Ramai-ramai menantang raksasa

12. February, 2013 MSN No comments

Dua hari lalu saya lewat sebuah jalan sempit di pinggiran Surabaya. Saya jarang sekali lewat jalan tersebut, keingintahuan saya menyusuri jalan-jalan tembus di Surabaya membuat saya merasa ‘harus’ melewatinya. Dan saya salah memilih hari. Hari itu, jalan tersebut  macet luar biasa, entah kenapa, dan usut punya usut, ternyata di depan sana ada sekelompok orang yang berdemo. Mereka adalah para pedagang pasar yang memprotes kehadiran toko retail modern di dekat area mereka berdagang. Sekali lagi, tak ada yang bisa bergerak di jalan itu, dan belum ada aparat yang berjaga di daerah tersebut untuk mengatur lalu lintas, akhirnya dengan susah payah saya membalikkan mobil dan kembali ke jalan utama.

Sebelum sempat saya melupakan hari tersebut, esok harinya ada demo serupa di sebuah daerah di Jawa Barat. Saya mulai berpikir bahwa rupanya makin menggurita saja  minimarket modern ini, dan sepertinya akan sulit dibendung. Dan saya mencoba ikut merasakan betapa merasa terancamnya saudara-saudara kita pedagang tradisional dan pasar.

Namun, benarkah kehadiran mereka perlu harus selalu kita tentang?

Masyarakat Indonesia kini mulai terbiasa dengan jaringan minimarket Alfamart dan Indomaret yang mulai tersebar di mana-mana. Belum lagi nama-nama lain seperti 7 Eleven, Circle K, dan ukuran sedang seperti Giant, Hero, dan ukuran besar seperti Lotte, Hypermart, Parkson, dan yang lain. Mereka dimiliki oleh orang atau kelompok usaha yang mempunyai modal besar, atau dukungan keuangan yang memadai. Mereka tak berhenti berekspansi karena, selain ketersediaan modal, juga karena prospek ekonomi Indonesia dan daya beli masyarakat Indonesia yang makin menjanjikan. Dan regulasi di Indonesia masih memungkinkan hal tersebut.

Di satu sisi, keberadaan mereka dianggap berkah tentunya karena menggerakkan ekonomi secara mikro dan makro karena konsumsi masyarakat diharapkan makin naik.  Namun di sisi lain, ekspansi masif mereka juga mengancam para pedagang kecil, bermodal kecil, dan tidak mampu berekspansi. Banyak yang merasakan dampak langsung dari keberadaan minimarket yang masuk jauh ke perumahan-perumahan penduduk, yang umumnya menjadikan warga perumahan tersebut cukup berbelanja ke minimarket, tanpa harus ke pasar. Inilah yang memberatkan para pedagang tradisional tersebut, karena omzet yang turun.

Dua sisi tersebut akan terus bergesekan. Saya termasuk yang setuju agar pemerintah perlu meninjau kebijakan mengenai ekspansi minimarket dan pasar modern, mereka perlu memenuhi kriteria-kriteria tertentu agar mereka tidak bergesekan dengan para pedagang di pasar, atau pedagang sekitarnya. Nah, kalau yang ini tentu pemerintah sudah tahu harus melakukan apa. Intinya, take and give. Tidak ada yang dirugikan.

Nah, yang perlu kita kembangkan bersama-sama adalah bagaimana dengan para pedagang tradisional ini. Mereka tidak mungkin terus menerus berdemo menentang ekspansi ‘liberalisasi’ ekonomi ini, energi mereka akan habis. Selain itu, masyarakat (konsumen) sendiri mulai banyak yang beralih dari pedagang tradisional ke minimarket modern meski harganya sedikit lebih mahal, karena berbagai alasan. Menurut saya, karena alasan kenyamanan dan peace of mind saja.

Konsep minimarket yang ber-AC, dengan dagangan yang ditata berdasarkan kategorinya, area yang lapang sehingga kita bisa masuk melihat-lihat setiap barang sebelum membeli kebutuhan kita, harga yang tercantum di produk,  penjaga yang (harus) selalu sopan, dan bukti pembelian/pembayaran yang selalu kita terima, belum mampu diimbangi oleh pedagang-pedagang tradisional kita.

Dalam hal ini, konsep “pembeli adalah raja” perlu benar-benar difahami oleh para pedagang kita, hukum ini seolah ‘mewajibkan’ kita memahami bahwa mereka harus dilayani sebaik-baiknya, sehingga ketika meninggalkan toko kita, mereka puas, happy, dan akan kembali lagi untuk berbelanja di kemudian hari. Dan yang paling penting, di jaman ekonomi terbuka seperti sekarang ini, mereka yang mempunyai daya beli berhak membeli di manapun yang dia mau dan sukai. Mereka berhak memilih, dan manusiawi saja kalau mereka memilih yang aman dan nyaman. Kan?

Pembaca mungkin sependapat dengan saya, pasar-pasar tradisional kita umumnya tidak terawat, kotor, jorok, dan bau. Belum lagi ada beberapa bagian pasar yang dikerubungi lalat. Belum lagi soal kenyamanan lain seperti kemacetan menuju pasar yang hampir selalu terjadi, parkir yang sulit, dan keamanan.

Sebenarnya, sejauh yang saya tahu, keunggulan pasar tradisional adalah harga barang-barangnya yang lebih murah, dan ini menjadi keunggulan yang tidak bisa dilawan oleh minimarket maupun pasar-pasar modern. Namun, hal inipun tidak sepenuhnya benar. Saya pernah membeli buah-buahan yang harganya sedikit lebih mahal dibanding ketika saya beli di sebuah pasar modern. Mungkin karena saya tidak jago menawar, keahlian yang dibutuhkan di pasar tradisional. Namun hal ini tidak saya perlukan di pasar modern, karena harga sudah tercantum di produk yang saya beli. Kalau tidak setuju dengan harganya, saya tidak perlu beli. As simple as that.

Dengan kondisi yang seperti ini, bisakah pasar tradisional bersaing di masa mendatang?

Di Singapura, Thailand, Hongkong, Jepang, pasar-pasar rakyat selalu ramai dikunjungi orang. Stakeholder pasar mampu menjaga kebersihan dan kenyamanan pasar, tidak bermain-main harga dengan konsumen, lingkungan pasar jauh dari sampah, sanitasi dijaga. Di pasar Tampines di Singapura, saya justru merasakan ‘jiwa’ masyarakat Singapura, yang tidak bisa saya rasakan di mal-mal megah negeri tersebut. Singapura, HK, Jepang, Thailand, mampu mengelola pasar rakyatnya tak hanya tempat bertemu penjual dan pembeli, tempat rakyat berkumpul dan berinteraksi, tapi juga menjadi daya tarik wisatawan. Banyak yang datang ke pasar sekedar untuk melihat barang-barang dan jajanan khas pasar.

Di Jogja, rumah saya berdekatan dengan Pasar Pakem, dan pergi ke pasar adalah salah satu kegemaran saya. Bukan untuk membeli barang-barang, tapi untuk sekedar melihat simbok-simbok penjual jadah tempe, atau mainan anak-anak beraneka rupa dengan harga sangat murah. Baru-baru ini, pasar tersebut mulai dibuat dengan konsep wisata, entah sudah berhasil atau belum.

Namun sekali lagi, untuk menantang minimarket dan pasar-pasar modern, para pedagang tradisional dan pasar-pasar rakyat perlu memaksimalkan  keunggulan yang sebenarnya sudah mereka punyai, yakni harga yg terjangkau, konsep outdoor yang mulai disukai banyak orang, semua kalangan bisa bertemu (melting pot) dengan nyaman, dan suasana tradisional yang tidak bisa dijumpai di retail-retail modern. Memang perlu waktu untuk berbenah, namun harus dimulai dari sekarang. Saya bermimpi, pasar tradisional Indonesia yang sangat beragam isinya, bisa berdiri berdampingan dengan segmen pasarnya sendiri-sendiri.

Daripada lelah berdemo dan memacetkan jalan..

About author
Comments

No comments yet.

Be first to leave your comment!

Nickname:

E-mail:

Homepage:

Your comment:

Add your comment