Ular Langka Asli Indonesia ini Kembali Muncul Setelah 80 tahun

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Ekspedisi Enggano yang telah dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada bulan April sampai dengan Mei yang lalu telah banyak menguak fakta baru tentang Pulau terpencil di Barat Bengkulu tersebut. Berkat hasil ekspedisi tersebut, LIPI menyatakan proyek tersebut adalah berhasil dan bahkan akan melanjutkan ekspedisi ke daerah timur Indonesia untuk penelitian yang lebih masif.

Ular Tikus Enggano (Foto: Ramhadmi Rahmad / mongabay.co.id)

Ular Tikus Enggano (Foto: Ramhadmi Rahmad / mongabay.co.id)

Salah satu hasil mengejutkan dari Ekspedisi Enggano adalah ditemukannya kembali ular istimewa yang kembali muncul setelah 80 tahun tidak ditemukan. Bahkan beberapa ahli sempat menyatakanannya sebagai punah.

Ular tersebut bernama Ular Tikus Enggano. Ular ini termasuk dalam kelompok ular tikus atau Rat Snake yang termasuk dalam genus Coelognathus atau Elaphe yang tersebar luas dari Tiongkok hingga Asia Tenggara. Untuk jenis ular yang terdapat di Enggano adalah Coelognathus Enganensis yang endemis di Pulau Enggano.

Ini ular istimewa, hanya ada di Enggano. “Namanya ular tikus Enggano,” ujar Amir Hamidy di Laboratorium Herpetologi, Gedung Widya Satwaloka, LIPI.

Hilangnya ular ini selama 80 tahun dapat ditelusuri dari sejarah penemuannya. Meski memang bukan spesies baru namun sejarah penemuannya cukup lama tidak berkembang. “Sejak pertama kali dilihat 1892, pertemuan berikutnya pada 1936. Terbaru, di 2015 ini. Artinya, setelah 80 tahun tidak muncul, ia kembali menampakkan diri,” jelas Amir.

Decio Vinciguerra adalah orang yang pertama mendeskripsikan ular Enggano ini menjadi spesies baru. Dia adalah herpetologi sekaligus asal Italia yang memasukkan Ular Tikus Enggano sebagai genus Elaphe atau sekarang dimasukkan kedalam genus Coelognathus dengan nama spesies Enganensis.

Sebagaimana di kutip dari Mongabay, cerita penentuan ular ini sebagai spesies baru pun menarik sebab Vinciguerra ternyata tidak pernah datang ke Enggano, melainkan Elio Modigliani. Seorang antropolog yang melakukan kajian sosial pada warga setemat di sana sekitar delapan bulan. Modigiliani yang saat itu juga mengoleksi berbagai spesimen di Enggano, akhirnya membawanya pulang ke negeri asalnya. Hingga kemudian Vinciguerra mendeskripsikan 16 jenis herpetofauna koleksi Modigliani, yang salah satunya Ular Tikus Enggano.

Penemu dan peneliti yang membawa ular Enggano ini sebagai spesimen berikutnya adalah De Jong (1936). Seorang naturalis Belanda yang saat itu dicertiakan mendapatkan tiga ekor ular. Setelah penemuan De Jong ini, berulang kali riset telah dilakukan di Enggano, termasuk ekspedisi LIPI (2003), namun hasilnya nihil, sama sekali tidak ditemukan kembali Ular Tikus Enggano.

Pria yang saat ini menjadi peneliti bidang Herpetologi LIPI ini mengaku, penemuan Enggano Rat Snake oleh dirinya dengan Evi Ayu Arida adalah kebetulan. Sebab kala itu keduanya sedang mengamati katak di pinggiran Desa Malakoni, desa yang masih di kelilingi hutan primer, pada awal Mei 2015 lalu. Tiba-tiba melihat ular tersebut melintas di belakangnya. “Mestinya, ular tikus itu aktif siang hari, namun mengapa jenis ini berburu mangsa malam hari?” ujar Amir keheranan.

Sebagaimana umumnya ular tikus, tentu saja jenis tersebut lebih banyak berburu tikus. Jenis jantan yang ditemukan Amir ini, panjangnya 1,5-2 meter. Tubuhnya abu-abu, ada strip hitam di bawah mata. Warnanya tidak menarik. Padahal, jenis ular tikus biasanya mempunyai corak atau motif tertentu.

Keanehan inilah yang coba disingkap Amir. Dirinya berkeyakinan bahwa ular tikus Enggano memang jenis yang berbeda mengingat proses evolusi di wilayah Enggano yang memang terpisah dari Sumatera. Menurutnya, pulau terisolir seperti Enggano memang memiliki endemisitas yang tinggi.

“Artinya, proses spesiasinya ular tikus Enggano sudah lama terjadi dan bila mengacu sebagai spesies tersendiri kemungkinannya sangat besar,” jelasnya.

Saya sudah melakukan kajian katak di Enggano yang ternyata kekerabatannya lebih dekat dengan yang ada di Pulau Nias, ketimbang yang hidup di Bengkulu dan Sumatera keseluruhan. “Ada kemungkinan, pulau-pulau kecil terluar seperti Simeulu, Nias, dan Enggano, dulunya satu. Namun, tidak pernah bergabung dengan Sumatera.”

Amir Hamidy menunjukkan spesimen ular tikus Enggano (Foto: Rahmadi Rahmad / Mongabay.co.id)

Amir Hamidy menunjukkan spesimen ular tikus Enggano (Foto: Rahmadi Rahmad / Mongabay.co.id)

Lalu mengapa setelah 80 tahun Enggano Rat Snake ini baru terlihat? Amir memperkirakan tiga kemungkinan. Pertama, populasinya menurun seiring dengan kerusakan lingkungan. Kedua, di Enggano hanya terdapat sedikit jenis tikus sehingga ular pemangsa pun sedikit. Ketiga, hingga saat ini belum ada riset menyeluruh dan cara yang tepat akan metode penelitian ular. “Ular ini kan sifatnya menghindar manusia.”

Meski begitu, pertanyaan menggelitik yang coba Amir telisik adalah aktifnya jenis ini di malam hari. Menurut lelaki berkacamata ini, sebagai pembanding, ia melihat mangsa sang ular yaitu tikus yang aktifnya siang atau malam.

Bila ular endemis ini hanya makan tikus, di Enggano terdapat berapa jenis tikus yang aktif di siang atau malam hari. Ini pertanyaan menarik yang mengarah pada proses evolusi, yaitu hubungan antara pre dan predator. Sebab umumnya predator berevolusi mengikuti buruannya (pre). Maka bila mangsa dalam hal ini tikus berkeliaran malam hari, dapat dipastikan bahwa ular tersebut aktif berburu pada malam hari.

Pembuktian berikutnya yang perlu dilakukan adalah pada aspek genetis. Melalui penelitian struktur DNA, nantinya akan terlihat sejauh mana proses evolusi yang terjadi di Enggano. “Dari kajian DNA akan diketahui pasti, apa genusnya, dan digolongkan dalam famili apa. Di Indonesia, saat ini ada 350 jenis ular.”

Ke depan, penelitian yang harus dilakukan terkait ular tikus Enggano adalah pada sistem reproduksinya, kondisi habitat yang berhubungan dengan tata guna lahan, serta ketersediaan pakan. “Pastinya, bila ular ini telah berevolusi spesifik memangsa tikus, dan tikus tidak ada lagi, dapat dipastikan ular istimewa ini akan punah. Saat ini, kami belum tahu berapa jumlahnya.”

Enggano sendiri merupakan pulau terluar Indonesia yang berada di pesisir Bengkulu dan langsung menghadap Samudera Hindia. Secara administratif, pulau seluas 400,6 kilometer persegi ini berada di Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.

mongabay.co.id

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ