UMRAH dan Mimpi Anak-Anak Pesisir

Written by Jimmy Prawira Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) tumbuh dari sebuah gagasan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik melalui pembangunan SDM di Provinsi Kepri.

Dulu, anak-anak anak-anak pesisir di Kepri terpaksa memutuskan melanjutkan pendidikan tinggi mereka di daratan (mainland), seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, atau bahkan sampai Sulawesi. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki potensi, namun tumbuh dalam keterbatasan ekonomi keluarga, terpaksa masuk ke dalam bursa kerja lebih cepat dan meninggalkan mimpi untuk mereguk nikmatnya ilmu pengetahuan di bangku perguruan tinggi.

Para founding fathers Provinsi Kepri merasakan hal ini sebagai salah satu penghambat langkah maju untuk pengembangan SDM di kawasan ini. Karena itu, bersamaan dengan proses pembentukan Provinsi Kepri, sejumlah elite juga mendesain bangunan perguruan tinggi yang akan mereka dirikan, dan diharapkan nantinya menjadi universitas negeri pertama di Kepri.

Sejarah berputar dengan cepat, dan ketika Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepri disahkan, mimpi memilliki universitas negeri tinggal dua langkah lagi di hadapan. Namun, butuh waktu sampai empat tahun untuk mewujudkan langkah pertama: pendirian intitusi perguruan tinggi tersebut.

Setelah melalui rangkaian proses yang panjang, akhirnya terbit SK Mendiknas No. 124/D/O/2007 tentang izin berdirinya UMRAH. Lalu dimulailah kerja keras itu. UMRAH pernah tumbuh dalam keterbatasannya: dari selembar kertas SK Menteri, kemudian satu persatu bangunan dan struktur disusun dan diisi; Dari perkuliahan dilangsungkan di ruangan-ruangan yang terbatas, bahkan sejumlah kelas perkuliahan masih meminjam pakai gedung sebuah SMA di Kota Tanjungpinang, menyewa bangunan rumah toko (Ruko), hingga kemudian perkuliahan bisa diselenggarakan di bangunan yang agak lapang, yakni di Gedung Politeknik Tanjungpinang.

Proses membangun perguruan tinggi tentu bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Namun keterbatasan itu tidak melemahkan para pendiri UMRAH. Mereka bergerak dengan terus bekerja, hingga akhirnya memiliki bangunan rektorat, auditorium dan ruang perkuliahan di kawasan Dompak, sebuah pulau yang menjadi pusat pemerintahan Provinsi Kepri.

Dalam proses panjang itu, terbit Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2011 tentang Pendirian UMRAH sebagai perguruan tinggi negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi). Maka langkah kedua itu pun terwujud: UMRAH menyandang status sebagai perguruan tinggi negeri.

Pada titik inilah, mimpi awal sudah menjelma kenyataan. Cita-cita pembentukan Provinsi Kepri untuk mempercepat proses kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan, dimana satu di antaranya didukung oleh keberadaan perguruan tinggi negeri, pun akhirnya terwujud. Langkah selanjutnya, tentu adalah bagaimana memanfaatkan anugerah yang besar ini untuk mewujudkannya menjadi salah satu lembaga yang akan menghasilkan lulusan handal untuk membangun Provinsi Kepri di masa depan.

Dan UMRAH pun menyadari betapa besar peran yang harus dimainkannya. Karena itu, visi dan misi UMRAH pun hadir untuk menjawab cita-cita besar memajukan Kepri, juga Indonesia. Visi yang dibawa UMRAH adalah: Menjadi universitas terkemuka di Indonesia berbasis kemaritiman. Visi ini didukung oleh misi: Menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas baik teori maupun praktek untuk menghasilkan lulusan yang handal di Provinsi Kepulauan Riau khususnya dan Indonesia pada umumnya; Mengadakan penelitian di berbagai disiplin ilmu pada umumnya untuk memberi kontribusi pemikiran kepada pemerintah daerah khususnya dan pemerintah pusat pada umumnya; Melaksanakan penelitian untuk menemukan terobosan baru, teknologi baru di bidang kemaritiman; Melaksanakan pengabdian masyarakat melalui penerapan teknologi tepat guna untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Wajar bila yang terjadi kemudian adalah, nama UMRAH menjadi lebih cepat menyebar dan terdengar sampai jauh ke pelosok, secepat anak panah yang lepas dari busurnya. Mimpi-mimpi orang pesisir yang dibentuk oleh keterbatasan mereka, adalah melihat anak-anaknya bisa duduk di bangku kuliah dan kelak akan pulang kembali untuk membangun kampung halaman. Dan UMRAH menjadi solusi bagi mereka, mengingat selama ini, bangku perguruan tinggi terasa begitu jauh, sejauh jarak antara kampung mereka di pesisir dengan Tanah Jawa, Tanah Kalimantan, atau Tanah Sumatera.

Kehadiran kampus UMRAH yang berlokasi di Tanjungpinang terasa dekat sekali dengan mereka. Sebab, Tanjungpinang memang sejak dulu adalah pusat segala kemajuan di mata mereka, orang-orang pesisir yang berdiam di pulau-pulau kecil yang jumlahnya mencapai 1795, melebar dari Pulau Karimun anak di bagian barat, sampai ke Serasan di bagian timur; melintang di antara Pulau Laut di utara, sampai ke Pulau Berhala di sebelah selatan. Tanjungpinang ada di depan pelupuk mata mereka, tidak sejauh ketika mereka memandang ke Tanah Jawa, Sumatera, atau Kalimantan.

Namun apa daya, jarak yang sudah berada dalam genggaman itu tiba-tiba pupus oleh biaya. Menuntut ilmu sampai ke jenjang perguruan tinggi tentu membutuhkan biaya. Tak sekadar biaya kuliah, namun yang juga berat adalah biaya hidup saat harus melepas anak-anak mereka berdiam di kost-kost-an yang berada di Tanjungpinang. Harapan yang tengah membuncah itu pernah berhadapan dengan tembok tinggi di hadapan mereka. Sebagian orang-orang pesisir itu kemudian membuat spekulasi besar: menjual tanah, rumah, atau ladang dan sampan mereka demi melihat anak-anaknya bisa kuliah. Tapi juga ada sebagian lain yang tidak bernasib baik: tidak ada aset untuk dijual.

Mereka yang memutuskan melakukan spekulasi besar dengan menjual aset yang berharga adalah mereka yang sudah bosan menyaksikan kenyataan: betapa banyak anak-anak pesisir yang ketika duduk di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas memiliki prestasi akademik berkilau, tiba-tiba harus berakhir sebagai pemanjat kelapa, pemasang bubu penangkap ketam, atau bahkan sebagai pengangguran. Orang-orang pesisir ini tampaknya sudah bosan menyaksikan kemunculan Lintang-Lintang baru seperti dalam film Laskar Pelangi: seorang anak pesisir yang kecerdasannya seperti Avicenna (Ibnu Sina) atau Einstein, tapi karena biaya dan keadaan, terpaksa berakhir sebagai pemanjat kelapa.

Di sela sela keterbatasan, mereka terus belajar. Dan ada mimpi yang sebenarnya tengah mereka rajut, yakni mimpi untuk mengubah kampung mereka di pesisir nun jauh di pulau, menjadi bukan lagi sekadar kumpulan orang-orang yang nyaris kehilangan harapan akibat laut mereka yang terus dijarah nelayan asing, keterbatasan karena kondisi alam, dan lain sebagainya. Anak-anak pesisir ini setidaknya ingin mengubah pulau kelahiran mereka sebagai kampung-kampung tempat orang menyemai harapan akan hidup yang lebih sejahtera dan bermartabat.

Written by Jimmy Prawira Member at GNFI

More post by Jimmy Prawira
     
    0 comments
      Livefyre
    • Get Livefyre
    • FAQ