Menyapa Negeriku Berau

Written by Menyapa Negeriku Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
1 replies

Ketika pertama kali menapaki kaki di pulau terluar dari Kalimantan Timur, hati saya sempat berucap, “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati.”

Teluk Alulu Maratua, sebuah kampung cantik dengan perairannya yang cukup tenang. Hari pertama kedatangan saya dan teman teman rombongan Menyapa Negeriku di pulau ini disambut oleh matahari senja yang membalut hutan-hutan di tanah lain, di kampung seberang Teluk Alulu. Saya menjadi teringat banyak hal tentang puisi, lukisan, novel dan drama anak-anak pesisir. Kami menginap di sebuah rumah dinas untuk kepala sekolah. Sebuah bangunan khas masyarakat pesisir dengan dinding dari kayu. Desain yang cantik, upaya menahan angin juga menyerap panas, agar suasana di rumah tetap terasa sejuk.

Pagi hari, keberangkatan tim menyapa negeriku ke sekolah, disambut oleh tawa cita anak-anak SDN 04 Maratua yang berbaris rapi membawa kertas bertuliskan ucapan selamat datang sembari menyanyi lagu tentang guru. Saya pikir melankolis dalam diri saya sudah hilang sejak meninggalkan SMPN 6 Berau, tertanggal di pohon ketapang. Tetapi di sini, akibat dari sambutan anak-anak, saya justru terjebak dalam ruang melankolia tercampur kegelishan saya yang sebagai seorang sarjana pendidikan. Ketika melihat betapa kehadiran seorang guru begitu diharapkan di sekolah ini, di kampung ini, di pulau ini. Kemelankolisan saya akhirnya menjadi sedikit mencair ketika anak-anak –tim penari dalling mengajak kami semua untuk menari. Saya tidak bisa menari, tetapi suka menari. Maka dari itu di setiap kesempatan, di pertemuan apapun, saya seringkali menyempatkan diri untuk menari, bahkan dengan musik pengiring dangdut sekalipun.

Karena Pak Dirjen Prof. Ali Ghufron Mukti dan Founder SM3T Pak Agus Susilohadi akan datang untuk meninjau langsung kegiatan kami selama di Berau, maka kelas dengan saya akhirnya difokuskan pada kemampuan menulis dan membaca puisi dan membuat komik. Sekolah memilihkan dua anak yang memiliki sikap berani –tidak malu-malu kucing–untuk membaca puisi dan satu anak untuk membuat komikstrip. Gaya mengajar menulis puisi dan komikstrip yang saya bagikan ke anak SDN 04 Maratua hampir sama dengan di SMPN 6 Berau. Anak-anak terlebih dahulu saya berikan wacana tentang hal-hal yang ditakuti atau harapkan untuk selalu ada. Setelah itu mereka diminta untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi apabila harapan mereka tidak sesuai kenyataan. Ternyata, anak-anak bersepakat bahwa apa yang mereka takuti selama ini adalah ketiadaan seorang guru. Maka puisi dan komikstrip yang mereka buat pun adalah tentang itu: guru. Saya belajar dari anak-anak ini tentang bagaimana cara mereka menghormati seorang guru, meskipun tidak pernah mereka katakan secara langsung.

Cukup sulit mengajarkan anak-anak di sebuah pulau terluar dengan akses yang sangat terbatas. Tidak ada buku-buku yang mereka baca. Tidak ada kursus khusus yang mereka dapat untuk mematangkan segala apa yang mereka bisa lakukan. Setiap hari, mereka hanya disuguhkan drama nelayan mencari ikan atau sekelompok ibu-ibu yang belajar menari dalling atau bermain beberapa cabang olahraga di halaman sekolah. Stimulus rangsang –laut, pohon, pantai– yang saya pikir akan berguna bagi mereka, ternyata tidak sama sekali. Anak-anak sudah sangat bosan melihat laut. Tidak ada yang istimewa dengan laut selain sebagai sumber mencari makan.

Sementara itu, kini anak-anak diminta untuk membuat sesuatu tentang dunia asing, yang bahkan dalam kamus keseharian mereka, mungkin baru pertama kali mereka dengar: Puisi dan komikstrip. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk saya memberi stimulus agar mereka paham dan mampu menciptakan sesuatu yang menurut mereka asing itu hingga benar-benar jinak. Hingga akhirnya, dari dua orang anak yang diminta menulis puisi, hanya satu orang yang mampu menulis sampai selesai. Mereka pun akhirnya diminta untuk berlatih membaca puisi –dan inipun jadi hal baru bagi mereka– dengan berbagai macam gaya, yang mampu saya contohkan. Meski pada akhirnya, pengalaman mereka yang pertama kali membaca puisi di depan khalayak –romongan dirjen, guru, orang tua, peserta menyapa negeriku, dan siswa-siswa–mengalahkan mental mereka. Pembacaan puisi yang semula dirancang khusus dengan dikolaborasikan antara dalling dan tekhnik pembacaan puisi ¬ala-ala Taufiq Ismail (sedikit ceramah) kurang mengenai sasaran. Tetapi, toh, yang terpenting adalah bagaimana anak-anak itu berani tampil mengalahkan keraguan mereka, bahkan di pengalaman pertama mereka. Juga yang terpenting lainnya, bila merujuk pada fungsi puisi selain sebagai bahan ajar atau keberpikiran, adalah hiburan. Semua orang yang hadir merasa terhibur dengan pembacaan puisi tersebut.

Setelah pembacaan puisi usai, akhirnya komik hasil buatan siswa SDN 04 Maratua dan SMPN 6 Berau diserahkan langsung pada Pak Dirjen oleh kepala sekolah masing-masing. Raut bahagia seketika muncul dari wajah Pak Dirjen, entah apa yang ada dalam pikirannya. Saya menduga Pak Dirjen merasa kaget dan berkata,“Wah, tadi puisi sekarang komik. Bagaimana caranya mereka bisa melakukan ini?” atau mungkin berkata yang lainnya, yang entah apa. Saya tidak berani menduganya. Yang pasti, semua khalayak yang datang betul-betul menikmati sajian, dari berbagai kemampuan yang ditunjukan para siswa, dan sikap keeratan antarsesama. Mulai dari penyambutan dengan tari dalling, hingga prosesi wefie bersama anak-anak. What a day in Teluk Alulu?

Saya belajar banyak hal dari keeratan, saling berbagi antasersama yang ditunjukan masyarakat Teluk Alulu. Semua berkolaborasi, berusaha sekuat tenaga, demi menyambut kedatangan tamu yang sebetulnya tidak mereka kenal. Sikap ini pun sama sebetulnya seperti yang ditunjukan masyarakat Tanjung Batu, dimana tim kami tinggal untuk sementara waktu di sana. Perilaku berpegang teguh pada sikap sosialisme, yang menganggap semua orang adalah saudara, betul-betul terasa di dua tempat ini. Saya merasa seperti seorang anak yang dilepas oleh keluarga, ketika akan pergi meningglkan rumah. Padahal sebetulnya di antara kami tidak ada ikatan apapun, selain sama-sama Warga Negara Republik Indonesia.

Teks & Foto : Tawakal M Iqbal

Written by Menyapa Negeriku Member at GNFI

Sekumpulan kisah menyapa negeriku

More post by Menyapa Negeriku