Swadesi India dan Nasionalisme ala Indonesia

Written by Akhyari Hananto Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

By Akhyari Hananto

Pada suatu ketika, di sebuah kelas tempat saya mengisi acara di salah satu kampus di Surabaya, seorang peserta berdiri dan mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap makin banyaknya pesawat produksi luar yang masuk ke Indonesia. Menurutnya, karena Indonesia sudah mampu membuat pesawat sendiri, maka sebaiknya harus juga mampu memenuhi kebutuhan pesawat untuk transportasi udara nasional. Mungkin peserta itu lupa bahwa PTDI hingga saat ini belum (mampu) pesawat jet apalagi dengan kapasitas setara dengan pesawat-pesawat dari luar negeri yang tak dia sukai itu.

Tapi baiklah, kita akan beralih ke seorang peserta yang lain yang kurang lebih mengemukakan wacana yang sama. Menurut peserta yang ini, karena India menerapkan Swadesi yang berarti mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa bergantu pada negara asing, maka India mampu menjadi negara dengan ekonomi terbesar di Asia.

Hmm..saya sebenarnya kurang tertarik dengan isu-isu nasionalisme seperti ini. Namun khusus yang ke-2, saya luangkan waktu cukup lama untuk merespon wacana yang dilontarkan oleh peserta ke-2.

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa ekonomi (GDP) India bukanlah yang terbesar di Asia, India ada di peringkat 3,  masih kalau dibandingkan China, dan Jepang. Korsel berada di peringkat 4, dan no.5 adalah Indonesia). Perlu diketahui juga bahwa pendapatan perkapita (PPP) India justru berada di bawah Indonesia.

Lalu, konsep gerakan Swadesi sudah lamaaaa sekali ditinggalkan India. Jika masih dipakai, mungkin India tak seperti yang kita kenal sekarang ini. Gerakan Swadesi yang diinisiasi sejak jaman kolonial Inggris ini kemudian dilembagakan dan menjadi bibit konsep-konsep ekonomi sosialis ala India. Kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung proteksionis, dengan penekanan ada substitusi import (memproduksi sendiri barang-barang daripada harus membeli dari negara lain), industrialisasi di bawah monitor ketat pemerintah,  intervensi pemerintah di usaha mikro, sektor publik yang besar, dan kebijakan dan perencanaan yang terpusat layaknya Uni Sovyet (meski berbeda).

India ingin mengandalkan pasar dalam negerinya untuk pengembangan ekonomi, bukan melalui perdagangan internasional, berdagang dengan negara lain. Sosialisme yang bercampur trauma eksploitasi masa penjajahan Inggris.

Di era Swadesi ini, baja, pertambangan, alat-alat permesinan, air, telekomunikasi, asuransi, pembangkit listrik, dan beberapa industri besar lain dinasionalisasi pada pertengahan 50-an.

Ijin-ijin usaha pun memerlukan waktu panjang, harus melewati 80 lebih badan-badan pemerintah.

Intinya, pemerintah India berusaha keras  untuk ‘menutup’ ekonomi India dari dunia luar. Mata uang India, Rupee, tak bisa dikonversi waktu itu. Tarif tinggi dan lisensi import yang sangat ketat membuat produk-produk dari negara lain tak bisa menembus pasar India.

Dampaknya…sungguh tak terbayangkan bagi sebuah negara dengan populasi sangat besar seperti India.

Di titik inilah, India lambat laun meninggalkan konsep ekonomi proteksionis dan terpusat, dan mulai meliberalisasi sektor-sektor ekonomi. Tentang ini, bisa dibaca dengan detail di berbagai artikel dan buku, karena krisis ekonomi di India menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara lain untuk tak terjun di lubang yang sama.

Singkatnya, setelah India meninggalkan gerakan Swadesi (meski masih dipakai dalam taraf tertentu), ekonomi India menggeliat dengan cepat. Pendapatan perkapita naik rata-rata 7.5 % (sebelumnya hanya 1% selama berpuluh tahun), ekspornya kuat (terutama di bidang IT), pihak swasta yang diperbolehkan untuk membuka usaha dengan skala besar, mulai menjadi penopang kebangkitan ekonomi India, menjadi salah satu ekonomi terbesar di Asia. Negara ini tumbuh 9.5% pada 2006…tercepat ke dua di dunia setelah China waktu itu.

Kini…India bukan lagi dipandang sebelah mata, banyak kemajuan yang sudah diraih, termasuk membuat berbagai teknologi tinggi, termasuk pengiriman wahana luar angkasa ke orbit Mars!

Dan itu karena India membuka pintunya ..

Saat ini, kecuali Korea Utara, tidak ada satupun negara yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Bahkan Korut pun dalam banyak hal mengandalkan produk-produk China. Cinta dan bangga pada Indonesia tak harus diwujudkan dengan menolak produk-produk luar negeri. Kita adalah negara yang berdaulat (independence), namun kita juga interdependence, menjadi bagian dari sebuah kumpulan besar bernama globalisasi. Mau tidak mau..suka tidak suka, inilah dunia yang harus kita hadapi, adopsi, dan menangkan persaingannya.

Dan menurut saya, memenangkan pertempuran tak bisa diraih dengan menutup pintu, tapi kita keluar ke medan persaingan, dengan membawa serta keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif kita. Nasionalisme kita harus modern, yang dikombinasikan dengan internasionalisme.

Dan Indonesia pasti bisa…kuncinya ada di kita.

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ