Merajut Empati Bangsa

Oleh: Drs. Ec. Ahmad Cholis Hamzah, MSc*

Orang Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya di kenal sebagai orang yang ramah dan peduli pada sesama. Di masyarakat Indonesia juga dikenal dengan istilah “Gotong Royong”, bekerja bersama sama tanpa pamrih untuk membantu orang lain; atau bekerja untuk bersimpati terhadap orang lain tanpa pamrih. Tak heran kalau misalkan terjadi sesuatu kejadian yang tragis di belahan manapun di dunia ini, banyak masyarakat kita yang bersimpati kepada masyarakat yang tertimpa kejadian tragis itu. Misalkan saja pernah ada satu partai politik yang dengan mudah memobilisir ribuan bahkan jutaan anggotanya untuk mengumpulkan dana yang akan disumbangkan kepada korban pengeboman Israel di Jalur Gaza Palestina. Masyarakat juga melalui surat kabar, pertemuan, facebook atau twitter dsb mengexpresikan duka yang dalam terhadap masyarkat akibat diskriminasi atau perang, atau ledakan bomb seperti masyarakat Rohingnya di Burma, Afghanistan, Palestina, Iraq dan baru-baru ini Boston.

Tentu sikap bersimpati dan empati terhadap masyarakat yang tertindas di luar negeri itu, adalah perbuatan yang mulia, dan sesuai dengan sikap bangsa Indonesia yang luhur dan tentu sesuai dengan ajaran agama apapun yang dianut masyarakat Indonesia, dan tentu orang yang memiliki sikap luhur seperti ini Insya Allah akan masuk surge. Menyampaikan perasaan simpati atas penderitaan orang lain di dunia ini tentu bukan hal yang salah dan itu malahan sekali lagi adalah perbuatan yang mulia yang sangat disukai Allah.

Akan tetapi, alangkah baiknya kalau sikap yang luhur itu juga bisa ditujukan kepada masyarakat bangsa Indonesia juga yang masih banyak mengalami penderitaan karena berbagai hal. Bayangkan kalau ada masyarakat kita yang miskin sekali yang anak-anaknya tidak mempunyai kesempatan mengenyam bangku sekolah, yang makan seadanya dari belas kasihan orang, yang tidurnya tidak beralaskan apa-apa dsb dsb, mendapatkan respon dari masyarakat luas, dari organisasi masyarakat, dari partai politik dsb dengan menyelenggarakan pertemuan “Sejuta Ummat” dengan mengumpulkan dana seadanya seperti yang berhasil dilakukan untuk korban kejahatan perang di luar negeri; niscaya masyarakat kita yang kurang beruntung itu dalam hitungan jam akan mendapatkan bantuan yang cukup dari kita semua.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa masih banyak masyarakat kita yang terketuk hatinya manakala melihat di tayangan TV tentang tsunami di Aceh, gempa bumi di Jogyakarta dan Padang; mereka segera menyalurkan bantuan dan mengirimkan relawan medis dan dibantu dengan TNI dan Polri ke tempat-tempat bencana itu. Artinya, masyarakat Indonesia juga banyak yang memikirkan bangsanya sendiri. Presiden SBY saja baru baru ini merespon berita tentang Tasripin anak umur 12 tahun di Banyumas yang menghidupi ketiga adik-adiknya karena ditingggal mati Ibu karena tertimpa batu dalam insiden longsor dan ditinggal ayahnya pergi. “Kisah Tasripin, Banyumas, usia 12 tahun, yang menjadi buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya sungguh menggores hati kita,” demikian tulis Presiden di akun twitternya, pada pukul 08.20 WIB, Kamis (18/4/2013). Itu menunjukkan sekali lagi bangsa Indonesia itu sejatinya mempunyai kepedulian terhadap sesama.

Tingkat kepedulian seperti itu seharusnya tidak muncul sesaat, dan menjadi acara seremonial belaka yang ramai ketika mendekati acara kepentingan politik seperti pemilu. Dulu kita sudah sering mendengar jargon-jargon “Hari Kesetiakawanan Sosial”; “Gotong Royong”; atau jargon yang serupa; tapi masih saja berbentuk seremonial yang sifatnya jangka pendek. Kalau hal seperti itu terus dilakukan oleh kita sebagai bangsa, itu berarti kita telah mengkhianati jati diri kita sendiri yang luhur.

Peduli dan simpati terhadap masyarakat negara lain akibat penderitaan karena apapun penyebabnya adalah perbuatan yang mulia dan tetap harus dilakukan karena itu juga adalah sesuai dengan ajaran agama; tidak ada yang salah dalam hal ini. Akan tetapi sikap yang sama juga harus ditujukan kepada masyarakat bangsa sendiri yang juga masih banyak mengalami penderitaan karena kemiskinan atau lainnya. Simpati pada masyarakat dunia akibat penderitaan boleh dan harus dilakukan, akan tetapi lupa kepada bangsa sendiri itu adalah perbuatan tercela.

*

Alumnus University of London, dan Universitas Airlangga Surabaya dan dosen pada STIE PERBANAS Surabaya.

About author
Comments
    Nickname:

    E-mail:

    Homepage:

    Your comment:

    Add your comment