sama, ia kembali ke Emanuel camp untuk kembali menginap semalam. Pergerakan naik turun seperti ini sangat diperlukan agar pendaki tidak mengalami mountain sickness.

Dari Moraine camp, pada 15 Agustus 2011, Sabar mulai mengayuh tongkatnya yang dipasangi crampon buatannya sendiri. Maklum perjalanan menuju Lenz Rock pendaki sudah merambah salju. Meskipun kemiringan belum terlalu, namun Sabar bersama teman dan pendampingnya mulai saling mengikatkan diri dengan tali agar ketika terjatuh masih saling bisa tertahan. Pendakian bersalju dibawah suhu minus 5 derajat Celcius ini memakan waktu sampai 7 jam. Istirahat sejenak, Sabar kembali turun ke Moraine untuk menginap semalam di dalam tenda. “Meskipun medan mulai sulit, namun saya masih bisa mengatasi. Semoga perjalan hari berikutnya juga lancar,” ujarnya.

Sesuai dengan tabiat alam Elbrus, cuaca sangat sulit diprediksi. Pada hari Sabar naik ke Lenz Rock lagi, badai salju turun tanpa henti selama berjam-jam. Pendakian menjadi sangat sulit karena pandangan mata terbatas dan crampon mudah terperosok dalam salju. Angin yang kencang membuat badan cepat lelah serta menguras tenaga. Dalam perjalanan ini, dua anggota tim rontok dan melempar handuk tanda menyerah. Mereka mundur dan turun ke camp sebelumnya ditemani seorang pemandu. Kesalahan seorang diantaranya karena konsumsi makanannya kurang, sedangkan yang lain kakinya lecet akibat sepatu terlalu sempit.

Sambil terus termehek-mehek, Sabar akhirnya sampai juga di Lenz Rock lagi untuk istirahat satu malam. Rupanya bermalam di tempat ini juga perlu keahlian sendiri. Di bawah suhu yang bisa mencapai minus 10 derajat Celcius, pendaki harus mampu tidur di tenda yang dingin, beralaskan plastik saja. Di setiap malam, badai salju seringkali datang dengan suaranya yang gemuruh. Hujan es (bukan salju) juga hal yang biasa. Mungkin, kesengsaraan di tempat ini nyaris mendekati neraka yang disediakan Tuhan di akhirat kelak. “Saat bangun pagi, salju sudah naik sedengkul,” kenang Sabar.

 Summit Attack

Menurut perhitungan, summit attack akan dilakukan mulai pukul 02.00 dini hari tanggal 17 Agustus 2011. Sayang sekali, hari itu perkiraan cuaca menyebutkan akan datangnya badai yang cukup besar yang menghalangi pendaki menuju puncak Elbrus. Hitung punya hitung, akhirnya diputuskan untuk menundanya menjadi pukul 09.00 pagi.

 Dengan pakaian lapis lima dan kacamata anti ultraviolet, Sabar bersama Budi dan dua pemandu mempersiapkan diri melakukan pendakian akhir. Cuaca yang sangat tidak bersahabat terpaksa diterabas dengan penuh keyakinan. Kali ini, semua tim harus betul-betul patuh kepada pemandu sebab jalur ini banyak dihiasi gua-gua bawah salju yang tidak kelihatan di permukaan. Tali temali antar pendaki selalu diperhatikan agar ketika seorang terperosok langsung bisa ditarik temannya.

 Menuju puncak Elbrus dirasakan sangat sulit oleh Sabar. Kemiringan yang semakin curam menyebabkan keseimbangan salah satu kaki dan cramponnya sulit dimanfaatkan. Setiap sepuluh langkah, tenaganya terkuras banyak sehingga memerlukan untuk sejenak berhenti. Bahkan, lebih 5 kali Sabar terjatuh tengkurap pasrah. Hanya karena teriakan-teriakan teman dan pemandu saja yang akhirnya membangkitkan semangatnya. “Come on Sabar. Don’t give up.”

 Perjalanan hari itu sungguh seperti tanpa batas dan titik akhir. Sampai dengan pukul 15.00, Sabar masih terseok-seok di ketinggian 5500an meter. Pada 40 meter terakhir Sabar kembali beberapa kali terpelanting. Ia meminta dua pemandunya agar membantu menariknya dengan tali menuju puncak, namun tidak dipahami. Sabarpun nyaris frustasi. Tongkatnya dipukul-pukulkan ke salju yang membeku.

 Dengan terus merayap pelan dan berkali-kali terguling, satu jam kemudian (16.45) Sabar baru mencapai puncak Elbrus. Napasnya sudah tersengal-sengal dan wajahnya layu menghitam. Tangan kanannya tetap memegang tongkat yang dipasangi bendera merah putih.

 Di puncak perjalanan panjang ini, Sabar sudah tidak mampu lagi berdiri tegak. Ia hanya terlentang di ujung gunung dengan cuaca minus 13 derajat Celcius. Terdiam meski sangat gembira. Membisu namun bahagia. Cita-citanya tercapai sudah. Tidak lama kemudian, ia hanya duduk dan diam seribu bahasa. Pemandunya tak berani mengusik. Tiba-tiba ia mengangkat tangan, sholat dua rekaat sambil berkali-kali mengucapkan syukur kepada Tuhan. “Teriakan yang paling berarti saat itu hanyalah sujud dan bersyukur kepadaNya,”

Di Moskow, diam-diam Dubes Hamid Awaludin terus mengikuti pergerakan Sabar Cs. Kue tart berbendera merah putih disiapkan dan dimasukkan dalam kulkas. Tak seorangpun boleh menjamahnya. Baru tiga hari kemudian, ketika Sabar tiba di KBRI Moskow, Dubes bersama Sabar memotongnya untuk 80 jamaah yang sedang berbuka puasa. Tepuk tangan meriah memenuhi ruang tengah kedutaan. “Terima kasih Pak Dubes. Terima kasih Pak SBY. Terima kasih kepada semua yang telah membantu saya,” kata Sabar dengan suaranya yang serak.

  Penulis : M. Aji Surya

(Penulis adalah diplomat Indonesia pada KBRI Moskow, [email protected])

VN:F [1.9.13_1145]
Rating: 4.0/5 (2 votes cast)
VN:F [1.9.13_1145]
Rating: 0 (from 0 votes)
Sang Penakluk Berkaki Satu, 4.0 out of 5 based on 2 ratings

Popularity: 1% [?]


About author
Comments

No comments yet.

Be first to leave your comment!

Nickname:

E-mail:

Homepage:

Your comment:

Add your comment