Professor asal Solo, Ilmuwan Kelas dunia Pembedah Perut Bumi

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Indonesia terkenal sebagai negara yang dikelilingi oleh lingkar api, atau disebut dengan negara ring of fire. Julukan tersebut diberikan berkat jajaran pegunungan aktif yang tersebar hampir diseluruh di Indonesia. Mendapat predikat tersebut maka wajar bila seharusnya Indonesia memiliki seorang ahli geologi yang mengetahui tentang potensi maupun ancaman yang dimiliki lingkar api tersebut. Sri Widiyantoro adalah salah satunya

Pria lulusan Institut Teknologi Bandung ini adalah anak bangsa pertama yang membuktikan bahwa dorongan subduksi litosfer dibawah samudera mampu melampaui inti bumi. Publikasi ilmiahnya yang berjudul asli “The Evidence for Deep Mantle Circulation from Global Tomography” tersebut dirilis pada jurnal sains termasyhur, Nature pada tahun 1997.

Professor yang memiliki predikat sebagai Guru Besar pertama di bidang seismologi ITB ini sejatinya telah memprediksi beberapa gempa besar yang telah terjadi beberapa tahun lalu maupun yang berpotensi terjadi. Meski dirinya tidak mengetahui pasti kapan gempa tersebut akan terjadi.

Lempeng Bumi

Sri yang juga menjadi ketua Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Geofisika ITB ini menjelaskan berkat pemetaan tomografi yang dilakukannya, kini sains dapat mengetahui dimana pusat terjadinya gempat dengan lebih akurat. Teknik tomografi memungkinkan isi kerak dan lempeng, bahkan perut Bumi, bisa dilihat dengan tampilan tiga dimensi. Dalam kegempaan, hal ini sangat bermanfaat untuk melengkapi ilmu seismik.

Teknik pencitraan tomografi pada awalnya memang diterapkan di bidang kedokteran, yang digunakan untuk melihat anatomi tubuh manusia. Namun kemudian konsep ini diterapkan di berbgaia bidang mulai dari Computerized Tomographic (CT) Scanning hingga teknologi Magnetic Resonance Imaging (MRI). Ternyata, konsep serupa juga dapat diterapkan untuk memindai isi bumi kita dengan menggunakan data gelombang seismik yang dibangkitkan saat gempa bumi terjadi.

“Kedalamannya mencapai 3.000 kilometer. Ini adalah pemetaan di Amerika Tengah. Di bawah Pulau Jawa kedalaman penunjaman bisa mencapai 1.500 kilometer. Berkat tomografi, kita bisa tahu bahwa gempa bisa terjadi hingga kedalaman ini. Bukan hanya di batas 700 kilometer, seperti yang kita duga selama ini,” tutur peraih Habibie Awards tahun 2007 bidang Ilmu Dasar ini.

Sri WIdyantoro saat menerima Sarwono Award XIII 2014

Sri WIdyantoro saat menerima Sarwono Award XIII 2014

Hasil penelitian peraih Sarwono Award XIII dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2014 ini tentang geotomografi dan gempa telah banyak dijadikan rujukan ilmuwan-ilmuwan internasional. Sri pun tercatat sebagai peneliti ITB yang karyanya paling banyak dikutip. Scopus mencatat jumlah indeks sitasi atas namanya per Agustus 2014 telah melebihi angka 2385 sitasi. Angka ini tertinggi yang bisa dicapai seorang dosen di tingkat ASEAN.

Kebetulan mungkin adalah kata yang tepat untuk menjelaskan tentang karier cemerlang pria kelahiran Karanganyar, Solo 5 Desember 1962 tersebut. Prof Sri mengaku dirinya adalah seorang ilmuwan gempa hasil “kecelakaan takdir”. Sebab pada mulanya setelah lulus sarjana Geofisika ITB di tahun 1981 dia melanjutkan program magister ke Kyoto University di Jepang (1989). Dia tidak pernah terpikir akan berprofesi sebagai dosen ataupun ilmuwan dan lebih ingin menjadi tenaga eksplorasi minyak.

“Di Jepang saya mengambil konsentrasi ilmu tentang eksplorasi minyak. Karena, seperti yang lainnya, begitu lulus inginnya mencari kerja di bidang perminyakan,” kenangnya. Namun, takdir pun berbicara lain.

Perjumpaannya dengan Prof Y Kobayashi dari Kyoto University saat berkonsultasi mengambil program doktor mengubah pandangan hidupnya mengenai arti penting keilmuan bagi masyarakat. Ada hal yang lebih penting dan berharga daripada materi atau uang.

“Kata beliau, untuk sekadar jadi pekerja perminyakan, bergelar S-2 dari Jepang sudah cukup. Tetapi, ia menyarankan saya menekuni bidang kegempaan karena di Indonesia ilmu ini sangat dibutuhkan,” tuturnya.

Selama masa perenungan, secara kebetulan pula dia bertemu dengan Prof B Kennett dari Australian National University. “Saya lalu memutuskan untuk mendalami geotomografi di sana,” tuturnya.

Selama menempuh studi di Australia, ia mendapatkan penghargaan internasional, The Doornbos Memorial Prize yang diberikan International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) atas riset doktoralnya mengenai tomografi beresolusi tinggi untuk zona subduksi.

Akhirnya Sri meninggalkan cita-cita menjadi ahli perminyakan yang bisa membuat dia lebih kaya. “Saya tidak pernah menyesal. Ilmu itu bukanlah sekadar mencari uang, kalau itu bisa lebih bermanfaat bagi banyak orang, itu jauh lebih baik,” tuturnya.

Kini dirinya bersama-sama dengan sejumlah ilmuwan ITB lainnya bekerja sama dengan LIPI tengah merancang sebuah perangkat mitigasi bencana gempa yang disebut Peta Percepatan Pergerakan Tanah atau Peta Zonasi Seismik yang berskala nasional.

Peta ini akan nantinya menjadi rujukan nasional bagi para ahli sipil dan arsitek ketika mendirikan bangunan. Sebab akan digunakan untuk mengurangi risiko akibat gempa dan akan dijadikan Standar Nasional Indonesia (SNI).

“Bagaimanapun, gempa tidak bisa diketahui kapan terjadi, tidak bisa dicegah atau dihentikan. Yang bisa kita lakukan hanya mengantisipasinya,” tutur pengagum Albert Einstein ini.

Prof Sri hanya mengingatkan agar masyarakat selalu waspada terhadap kemungkinan gempa. Seperti warga yang tinggal di wilayah pesisir barat Sumatera yang berresiko mengalami gempa berskala sangat besar.

Dia berharap agar pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan mitigasi dan pendidikan kebencanaan di daerah rawan gempa. Misalnya, membuat jalur evakuasi bencana dan perbaikan sistem peringatan dini.

Sebab hingga kini belum ada satu pun alat yang bisa mendeteksi kejadian gempa di suatu tempat. Hal yang bisa dilakukan hanya memprediksi dan memantau aktivitas kebumian untuk meminimalkan dampak gempa, seperti riset geotomografi yang dilakukannya.

itb.ac.id; tokohindonesia.com

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ