Menyapa Negeriku Berau
Ketika pertama kali menapaki kaki di pulau terluar dari Kalimantan Timur, hati saya sempat berucap, “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati.”
Teluk Alulu Maratua, sebuah kampung cantik dengan perairannya yang cukup tenang. Hari pertama kedatangan saya dan teman teman rombongan Menyapa Negeriku di pulau ini disambut oleh matahari senja yang membalut hutan-hutan di tanah lain, di kampung seberang Teluk Alulu. Saya menjadi teringat banyak hal tentang puisi, lukisan, novel dan drama anak-anak pesisir. Kami menginap di sebuah rumah dinas untuk kepala sekolah. Sebuah bangunan khas masyarakat pesisir dengan dinding dari kayu. Desain yang cantik, upaya menahan angin juga menyerap panas, agar suasana di rumah tetap terasa sejuk.
Pagi hari, keberangkatan tim menyapa negeriku ke sekolah, disambut oleh tawa cita anak-anak SDN 04 Maratua yang berbaris rapi membawa kertas bertuliskan ucapan selamat datang sembari menyanyi lagu tentang guru. Saya pikir melankolis dalam diri saya sudah hilang sejak meninggalkan SMPN 6 Berau, tertanggal di pohon ketapang. Tetapi di sini, akibat dari sambutan anak-anak, saya justru terjebak dalam ruang melankolia tercampur kegelishan saya yang sebagai seorang sarjana pendidikan. Ketika melihat betapa kehadiran seorang guru begitu diharapkan di sekolah ini, di kampung ini, di pulau ini. Kemelankolisan saya akhirnya menjadi sedikit mencair ketika anak-anak –tim penari dalling mengajak kami semua untuk menari. Saya tidak bisa menari, tetapi suka menari. Maka dari itu di setiap kesempatan, di pertemuan apapun, saya seringkali menyempatkan diri untuk menari, bahkan dengan musik pengiring dangdut sekalipun.
