Indonesia yang memiliki hutan belantara seluas 136,88 juta hektar atau seluas 71 persen (PBB, 2014) dari luas daratannya dihuni oleh berbagai macam flora dan fauna. Sumber daya alam yang terkandung dalam hutan tropis tersebut juga sangat besar nilainya. Namun selain potensi flora, fauna dan sumber daya alam. Ternyata hutan Indonesia juga memiliki potensi energi untuk masa depan. Hal ini diungkapkan oleh Senior Advisor for Terresterial Policy, The Nature Conservancy, Wahjudi Wardoyo, yang menjelaskan bahwa hutan tropis Indonesia menyimpang banyak energi mikrobiologi yang sangat diperlukan dunia. Energi mikrobiologi yang disebut sebagai generasi kedua dan ketiga sumber energi dunia hanya dapat ditemukan di hutan hujan tropis hasil dari keanekaragaman hayati di dalamnya. “Itu karenanya hutan tropis dengan segala keanekaragaman hayatinya (biodiversity) sangat penting,” kata dia di sela-sela KTT Perubahan Iklim, COP 21, Paris, Prancis, Desember tahun lalu. Mikroba sendiri terbagi dalam tiga jenis besar yaitu bakteri, jamur bersel satu, dan virus. Selama ini orang hanya memahami bahwa mikroba adalah sumber penyakit. Padahal, mikroba memiliki arti penting di bidang pangan, pertanian, dan energi. Kebutuhan energi dunia yang beralih dari energi generasi pertama seperti palm oil dan minyak jarak menuju energi yang lebih ramah lingkungan mendorong riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Litbang Kehutanan. Kedua lembaga pemerintah tersebut menemukan bahwa mikroba ternyata mampu merubah biomassa padat menjadi bioetanol sehingga menjadi biofuel. Penelitian LIPI juga menemukan sejenis jamur yang berada di dalam larva penggerek batang dan kayu di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kayu di daerah ini sangat keras seperti kayu eboni dan kayu jati. Kayu yang amat keras itu banyak sekali ditemukan dalam kondisi keropos. Jarang, ditemukan kayu dalam bentuk gelondongan utuh. Jamur di dalam perut larva mampu menggerogoti kayu yang keras itu. "Jamur itu dapat digunakan untuk mengubah selulose atau serat kayu, tissue, sampah, dengan cepat menjadikan bioetanol dan biodiesel. Ini merupakan sumber energi genasi kedua dan ketiga,” ujar dia. Wahjudi menjelaskan bahwa bila kita mengandalkan energi pertama kita akan ketinggalan sebab selain mulai ditinggalkan, teknologinya juga sudah sangat tinggi. Peluang untuk mengejar adalah dengan mengkaji energi generasi kedua dan ketiga yang itu banyak terdapat di hutan tropis Indonesia yang memiliki keanekaregaman luar biasa. Keanekaragaman hayati Indonesia yang saat ini Indonesia miliki, tidak bisa dilepaskan dari peran mikroba. Sebab berdasarkan riset yang telah dimulai, mikroba juga akan menjadi sumber pangan dunia di masa depan. “Ahli mikrobiologi Amerika memprediksi pada tahun 2050 penduduk bumi akan berjumlah 9,6 miliar. Jika cara kita melakukan intensifikasi pangan masih seperti sekarang, maka pada tahun 2050 dunia akan kekurangan pangan hingga 30 persen,” jelas dia. Untuk mengatasi kekurangan pangan tersebut, dunia membutuhkan jasa baik dari mikroba. “Bukan berarti mikrobanya kita makan, tapi mikroba yang meningkatkan makanan, apakah gandum, singkong, padi. Jadi, pupuknya dari mikroba yang direkayasa sedemikian rupa hingga menjadi makanan dari mikroba,” lanjutnya. Selain memiliki potensi energi dan pangan hutan Indonesia juga menyimpan potensi pengembangan obat-obatan. Mengingat sampai saat ini sebanyak 80 persen obat dunia berasal dari flora dan fauna. Menurut Wahjudi, obat-obatan sintetis tak mampu mengalahkan keampuhan obat-obatan alami. Menurut US Cancer Institute, sumber obat-obatan paling banyak ada di hutan hujan. “Obat-obatan dari hutan hujan tropis mampu mengobati kanker, HIV dan penyakit mematikan lainnya. Ada 2.000 jenis keragaman hayati tropis mempunyai bio aktif atau peran untuk mengobati kanker dan HIV. Dari 2.000 jenis itu baru satu persen dari total potensi hutan Indonesia,” ujar dia. Seakan belum cukup memiliki potensi energi, pangan dan obat-obatan, hutan tropis milik Indonesia juga berfungsi sebagai pengikat karbon yang bertebaran di udara. Hal ini merupakan peran penting hutan sebagai menyaring dan pembersih udara yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Baik hutan sekunder yang mampu menahan karbon hingga 100 ton sampai dengan 200 ton karbon per hektar atau hutan primer yang mampu 200 hingga 300 ton karbon per hektar maupun hutan monokultur yang mampu menahan 50 ton karbon per hektar ketiganya adalah hutan yang sangat penting. “Jadi, jangan melihat hutan dari ekonomi kayunya saja, namun lihatlah lebih jauh keanekaragaman hayatinya,” kata dia. Melihat fakta-fakta tersebut Wahjudi menuturkan bahwa sejatinya keragaman hayati akan terus menerus penting bagi Indonesia karena tak bisa perannya tidak dapat digantikan. Bila tidak dipelihara dan dimanfaatkan potensinya, Indonesia akan mengalami banyak kerugian. sumber: Kompas.com
0 Komentar
Tambahkan komentar Anda...