Menghindari Middle-Income Trap

by Akhyari Hananto

Dua hari lalu, saya mendapat pertanyaan melalui BBM dari seorang kawan di Jogja, “Mas, dengan kondisi seperti ini, apakah panjenengan masih yakin Indonesia akan bisa menjadi negara makmur?”

Beberapa hari terakhir ini, banyak orang (yang mengerti ekonomi) di Indonesia yang mulai grogi dan was was, ketika diumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester II 2013 ada di bawah ‘ambang normal’ (6%), yakni hanya membukukan 5.89% saja. Bagi sebuah negara yang sedang merajut asa menjadi negeri dengan rakyatnya yang makmur, pertumbuhan segitu tentu saja di luar rencana, dan ‘tidak pantas’. Setelah cukup lama yakin bahwa Indonesia akan bisa tetap melenggang cepat di tengah lesunya perekonomian dunia, ternyata kekuatan ekonomi Indonesia harus mulai merasakan gigitan-gigitan perlambatan ekonomi-ekonomi utama seperti negara2 Eropa, AS, dan China.

Saya tidak segera menjawab pertanyaan kawan saya tersebut, karena saya sendiri mulai nervous jangan-jangan Indonesia akan menuju ke Middle-Income Trap, suatu kondisi dimana suatu negara kehilangan daya saingnya karena berhadapan dengan dua ‘musuh’ dari dua front ekonomi yang berbeda, satunya dalah negara yang mempunyai daya saing tetap tinggi karena harga produk-produk produksinya tetap murah karena upah buruh yang rendah, yang satu lagi adalah negara maju yang mengandalkan teknologi tinggi dan inovasi sehingga barangnya, meski tak harus murah, tetap berdaya saing tinggi. Middle Income Trap adalah kondisi dimana sebuah negara sudah mampu keluar dari kelompok negara berpendapatan rendah menjadi kelompok berpendapatan sedang/menengah, dan terhenti di situ. Hal ini biasanya diikuti dengan berbagai tantangan lain misalnya banyaknya angkatan kerja yang besar yang mencari pekerjaan, dan masih banyaknya populasi yang masuk golongan berpendapatan rendah (miskin).

Perlambatan ekonomi Indonesia adalah sinyal kuat kepada kita semua bahwa kita tak bisa keluar dari jebakan tersebut tanpa persiapan dan strategi yang kuat dan sungguh-sungguh dalam pelaksanannya. Ekspor kita masih bertumpu pada komoditas bahan baku, dan itupun permintaan ekspor kini menurun karena lesunya ekonomi mitra2 dagang utama Indonesia. Upah buruh makin lama makin tinggi, dan konsekuensinya banyak investor asing yang mengalihkan usahanya ke negara-negara lain yang upah buruhnya lebih rendah di banding di Indonesia, selain itu di luar sana angkatan muda yang baru dan akan lulus sekolah/kuliah berjuta jumlahnya, dan semuanya akan berebut mencari pendapatan/penghasilan. Kemiskinan juga belum hilang dari Indonesia.

Intinya, kita punya semua alasan untuk was was sekarang ini. Jangan-jangan, kita takkan bisa memakmurkan rakyat kita dengan pertumbuhan pendapatan yang stagnan dan tidak mengesankan dalam tahun-tahun mendatang.

Bagaimana cara Indonesia bisa mengindari middle income trap? Rumit, kerja besar dan keras, dan harus dimulai segera. Akan sulit kalau pemerintah menekan upah buruh di Indonesia agar bisa bersaing dengan negara2 lain yang upah buruhnya lebih rendah, namun Indonesia bisa (dan harus) mulai menginvestasikan sumber daya yang dimiliki untuk membangun infrastruktur dan pendidikan yang tidak hanya memadai, tapi juga world class. Kita takkan bisa lagi bersaing dalam masalah upah buruh, tapi kita bersaing dengan negara-negara yang industri manufakturnya sudah begitu maju. Selain itu, Indonesia juga harus mulai berani mengalihkan ekspor yang selama ini ditopang oleh bahan baku dan komoditas primer, dan bertumpu pada padat karya dengan upah yang murah, menuju pertumbuhan ekonomi yang berbasis teknologi dan inovasi.   Menghindari jebatan ini bisa memakan waktu sangat lama, berdekade-dekade, melalui pembangunan institusi pendidikan kelas dunia, membentuk lembaga-lembaga publik yang transparant dan akuntabel, masyarakat yang gemar berinvestasi riil dan berani menghadapi resiko usaha, dan lain sebagainya. Kerja sangat panjang. Maka dari itu kita harus mulai dari sekarang.

 

Namun, Indonesia masih punya keuntungan, yakni jumlah kelompok kelas menengah yang cukup besar, dan ini bisa menjadi tulang belakang pertumbuhan ekonomi, setidaknya hingga beberapa tahun ke depan.

 

 

About author
Comments

No comments yet.

Be first to leave your comment!

Nickname:

E-mail:

Homepage:

Your comment:

Add your comment