Di Kota Seribu Kelenteng, di Salah Satu Komunitas Tionghoa terbesar di Indonesia.
Inilah salah satu tempat favorit saya di Indonesia. Memang baru sekali ke sana. Kota ini begitu kental dengan budayanya, bersih, namun tidak seperti kota-kota di Jawa yang biasanya penuh 'sesak', kota ini tak terkesan metropolis. Asap dari tong berisi sup mie tionghoa bercampur kepulan jelaga dari sotong pangkung membumbung dan menebarkan bayangan salah satu pasar malam terbaik di Asia. Sebuah distrik kuliner menampilkan barisan gerobak kaki lima beraneka warna, rapih di Jalan Setiabudhi yang beraspal hitam dan bersih. Kerapihan kota di Kalimantan Barat ini tak terusik, karena hampir tak pernah digerus gerigi peradaban kota besar yang penuh kemelut dan polusi.

( Pantai Singkawang | trekearth.com )
Kota Seribu Klenteng, itulah julukan Singkawang yang juga terkenal dengan sebutan Kota Amoi. Jika kita memasuki kota ini, sepanjang perjalanan akan disambut oleh klenteng-klenteng dengan pelbagai ukuran. Nama Singkawang berasal dari kata San Kew Jong (Shan Kou Yang: Gunung Mulut Laut) yang berarti daerah yang terletak di antara gunung dan laut, lebih tepatnya terletak di ‘mulut’ laut. Daerah tersebut menjadi salah satu daerah kantong keturunan etnis Cina terbesar di Indonesia.

( Salah satu sudut Singkawang | leffendphotoworks.blogspot.com )
Singkawang begitu damai di siang hari, saat panas di jalur nol derajat di Khatulistiwa menembus setiap sudut di kota kecil ini. Di malam hari, warga kota memilih berada di luar rumah demi sejenak kenikmatan angin malam dan kehangatan suasana temaram berbias sinar lampu. Kota ini lekat dengan kebudayaan Cina yang sejarahnya begitu mengakar di bumi Kalimantan Barat. Saat pencarian bijih emas di sungai yang membelah Kota Monterado di abad ke-19, para pekerja pertambangan menjadikan Kota Singkawang sebagai kota persinggahan. Budaya yang dibawa oleh para pekerja pertambangan dari Cina ini mewarnai hari-hari bahkan keseharian di kota kecil ini hingga menjadi satu ciri khas yang mengakar, beratus tahun kemudian.
Singkawang dapat ditempuh dari Pontianak selama 2,5 jam perjalanan darat. Kota ini dihuni oleh etnis Cina, Melayu dan Dayak. Ketiganya saling berinteraksi harmonis mulai dari kegiatan kehidupan bersosialisasi, kuliner sampai dengan kawin mawin.

( Tatung dalam rangkaian cap go meh | foto: wpxi.com)
Kelenteng dan sang Buddha mewarnai kota ini selain keyakinan warga terhadap ajaran Kong Hu Cu yang disebar Konfusius. Kemeriahan datang tepat pada waktunya. Seluruh warga Tionghoa beragama Buddha ataupun Kong Hu Cu menjadi satu dalam sebuah perayaan besar. Kota Singkawang tak lagi sunyi, jauh dari lengang. Di hari ke-15 setelah Imlek, seluruh negeri merayakan Cap Go Meh, dan Singkawang bagaikan Hongkong untuk para wisatawan budaya.

( perayaan tahunan cap go meh | indonesia.travel )
Hari dimana Cap Go Meh dirayakan adalah hari terpenting dan paling meriah di Singkawang maka saat itulah seluruh kota bersolek dan merias diri. Patung Naga Liong yang meliuk di tiang lampu tengah kota semakin memancarkan keemasannya. Kelenteng di tengah kota yang dikenal unik, semakin sering berpose di depan kamera para pemburu gambar. Senyuman semakin dipermanis, kehangatan semakin dihembuskan dari panjangnya kesunyian kota. Dari semua kota yang meramaikan Imlek dan Cap Go Meh di Indonesia, Singkawang adalah benchmark dari semua kemeriahan.
Sejak 1834 saat George Windsor Earl menulis kata ‘Sinkawan’ dalam bukunya ‘The Eastern Seas’, nama Singkawang mulai dikenal dunia. Inilah destinasi ideal bagi kawan yang ingin melihat bagaimana kemeriahan tahun baru China, di bawah atap-atap rumah pecinan, dan terangnya harmoni persaudaraan seluruh warganya, meski dari latar belakang yang berbeda. Inilah Singkawang, salah satu kebanggaan Indonesia, untuk dunia.
Sumber : Indonesia.travel | nationalgeographic.co.id | Liputan6.com
Gambar utama : gbtimes.com
Gambar utama : gbtimes.com
Advertisement Advertise your own

0 Komentar
READ NEXT
BACK TO TOP