Makyong, Seni teater rakyat yang membingkai melayu

Written by Jimmy Prawira Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Mak Yong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan mak yong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi.

Dramatari mak yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah. Selain itu, mak yong juga dipentaskan di Kepulauan Riau Indonesia. Di Kepulauan Riau, mak yong dibawakan penari yang memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng.

Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.

Di Kepulauan Riau, makyong memang bukan satu-satunya teater rakyat yang dikenal. Di Lingga, Kepri, pernah hidup wayang bangsawan, sementara di Natuna ada Mendu. Namun, hanya makyong yang relatif lengkap merangkum dan menyajikan bentuk-bentuk seni Melayu dalam satu panggung.

Pulau Panjang, tempat tinggal para aktor teater makyong terakhir di Batam, Kepulauan Riau. Makyong salah satu teater rakyat di tanah Melayu yang sudah hidup selama berabad-abad. Dimulai dari Thailand Selatan, Makyong menyebar hingga ke Indonesia.

Sulit membayangkan beberapa perkataan spontan yang terucap dalam pentas asli kesenian yang disebut berasal dari Pattani, Thailand selatan, itu. Namun, hal itu pilihan rasional untuk terus menghidupkan kesenian yang sudah hidup ratusan tahun tersebut.

Makyong tak hanya merangkum seni Melayu dalam satu panggung. Perjalanan makyong dari Thailand ke Kepulauan Riau sekaligus jadi salah satu bahan kajian sejarah suku Melayu.

Pernah jadi primadona di Thailand selatan dan Malaysia, kini makyong nyaris hilang di tanah kelahirannya itu. Di Thailand, menurut catatan Pudentia, makyong sulit bertahan. Bukan hanya karena dianggap kuno, melainkan karena makyong dianggap kebudayaan Melayu. Akibatnya, kurang diterima di Thailand.

Ironisnya, masyarakat Melayu Thailand kurang menerima makyong karena dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Padahal, Melayu, saat ini, dianggap identik dengan Islam.

Alasan serupa juga pernah menenggelamkan makyong di Malaysia. Di sana, makyong dilarang karena pemain-pemain wanitanya memerankan tokoh pria. Selain itu, dalam cerita asli, ada bagian inses atau hubungan sedarah. Akibatnya, lebih dari satu dekade makyong dilarang

Malaysia kemudian merevisi kebijakan dengan mengusulkan makyong sebagai Masterpiece of Intangible Cultural Heritage di UNESCO pada 2003. Adapun di Pattani, makyong kembali dipentaskan meski dengan jadwal yang tak pasti dan sangat jarang. Pasang surut kebijakan terhadap makyong menggambarkan pula pasang surutnya puak atau suku Melayu.

 
11 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ
ZamedaKusuma
ZamedaKusuma

boleh juga nih filosofinya.. btw sumber darimana nih ya? dari sesepuh jawa kah?

AtikIndriyanti
AtikIndriyanti

@GNFI maaf min 50 bukan siket tpi bhsa jawa nya "seket"\U0001f60a

Hanancuk
Hanancuk

@dyastiawan @GNFI anjiirr omongan gw kemarin nih hahaha

herdaprabadipta
herdaprabadipta

Ini memangnya info legit yah... Bukannya guyonan orang jawa aja?

GNFI
GNFI

Kenapa 25 itu selawe, 50 itu siket, 60 itu sewidak. bit.ly/1MPnf8C pic.twitter.com/WFRLqi9ItE

cimut
cimut

@GNFI 50 sekét min e kedua dipépét, klo di sunda biasanya yg dibaca eu tp u-nya mati 😬

GorbachevAndree
GorbachevAndree

@GNFI klo dulu di tempatku mmg iya. Usia 25 udah harus nikah terutama perempuan. Selawee \U0001f602

anthohiu
anthohiu

bagaimana dengan 100 satus ? 

Trackbacks

  1. Nasihat Dalam Angka Jawa | Eiytales says:

    […] Jimmy. 2015. Kenapa 25 itu selawe, 50 itu siket, 60 itu sewidak. https://goodnewsfromindonesia.org/2015/08/26/kenapa-25-itu-selawe-50-itu-siket-60-itu-sewidak/. Diakses pada tanggal 19 November […]