Diet Berita Negatif

Di media sosial dan dunia maya saya sering menemukan komentar bahkan umpatan tentang berita media yang didominasi oleh hal-hal negatif yang membuat orang muak. Sejak bangun hingga menjelang tidur, berita dan tayangan televisi tentang korupsi, pembunuhan, penculikan, kasus suap, kecelakaan dan berita negatif lainnya, membombardir ruang-ruang privasi kita.

Fenomena tayangan atau berita negatif itu cukup fantastis. Arry Rahmawan (2012) mencatat, perbandingan berita positif dan negatif yang ditayangkan stasiun televise di Indonesia rata-rata 1:11. Satu untuk berita positif dan 11 untuk berita negatif.

Sebagian besar koran pun sering menampilkan headline sensasional dan mengerikan. Sajian atau tayangan media nefatif cenderung menyebarkan pesimisme, menguatkan ketidakpastian, dan menurunkan rasa percaya diri. Orang pun merindukan berita atau cerita yang positif dan mencerahkan.

Pengaruh internal dan eksternal

Dalam banyak kesempatan, Presiden SBY sering mengeluhkan pemberitaan media yang lebih banyak bersifat negatif. SBY berharap agar media juga menampilakan hal-hal positif dan prestasi yang telah dibuat pemerintah dan bangsa Indonesia. Meski sering dikritik, media seolah menganggapnya angin lalu. Faktanya, praktik seperti itu tetap jalan terus.

Ada dua faktor yang mempengaruhi dan menguatkan hal ini. Pertama, faktor internal media, dalam hal ini pengaruh yang kuat dari seluruh struktur praktik jurnalisme, mulai dari ideologi media, editor, sampai wartawan. Ada asumsi di dunia jurnalisme, berita jika tidak ‘berdarah’, tak dibaca orang. Seperti frase ’If it bleeds, it leads.’ Jika pesawat mendarat mulus, bukan berita; jika sebaliknya, baru berita. ‘Bad news is good news. No news is good news!’ Bagi wartawan, berita-berita semacam itu paling mudah untuk dicari dan ditulis. Tak perlu susah, tak perlu rumit!

Newsroom media juga mengenal istilah layak berita (news worthy) dan nilai berita (news value), yakni kriteria yang membuat sebuah peristiwa menarik untuk diberitakan. Intinya, semakin besar kesenjangan atau devisi situasi normal, maka semakin tinggi kelayakan berita. Ada adagium yang sering kita dengar di jurnalisme: “If a dog bites a man, that’s not news”; “If a man bites a dog, that’s news!”

Jika kita cermati, beberapa kriteria nilai berita (news value) memang mengandung unsur negativity. Pertama, konflik. Setiap konflik mengandung drama (seperti halnya film atau sinetron) yang membuat orang tertarik. Kedua, kecelakaan, krisis, atau bencana. Ketiga, tragedi yang menimpa selebriti. Tak heran, isi berita infotainment, tak jauh dari hal itu. Keempat, the underdog. Dalam sebuah peristiwa, biasanya ada big guy dan little guy. Kisah orang kecil melawan orang besar, biasanya menarik (Owen Spencer-Thomas, 2012).

Kedua, faktor eksternal atau dari sisi pembaca. Tak bisa dipungkiri, publik menyukai berita-berita negatif. Survei The Pew Research Centre (2007) tentang jenis berita yang dipilih atau lebih disukai oleh publik. Selama 20 tahun terakhir preferensi publik di Amerika Serikat menggambarkan kecenderungan yang relatif sama.

Sepuluh besar jenis berita yang paling diminati adalah (1) war/terrorism, (2) bad weather, (3) man made disaster, (4) natural disaster, (5) money, (6) crime and social violence, (7) health and safety, (8) domestic policy, (9) campaign and elections (10)politics and political scandals. Dari sini tampak bahwa publik lebih suka mengomsumsi berita negatif dari pada berita positif.

Menurut Roy Greenslade (2007), minat dan perhatian masyarakat Amerieka terhadap berita makin menguat ketika ada semacam ancaman terhadap kehidupan mereka. Perhatian mereka tentang situasi di sekitarnya cenderung kecil ketika mereka menikmati suasana damai dan/atau sejahtera. Perasaan takut terhadap terorisme, misalnya, menjadikan koran di sana laku keras.

Temuan ini sedikit banyak menggambarkan situasi yang relatif mirip di Indonesia. Koran kuning yang menggunakan rumus 5-S (SARA-konflik, SARU-seks, SADIS-kekerasan, SIHIR-mistik, SEDIH-penderitaan) identik dengan oplah tinggi. Buktinya, koran Pos Kota yang beredar di Jakarta, oplahnya pernah menggungguli Kompas yang beredar nasional. Resep 5-S ini juga diterapkan di sejumlah televisi, termasuk televisi berita. Untuk mendongkrak rating, mereka menayangkan berita atau program yang mengandung konflik, kekerasan, seks, mistik, darah, dan air mata.

Dampak berita negatif

Sejumlah studi menegaskan bahwa pemberitaan negatif berpengaruh buruk terhadap audience. Menurut pakar psikologi komunikasi Jalaludin Rakhmat (2012), pemberitaan negatif berpotensi menyebabkan gangguan jiwa terhadap masyarakat, meskipun dalam skala yang lebih kecil dari kegilaan (Antaranews, 10/05/2012).

Sebelumnya, Johnston and Davey (1997) juga membuktikan bahwa partisipan yang menyaksikan tayangan berita negatif menunjukkan peningkatan kegelisahaan serta kesedihan dan cenderung berbahaya bagi kesehatan jiwa/pribadinya. Dengan terpaan beriata nefataif, membuat publik bisa menangkap kesan yang salah bahwa situasi yang ada makin memburuk sehingga menguatkan pesimisme.

Memang, pemberitaan negatif tidak selalu berdampak atau berkonotasi negatif. Pendiri Good News Network (www.goodnewsnetwork.org) Geri Weis-Corbley (2012) mengatakan, “Berita negatif penting bagi publik agar lebih well-informed dan dibutuhkan untuk perubahan masyarakat.” Geri mencontohkan, liputan negatif tentang figur caleg atau capres memberi informasi masyarakat agar bisa memilih pejabat publik dengan cerdas. Juga, liputan tentang bencana, mereka bisa tergerak untuk membantu dengan berbagai cara.

Namun, masih menurut Geri, layaknya makanan, berita negatif atau buruk adalah junk food dan berita baik atau positif adalah healthy food. Jika mengonsumsi berita negatif akan berdampak negatif, sebaliknya mengonsumsi berita positif juga akan memberi banyak pengaruh positif terhadap kesehatan kita.

Studi yang pernah dilakukan oleh Bayer (2005) menunjukkan, orang yang mendengar berita baik pada pagi hari cenderung lebih produktif dan bahagia ketika bekerja. Sebaliknya, kita akan cenderung merasa tertekan dan pesimis jika kita menaruh perhatian pada berita-berita di media mainstream. Jika kita hanya mendengar berita yang membuat depresi, Anda tidak akan bisa optimis menghadapi hidup.

Diet berita negatif

Melihat kondisi tersebut, media dan konsumen media harus bersinergi menangkal arus berita negatif. Media perlu mengubah paradigma dan mengembangkan konsep jurnalisme positif atau jurnalisme optimis. Betul bahwa ada adagium ‘bad news definitely sells’. Hal ini tak bisa ditolak atau dipungkiri, bahwa selalu ada pasar untuk berita negatif. Berita negatif selalu lebih dramatis dan menarik. Namun, saya yakin jika masyarakat diberi pilihan, mereka akan lebih memilih good news sehingga ‘good news sells too. ‘No news is better than bad news.’

Untuk merespon komplain tentang banyaknya berita buruk, media sebaiknya mengarahkan reporter atau wartawannya untuk mengembangkan beat berita positif. Misalnya, mengangkat profil orang-orang punya dedikasi bagi sesama atau secara reguler menampilkan pahlawan lokal (local heroes), seperti dilakukan Kompas. Pemberitaan model itu akan menginspirasi masyarakat bahwa masih banyak hal baik di negeri ini, tidak seburuk yang dibayangkan atau diberitakan media selama ini.

Publik juga harus lebih selektif dalam mengonsumsi media, antara lain dengan dengan melakukan diet berita negatif atau diet televisi. Untuk melakukan hal itu, komisioner KPI, Iswandi Syahputra (2012) menyarankan agar Anda memahami berbagai tips, misalnya bagaimana mematikan televisi; tips mengontrol dan mengawasi hal-hal yang ditampilkan TV; tips mengawasi konsumsi TV; tips rencana menonton TV; tips menyuguhi anak permainan alternatif, dan lain-lain.

Ketika media mainstream tak bias diharapkan berubah, kita bisa memanfaatkan media alternatif (internet) untuk mendapatkan atau menyebarluaskan berita-berita positif yang membangun optimisme. Salah satunya, lewat Kabar Baik dari Indonesia (Good News From Indonesia) melalui website goodnewsfromindonesia.org dan Twitter @GNFI yang diinisiasi oleh Akhyari Hananto,.

Dengan berpedoman good news is good news, @GNFI mengabarkan berbagai hal baik yang terjadi dan dilakukan bangsa Indonesia. Dengan itu, @GNFI membuat keseimbangan aliran cepat berita negatif tentang Indonesia dengan mempromosikan berita positif—sesuai motonya: restoring optimism, rebuilding confidence. ***

Yohanes Widodo, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Email: [email protected] Twitter: @masboi

About author
Comments
  1. Cakrawala

    3 / 1 / 2013 5:44 pm

    Sebenarnya banyak menampilkan berita-berita missleading dan negatif justru berdampak negatif bagi media itu sendiri terutama pada media cetak elektronik.

    Saya sendiri membuka situs-situs berita biasanya untuk mencari berita-berita yang menarik yang sedang terjadi di Indonesia maupun di dunia.

    Jika mereka lebih banyak menyajikan berita-berita yang negatif dan sering kali missleading maka akan timbul kebosanan dan ketidak percayaan pada situs tersebut. Sebaliknya jika mereka lebih banyak menyajikan berita-berita positif yang menarik dan informatif mereka akan mendapatkan pengunjung setia dan jumlah klik yang lebih banyak, paling tidak dari saya.

    Bahkan saya akan mengklik google ads yang ada di halaman mereka sebagai ungkapan terima kasih karena telah memberikan berita/informasi yang baik dan bermanfaat bagi saya.

    Reply

Nickname:

E-mail:

Homepage:

Your comment:

Add your comment