Berita-1-April-2011

by Akhyari Hananto

Ketika terakhir kali ke Jakarta bulan lalu (saya gak sering-sering amat terbang ke Jakarta), sebelum mendarat saya melihat ke bawah, yakni Pantai Utara Jakarta. Terlihat Pelabuhan Tanjung Priok di bawah sana. Namun ada satu pemandangan yang tak saya lihat sebelumnya. Yakni adanya ratusan tiang-tiang pancang beton yang menjulang dari dasar laut. Saya tak yakin bangunan apa yang saya lihat tersebut. Hingga ketika saya melihat salah satu iklan di sebuah harian nasional.

Ternyata yang saya lihat adalah New Tanjung Priok, pelabuhan dan terminal peti kemas yang (saya baru tahu ternyata) dibangun di atas laut. Proyek ini ditargetkan selesai 2016, tidak lama lagi, setahun sesudah Masyarakat Ekonomi Asean (AEC) diberlakukan. Penggarapannya membawa dampak bagi pendalaman laut di New Priok hingga 16 meter, sehingga konon nantinya kapal terbesar di dunia berisi kontainer ukuran 18.000 TEUs (Twenty Foot Equivalent Units) bisa bersandar di sini. Inilah sejarah baru tak hanya bagi dunia perkapalan dan tanah air, tapi juga sektor ekonomi secara keseluruhan.

Pada sekitar Juli 2007, saya pernah mengirim (mengekspor) Kacang Mete ke Lebanon sebanyak 26 ton melalui Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Dari pihak jasa cargo, mereka mengenakan biaya sangat tinggi (menurut saya) dan akan makan waktu cukup lama sampai ke Beirut. Saya geleng-geleng. Saya tahu sekali kenapa. Karena kapal dari Semarang harus ke Singapura dulu, tidak hanya transit, namun juga bongkar barang dan memuatnya ke kapal yang jauh lebih besar, digabungkan dengan kontainer-kontainer lain untuk tujuan Timur Tengah.

Inilah yang menyebabkan biaya logistik ekspor kita begitu tinggi, dan eksportir harus menanggungnya dengan menaikkan harga produk. Inilah yang membuat kita tak hanya akan sulit bersaing, namun juga akan makin jauh tertinggal di belakang.

Keberadaan New Priok nanti (semoga diikuti dengan Teluk Lamong di Surabaya) akan memungkinkan kapal-kapal raksasa bersandar di Indonesia, tak lagi harus bongkar muat di Singapura atau Hongkong kemudian dipindah ke kapal-kapal yang lebih kecil. Inilah moment yang akan mengubah peta logistik regional di Asia Tenggara, yang tentu akan membuat Singapura sebagai ‘the leading export-import hub’ di Asia Tenggara takkan bahagia.

Pelabuhan besar dengan kapasitas besar dan kedalaman alur laut yang dalam, adalah sebuah keniscayaan. Saya pernah melihat (dari dalam pesawat) kapal yang amat sangat besar antri di Jurong Port, Singapura. Semakin lama kapal-kapal berlomba dibuat semakin besar, tentu dengan pertimbangan ekonomi yang bisa difahami, kapasitas besar, daya angkut besar, hemat biaya logistik. Bayangkan kalau Indonesia tak mulai membangun pelabuhan yang punya kapasitas melayani kapal-kapal raksasa yang jumlahnya makin banyak tersebut, tentu kita akan makin jauuuuh tertinggal.

Tentu, saya berharap, terminal Peti Kemas Teluk Lamong di Surabaya juga akan segera beroperasi, sehingga setidaknya, Indonesia akan segera punya 2 pelabuhan yang mampu disinggahi kapal kapal raksasa. Tentu, kita berharap pelabuhan-pelabuhan lain seperti Belawan (Sumut), Makassar, Balikpapan atau bahkan Batam bisa dibangun setingkat dengan New Priok nantinya.

Inilah kabar yang sangat baik tak hanya bagi pelaku ekspor impor Indonesia, tapi juga sektor-sektor ekonomi yang lain. Teruslah membangun, Indonesiaku.