Festival Terbesar di Negeri tak Berpantai

Written by Akhyari Hananto Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
1 replies

by Akhyari Hananto

Hampir semua dari kita menyebutnya dengan Laos (dengan huruf  “s” yg kental), meskipun tidak salah, namun pengucapan yang benar adalah “Lao” tanpa S. Prancis memberi nama negara ini dengan Laos, berdasarkan etnis yang terbesar dan dominan di kawasan tersebut. Dalam bahasa Prancis, huruf “s” di belakang sebuah kata biasanya tak diucapkan, sehingga pengucapannya adalah “Lao”).

that5

Inilah satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak mempunyai pantai (landlocked) dan dikelilingi daratan negara-negara tetangganya, Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan China. Inilah salah satu negeri yang dari dulu selalu ingin saya kunjungi. Karena letak geografisnya yang ‘tersembunyi’ di balik negara-negara tetangganya yang lebih populer, dulunya mencapai ke Laos bukanlah hal yang murah dan mudah. Harus beberapa kali transit dan bertukar pesawat untuk sampai ke sini.

RIbuan orang berkumpul di dalam dan diluar area stupa emas

Untungnya, era penerbangan murah sukses membuka pintu udara Laos, dan ‘banjir’ wisatawan mancanegara ke negara tersebut telah membuka pintu harapan baru menuju kemakmuran ekonomi. Sektor pariwisata telah menjadi kontributor terbesar ke-2 terhadap ekonomi negara tersebut setelah pertanian. Menurut data dari Kementerian Pariwisata Laos, pada tahun 90an, negara tersebut rata-rata hanya didatangi sekitar 80.000 turis mancanegara per tahun, kini jumlahnya meningkat berkali-kali lipat, menjadi sekitar 4 juta kunjungan per tahun. Dengan penduduk hampir 7 juta (saja), jumlah 4 juta tentu adalah proporsi yang luar biasa.

Saya sempat mengunjungi negara indah ini. Slogan pariwisatanya pun tak muluk-muluk, yakni “Simply Beautiful”. Saya terbang dari Surabaya, transit di Bangkok 1 malam. Pagi harinya, saya terbang ke Wattay Internasional Airport yang berada di kota Vientiane, ibukota negara Laos. Saya mendarat di Vientiane masih cukup pagi, dan langsung berbegas ke hotel.

Tak banyak yang saya bisa lihat dari taksi yang membawa saya dari airport ke hotel, karena jaraknya sangat dekat. Artinya, bandara Wattay memang belum begitu sibuk. Bandara ini ‘hanya’ melayani sekitar 1 juta penumpang per tahun (bandingkan dengan, misalnya, bandara Sam Ratulangi di Manado yang sudah melayani 2 juta penumpang per tahun). Meski begitu, pemerintah Laos jauh-jauh hari sudah mempersiapkan ekspansi bandara Wattay untuk mengantisipasi lonjatan wisatawan mancanegara yang makin bertambah jumlahnya tiap tahun. Langkah yang baik.

Tujuan utama saya ke Laos adalah melihat langsung festival yang disebut-sebut paling populer dan terbesar di negara Buddha tersebut, yakni festival That Luang. Festival ini dilaksanakan di dalam kuil That Luang, kuil terbesar dan paling penting bagi penganut Buddha Teravada di Laos, yang letaknya juga berada di tengah kota Vientiane. Kuil That Luang (Stupa Emas) dibangun pada 1566 dan telah beberapa kali hancur karena serangan kerajaan Siam (Thailand kini) , dan telah direnovasi beberapa kali.

Wat Simeuang

Festival ini berlangsung 3 hingga 7 hari pada minggu bulan purnama penanggalan Buddha, sekitar November atau Oktober. Festival dimulai dengan penyalaan lilin beraneka warna di petang hari di depan Wat Simeuang, dimana para peserta festival (para jamaah) berkumpul dan berjalan mengelilingi bangunan tersebut 3 kali. Wat Simueuang disebut sebagai pilar kota Vientianna, dan merupakan tujuan wisata populer di Vientiane. Kuil Buddha ini berada di reruntuhan kuil Hindu Khmer kuno. Kuil yang sekarang, yang dibangun pada tahun 1563, dipercaya dijaga oleh ruh gaib, yaitu ruh seorang wanita yang sedang hamil bernama Nang Si, yang dikorbankan ketika kuil ini dibangun. Nang Si dipercaya menjadi penjaga kota Vientiane, dan setiap tahun dilakukan ritual untuk menghormati rohnya di tempat tersebut.

Para peserta mengelilingi kuil tersebut dengan memegang lilin, dupa, dan bunga, sambil memukul kendang dan simbal sembari mengelilinginya.

Prosesi berlanjut keesokan harinya, pada menjelang petang hari. Kali ini diikuti oleh lebih banyak orang, mencapai ribuan orang. Mereka berkumpul membawa berbagai macam perangkat upacara, memakai baju tradisional Laos yang terbaik atau terbaru, untuk menghormati That Luang. Mereka bernyanyi, bermain musik, dan menari mengelilingi stupa emas raksasa tersebut searah jarum jam, sambil dipandu lafal doa dari biksu-biksu melalui pengeras suara.

Hari berikutnya, festival pun berlanjut. Lagi-lagi ribuan orang berkumpul sejak fajar di That Luang untuk memberi derma kepada ratusan biksu yang datang dari sekitar Vientiane, dan beribadat di stupa. Inilah “taak baat” dimana orang-orang mulai berdatangan sejak pukul 4 pagi, demi mendapatkan tempat terbaik di area That Luang untuk bersembahyang dan menyampaikan persembahan mereka. Baik di dalam maupun di luar stupa, ratusan biksu berbaju oranye berkumpul untuk menerima persembahan tersebut.

Selama prosesi ‘taak baat’, semua orang duduk diam dan khidmat mendengarkan doa-doa panjang yang dilafalkan oleh biksu melalui pengeras suara. Beberapa orang menuangkan air ke tanah sebagai simbul persembahan kepada Ngamae Thorani (dewi bumi) untuk menyampaikan pada leluhur mereka untuk datang dan menerima persembahan mereka, sedangkan beberapa orang yang lain melepaskan burung-burung dari sangkarnya sebagai simbol mendatangkan berbagai kebaikan di kehidupan. Setelah prosesi selesai, semua orang secara tertib berusaha mencapai stupa untuk secara langsung memberikan persembahan mereka kepada para biksu, menyalakan lilin dan duba, dan berdoa untuk keberuntungan.

Seluruh prosesi festival That Luang akan berakhir menjelang bulan purnama. Inilah masa dimana ribuan orang akan kembali ke That Luang untuk terakhir kalinya menyalakan lilin, dan menyulut dupa.

Saya merasakan kekhidmatan dan kebahagiaan di festival yang penuh warna tersebut. Dari dulu saya mendengar bahwa masyarakat Laos terkenal dengan kesabaran dan kebaikan hatinya. Dalam budaya Laos, budaya meminta, apalagi mengemis, sangat ditabukan. Mereka diajarkan untuk selalu membantu dan memberi, dan mendahulukan kepentingan bersama. Di festival ini, orang-orang tersebut berkumpul secara massal.  Terlihat sekali betapa event ini begitu dinantikan oleh masyarakat Laos,  para peserta upacara datang dari seluruh penjuru negeri, bahkan dari warga Laos yang bermukim di luar negeri. Di Indonesia, mungkin seperti lebaran yang selalu dinantikan, dipersiapkan, dan keluarga saling bertemu.

Jika anda tertarik untuk melihat budaya Laos, mulailah dari festival ini, dan amati betapa budaya, adat istiadat, kebiasaan, dan orang-orang Laos berkumpul, dan bergembira. Setelah itu, silakan berkeliling ke negeri tak berpantai ini.

 

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ