Akhyari Hananto

Saya membawa tweet dari seorang teman yang isinya sama sekali bukan hal yang baru bagi saya, setidaknya saya sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang isinya hampir serupa ketika saya mengisi kuliah atau seminar. Anyway, isi dari tweet teman saya itu adalah sebagai berikut “Perasaan sudah banyak media-media yang memprediksi Indonesia akan menjadi negara kaya, tapi perasaan gini-gini saja”.

Di forum-forum dimana saya mendapat pertanyaan seperti itu, saya selalu menjelaskan dengan panjang lebar, dipenuhi dengan data-data empiris terkini, yang kadang membuat saya sendiri (mulai) berpikir tak lagi menarik perhatian.  Namun, tak mungkin saya bisa tulis di sini apa yang saya sampaikan di forum-forum verbal seperti itu, sehingga sepertinya saya hanya perlu mengambil penjelasan shortcut, dengan bukti-bukti kasat mata.

Namun, pembaca perlu sepakat dulu dengan saya, bahwa Indonesia tidak seperti Norwegia, sebuah negara berukuran besar dengan populasi penduduk yang kecil, yang bisa tiba-tiba menjadi kaya dalam 15 tahun. Pembaca perlu juga bersepakat dengan saya, bahwa tak ada satu negara pun di dunia ini yang awalnya negara tidak kaya tiba-tiba menjadi kaya. Media-media yang disebut teman saya itu, (hampir dapat dipastikan) memberitakan prediksi tentang masa depan Indonesia yang cerah pada kira-kira tahun 2005 ke atas, tahun dimana Indonesia mulai bisa terbangun dari pingsannya setelah dihempas krisis 1998, dan dampak-dampak tidak langsungnya hingga (setidaknya) 2005. Jadi, kira-kira “umur” prediksi itu baru 7 tahun lalu, sedangkan Singapura, tetangga dekat kita yang “tiba-tiba” menjadi kaya itu perlu 35 tahun lebih untuk bisa perkasa seperti sekarang. Itu  Singapura yang kecil, populasinya hanya sekitar 4.5 jutaan yang tinggal di area (kira-kira) seluas kabupaten Bantul di Yogyakarta, Indonesia yang sebesar ini tentu membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama.

Sungguh akan membosankan membaca tulisan tentang angka-angka pertumbuhan ekonomi, PDB, ekspor, forex reserve, dan lain lain di sini. So, saya akan menghindari menulis tentang itu. Saya akan mencoba memberikan ‘sanggahan’ atas tweet teman saya itu, dari apa yang saya temukan sehari-hari.

Saya tinggal di Surabaya sejak 2009 akhir, dan saya masih ingat saat ini jarak tempuh dari rumah ke kantor tak lebih dari 20 menit. Setahun sesudahnya, perlu setidaknya 30 menit, dan kini perlu 40-45 menit. Kalau jumat sore atau menjelang weekend, jangan ditanya. Setengah semaput ! Dan penyebabnya tentu bukan jalannya yang menyempit, namun volume kendaraan yang makin banyak. Artinya, makin banyak orang Surabaya dan sekitarnya yang tahun lalu belum (mampu) membeli motor/mobil, tahun sesudahnya sudah mampu. Dan saya sempat beberapa waktu mengamati, rata-rata mobil dan motor yang lalu lalang di Surabaya adalah  keluaran baru, dan banyak sekali dari mereka (mayoritas) yang berusia muda. Mereka inilah para pemuda yang baru masuk ke ranah segmen ekonomi baru.

Penjualan kendaraan roda 4 di Indonesia memang sedang mencapai sejarah baru, dimana tahun lalu lebih dari 1 juta mobil baru terjual ke pasar. Bukan kabar bagus buat lalu lintas, sih..tapi ini adalah salah satu alat ukur yang bisa dipakai untuk melihat boomingnya perekonomian Indonesia. Sebagai perbandingan, negara sebesar Filipina yang populasinya sekitar 95 juta hanya ‘mampu’ menjual mobil sekitar 126 ribu unit.

Alat ukur lain yang saya gunakan adalah perjalanan udara, dan lagi-lagi saya menggunakan Surabaya sebagai alat ukur. Pada tahun 2007, ketika terminal baru bandara Juanda selesai dibangun, saya baca di sebuah surat kabar bahwa terminal baru ini dibangun untuk mengantisipasi lonjakan jumlah penumpang yang diprediksi mencapai 10 juta pada 2014.  Tapi apa yang terjadi, pada tahun 2011, atau 4 tahun sejak terminal baru yang luas tersebut diresmikan, bandara Juanda sudah melayani hampir 14 juta penumpang, jauh lebih besar dan lebih cepat dari perkiraan.

Dunia penerbangan adalah dunia yang sarat dengan uang, mulai dari membeli tiket hingga tujuan terbang itu sendiri, sudah terkait-mait dengan uang. Dan ini berkorelasi langsung dengan makin tumbuhnya masyarakat yang mampu membeli tiket dan melakukan perjalanan udara. Tahun 2012, jumlah total penumpang udara mencapai 72.4 juta orang, sebuah angka yang 10 tahun lalu tak terbayangkan akan tercapai. Bayangkan pertumbuhannya, pada 2005, jumlah penumpang udara ‘hanya’ kurang dari 26 juta orang, artinya selama kurun 7 tahun, terjadi penampahan hampir 3 kali lipat.

Belum lagi kalau kita melihat data pertumbuhan penjualan alat-alat elektronik, gadget, maupun barang-barang kebutuhan (yang dulu masuk level) tersier, kita akan mengakui bahwa makin banyak orang dulu tak mampu, kini mampu. Ini terlihat dari data Bank Dunia yang menyatakan bahwa pada tahun lalu, jumlah kelas menengah di Indonesia sudah mencapai 134 juta orang; mereka adalah orang yang mampu melakukan pengeluaran finansial sebesar $2-$4 atau lebih, per hari. Jumlah itu sekitar 57% dari populasi Indonesia sekarang ini. Sebagai perbandingan, pada 2003, jumlah kelas menengah hanya mencapai 37% dari populasi.

Kalau ditanya apakah kita sudah menjadi negara kaya, jawabannya mudah,.”belum”. Masih banyak orang yang hidup di garis kemiskinan, dan ini tentu menjadi tanggung jawab kita semua untuk membantu mengentaskan mereka dan bergabung dengan saudara-saudaranya yang lebih dulu masuk di kelas menengah.

Meski begitu, tak berarti bahwa Indonesia “tidak kaya-kaya” seperti tweet teman saya itu, dan saya rasa lebih penting ekonominya merata dibandingkan ‘kaya-kaya’. Dan, despite everything, proses ke arah itu sedang terjadi. Meski banyak dari kita yang tidak menyadarinya.