Perempuan ini adalah “Ibu” Para Pahlawan Tanah Pasundan

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
1 replies

Pahlawan. Sosok yang seringkali dikagumi banyak orang namun mereka sendiri adalah sosok yang tidak ingin dipuja-puja dan ingin didamba. Sehingga seringkali orang-orang yang telah banyak memiliki jasa untuk masyarakat dan negara, tidak mendapatkan apresiasi yang sepantasnya baik ketika masih hidup ataupun ketika telah meninggal. Untuk itulah kemudian peran sejarawan diperlukan untuk mengungkap para pahlawan tersebut. Seperti yang dilakukan sejarawan perempuan yang baru saja mendapatkan penghargaan Habibie Award bersama tiga ilmuwan bangsa lainnya ini.

“Saya dikenal sebagai orang Batak yang ahli sejarah sunda,” kata Prof. Dr. Nina Herlina yang populer dikenal dengan nama Nina Herlina Lubis, saat memberi sambutan usai menerima Habibie Award di Perpustakaan Habibie Ainun di Jakarta (23/11/2015) yang lalu.

nina lubis

Meski sering disebut orang Batak, sebenarnya Doktor sejarah wanita pertama di Jawa Barat, dan yang ketiga di Indonesia ini asli berdarah Sunda. Nama Lubis datang dari almarhum suaminya, pria Mandailing, Livain Lubis.

Benar-benar asli Sunda, sebab Professor bidang sejarah ini lahir di Bandung tanggal 9 September 1956 dan Masa kecil hingga kuliah dihabiskan di Bandung. Dirinya sekolah di Sekolah Dasar Negeri Cibuntu Bandung pada 1962-1968, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri I Bandung (1969-1971), dan Sekolah Menengah Negeri 3 Bandung (1972-1974).

Sempat mencicipi bangku kuliah di jurusan Tehnik Industri ITB (1975-1977), akhirnya dia kabur dan memilih Program S-1 Jurusan Sejarah di USU, yang diselesaikan di Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1984. “Saya gak betah kuliah di ITB,” ujar ibu dua putri itu.

Karya penelitian ilmiahnya pun banyak mengungkap sejarah tentang Sunda, baik tesis maupun disertasi. Bidang sejarah nampaknya sudah menjadi pilihan hidupnya. Nina akhirnya menjadi staf pengajar seusai kuliah master di kampus almamaternya, Universitas Padjajaran (Unpad).

Menurutnya, sejarawan itu ilmu yang langka dan jarang diminati generasi muda, sebab sedikit potensi finansialnya. Namun, ia optimistis ilmu yang digelutinya ini memberikan kontribusi bagi masyarakat banyak.

“Sejarawan itu (saat ini -red) tak sampai 40 orang. 25 orang mungkin profesor. Lainnya doktor-doktor. Ilmu sejarah itu tak punya orientasi materi. Ya, artinya ilmu langka yang kurang peminatnya,” ujarnya.

Tapi ilmu sejarah telah membawa Nina Herlina berkeliling dunia ke sekitar 36 negara di dunia untuk seminar internasional. Nina juga pernah melakukan penelitian sampai ke luar negeri hanya untuk mencari informasi. Mulai dari Astana Gede Kawali, Kabupaten Ciamis sampai Mesir serta Yunani. Selain itu hasil penelitiannya telah banyak diterbitkan dalam 43 buku baik sendiri maupun bersama peneliti lain.

Nina Herlina Lubis (tengah) bersama Abdul Djalil Pirous dan Wisnu Jatmiko ketika menerima penghargaan Habibie Award 2015 (Foto: KOMUNIKA ONLINE)

Nina Herlina Lubis (tengah) bersama Abdul Djalil Pirous dan Wisnu Jatmiko ketika menerima penghargaan Habibie Award 2015 (Foto: KOMUNIKA ONLINE)

Buku-buku karyanya banyak sekali mengungkap peran nama-nama asing yang sebelumnya tidak dikenal hingga akhirnya diberi gelar pahlawan dan tentu saja tentang tanah Pasundan. Beberapa karyanya adalah Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda; Konflik Elite Birokrat; Sejarah dan Budaya Politik; Si Jalak Harupat; Biografi Oto Iskandar di Nata; Biografi HA Nasuhi; Biografi Himendra Wargahadibrata; PETA Cikal Bakal TNI; 13 Pahlawan nasional Asal Jawa Barat; Sejarah Provinsi Jawa Barat; Sejarah Provinsi Banten; Sejarah Kerajaan Sunda; Sejarah Kerajaan Talaga; Sejarah Kebudayaan Sunda; Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat.

Ilmu sejarah telah membawa Nina berkontribusi banyak pada Indonesia dan pahlawan nasional. Bahkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heyawan menyebutnya sebagai “Ibu yang melahirkan para pahlawan.”

Ketelitiannya menyusur jejak sejarah membuat Gubernur Jawa Barat mengangkat sebagai anggota Badan Pembina Pahlawan Daerah Jawa Barat (2001-2010). Dan sejak tahun 2011 sampai sekarang diangkat menjadi Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Jawa Barat.

Sampai saat ini Prof. Nina telah berhasil memperjuangkan tujuh tokoh asal Jawa Barat, atau tokoh yang berkiprah di Jawa Barat, menjadi pahlawan nasional yaitu: Iwa Koesoemasoemantri (2001), Maskoen Soemadiredja (2004), Gatot Mangkoepradja (2004), K. H. Nur Ali (2006), RM Tirto Adi Soerjo (2006), K. H. Abdul Halim (2008), dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara (2011).

Memperjuangan Mr Sjafruddin, menurutnya, merupakah salah satu yang paling sulit. Sebelum akhirnya berhasil diterima oleh tim pengkaji di Departemen Sosial dan di Sekertariat Negara. “Butuh 7 seminar tingkat nasional untuk meyakinkan bahwa Sjafruddin bukan pengkhianat bangsa, bukan anggota pemberontakan PRRI,” katanya.

Reputasinya sebagai pengusul pahlawan nasional ini membuat Pemerintah Provinsi Sumatra Barat meminta bantuan untuk pengusulan Rohana Kudus sebagai pahlawan nasional dan akhirnya mendapat Bintang Jasa Utama (2008). Juga Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat meminta bantuan untuk mengusulkan Sultan Bima sebagai pahlawan nasional hingga akhirnya mendapat mendapat Bintang Mahaputra (2010).

Karena kepakaran dan kesungguhan pula, Ilmu Sejarah membuat Tim pengkaji dari Yayasan SDM IPTEK memberinya Habibie Award bidang Ilmu Sosial pada bulan November lalu.

gatra.com

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ