Pewarta Foto Kelahiran Papua menjadi Nominasi Fotografer Terbaik Dunia 2015

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Berita yang berkualitas tentu saja tidak hanya bergantung pada tulisan yang baik namun juga bergantung pada foto-foto yang berkualitas dibalik mata yang jeli dari para pewarta foto. Pewarta foto Indonesia yang dianggap memiliki kepekaan dan kejelian dalam melihat momen dalam setiap jepretannya adalah Ulet Ifansasti. Dirinya kembali menjadi nomine fotografer terbaik dunia untuk tahun 2015 versi harian Inggris The Guardian setelah tahun 2014 yang lalu menjadi nomine dari harian yang sama.

Ulet Ifansasti

“Nggak nyangka ya, karena fotografer dunia kan banyak banget. Terus kejadian-kejadian di luar Indonesia, banyak beritanya yang lebih dramatis,” ungkap Ulet seperti dikutip dari BBC Indonesia, Selasa (8/12).

Ulet, adalah seorang pewarta foto dari Getty Images. Dirinya menjadi nomine bersama sembilan fotografer dunia lainnya, seperti Abd Doumany yang mengabadikan dampak perang Suriah dan Kenzo Tribouillard lewat foto-fotonya terkait serangan teroris di Paris.

Ulet dipilih the Guardian berkat foto-fotonya yang berkisah tentang isu-isu sosial di Indonesia seperti joki cilik di Sumbawa, kebakaran hutan di Kalimantan, dan kehidupan pengungsi Rohingya di Aceh.

“Mungkin (aku dipilih) karena isu-isu sosial yang aku angkat,” ungkap lelaki yang karya fotonya telah menghiasi berbagai media ternama dunia semisal harian the New York Times, majalah National Geographic Traveler, majalah LIFE, majalah Time, dan surat kabar USA Today.

September lalu, pewarta foto yang telah bergabung dengan Getty Images sejak 2008 itu meliput joki (penunggang kuda) anak-anak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ini adalah kedua kalinya Ulet mengabadikan kisah mereka. Ulet mengungkapkan bahwa sejatinya para joki anak-anak itu tidak melakukannya karena kerelaan, namun karena paksaan sosial yang sudah menjadi budaya. Sebab mereka juga berperan menjadi tulang punggung keluarga dengan mendapatkan uang 50 ribu sampai 100 ribu rupiah untuk setiap perlombaan.

Resiko keselamatan dan bagaimana nasib pendidikan adalah sesuatu yang menjadi perhatian Ulet. Dirinya mengaku sempat menanyakan nasib seorang joki belia yang pernah diliputnya satu tahun sebelumnya. Namun Ulet mendapati bahwa anak tersebut telah meninggal. Hal tersebut terjadi karena memang menjadi joki anak-anak adalah sangat beresiko tidak hanya mengorbankan pendidikan namun juga sampai mampu menganjam keselamatan jiwa.

Foto lain dari karya Ulet yang dianggap menjadikannya pantas untuk menjadi nomine adalah hasil jepretannya tentang kebakaran hutan gambut di Palangkaraya Kalimantan Tengah November lalu. Perjuangan untuk mendapatkan foto yang baik membuat Ulet harus menantang maut karena harus berdiri diantara kobaran api dan memotret dengan jarak yang sangat dekat, sekitar satu hingga dua meter dari titik-titik api.

“Itu panas banget di dalam, karena kalau pakai lensa tele agak susah, karena sudah malam sehingga takut shaking. Jadi mau nggak mau harus mendekat dan pakai tripod,” katanya.

Isu sosial seperti Rohingya pun juga menjadi perhatian Ulet. Pria kelahiran Papua ini mengaku cukup terlibat emosional dengan para pengungsi. Sebab Ulet menjadi teringat keluarganya di Yogyakarta ketika melihat keadaan para pengungsi Rohingya di pusat pengungsian Bayeun di Aceh.

“Ketika menyaksikan anak-anak, (saya bertanya-tanya) bagaimana mereka survive di kapal berbulan-bulan tanpa makan, untuk mencari kehidupan layak. Saya jadi ingat keluarga dan anak di rumah. Saya jadi bersyukur bisa tinggal di Indonesia,” jelas Ulet.

Foto-foto jepretan Ulet tentang pengungsi Rohingnya ini kemudian dimuat oleh the Guardian dan pernah menjadi sampul depan harian the New York Times.

Ulet berujar bahwa sejatinya penghargaan hanyalah bonus dari kerja kerasnya saat ini. Menjadi nomine diantara ratusan ribu fotografer di dunia tentu saja telah menjadi pencapaian tersendiri. Namun dirinya menjelaskan bahwa hal yang paling penting adalah apa yang telah diabadikan dalam kameranya mampu memberikan dampak dan perubahan.

Meski sekadar nomine, penominasian Ulet ini semakin menjelaskan bahwa sejatinya foto yang baik itu tidak melulu soal gambar yang bagus. Sebagai pewarta foto, Ulet menjelaskan bahwa sebuah foto harus dilihat dari segi cerita. Apakah foto tersebut memiliki latar belakang cerita yang kuat atau tidak.

“Harus lihat juga dari segi ceritanya. Apakah latar belakang cerita kuat atau tidak. Jadi, bisa saja visualnya nggak terlalu bagus, tapi ceritanya kuat, di dunia internasional akan lebih diterima. Apalagi jika cerita yang kita angkat adalah cerita lokal,” ungkapnya.

Ke depan, Ulet berencana untuk melanjutkan projek pribadinya yang tetap banyak terkait dengan isu sosial dan lingkungan.

“Aku mau menyelesaikan proyek untuk deforestasi di Indonesia. Ini lebih ke proyek pribadi, untuk jangka panjang. Sehingga semoga bisa ngasih lebih banyak buat fotografer lain dan Indonesia,” tutupnya.

BBC Indonesia

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ