Tradisi Sumba ini Hanya untuk Joki yang Berani Mati

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Sumba yang terletak di timur Indonesia sejak lama terkenal sebagai wilayah para joki kuda handal di Nusantara. Banyak tradisi yang dilakukan disana tidak pernah lepas dari kuda. Bahkan terdapat sebuah tradisi permainan berkuda namun terbilang sadis karena dalam tradisi ini diharapkan terjadi pertumpahan darah bahkan sampai dengan kematian. Tradisi tersebut disebut sebagai Pasola.

Pasola adalah atraksi perang yang dilakukan oleh dua kubu dengan menunggang kuda. Setiap kubu terdiri lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter 1,5 cm dengan ujung yang tumpul. Tradisi ini biasanya diadakan pada bulan Februari atau Maret ketika Nyale atau cacing laut dapat ditemukan di perairan dangkal

Joki Pasola (Foto: Barry Kusuma / KOMPAS TRAVEL)

Joki Pasola (Foto: Barry Kusuma / KOMPAS TRAVEL)

Bukan sekadar pemainan adat, Pasola adalah budaya dan tradisi masyarakat Sumba. Pasola berasal dari kata sola atau hola yang bermakna lembing kayu dalam bahasa lokalnya. Pelafalan kata tersebut dibubuhi awalan menjadi pasola, sehingga makna pun berubah menjadi permainan demi perekat jalinan persaudaraan.

Tradisi ini dimaknai sebagai perang damai dalam sebuah ritual adat. Meskipun sering memakan korban, pasola tetap berpacu di tanah Sumba sebagai permainan penawar duka. Duka seorang leluhur atas hilangnya belahan jiwa.

Tidak semua orang bisa berpartisipasi dalam Pasola. Dalam peperangan ini, membutuhkan kemahiran berkuda, kelihaian melempar lembing dan keberanian untuk mati. Sebab resikonya tidak main-main. Hanya saja tetap terdapat peraturan yang mengatur ketika peserta dan kuda yang jatuh tidak boleh diserang.

Cedera memang tidak terelakkan dalam pelaksanaan tradisi yang tidak jarang mengakibatkan korban jiwa itu. Namun terkadang kejadian semacam itu justru dinanti warga setempat. Mereka percaya darah yang tercucur ke tanah akan menjadi persembahan bagi Dewa Bumi yang memberi kesuburan ke tanah Sumba.

Tidak ada yang bisa memastikan berapa lama ritual itu berlangsung. Semuanya tergantung keputusan para pemimpin adat yang memantau suasana Pasola. Bila para pemimpin adat merasa para kesatria sudah kelelahan bertarung, Pasola akan dinyatakan selesai.

Para Pasola Berhadap-hadapan (Foto: Fadil Aziz)

Para Pasola Berhadap-hadapan (Foto: Fadil Aziz)

Sekolah-sekolah di kampung yang mengadakan Pasola akan meliburkan murid-muridnya selama tiga hari mulai dari sehari sebelum Pasola, pada hari pelaksanaan dan sehari setelah Festival Pasola.

Pasola dilaksanakan bergiliran di kampung-kampung Sumba Barat sehingga hari libur tiap sekolah pun bervariasi.

Menjelang Pasola, masyarakat akan berbondong-bondong berangkat ke arena tarung. Para lelaki akan mengikatkan kain tenun di kepala dan memakai sarung tenun pendek selutut, seperti yang dipakai para kesatria Pasola.

Para perempuan mengenakan sarung tenun yang panjangnya mencapai mata kaki. Sementara anak-anak mengenakan pakaian biasa seperti kemeja dan kaus yang dipadu celana pendek.

Warga setempat yang sebagian tidak beralas kaki berbaris menyusuri jalan aspal menanjak dari perkampungan ke arena Pasola di Hobba Kalla demi menyaksikan upacara tahunan itu.

Selain di Hobba Kalla, Lamboya, ritual Pasola juga dilaksanakan di Kamaradena, Kecamatan Wanokaka, dan Gaura di Lamboya Barat, Maliti Bondo (Ratenggaro), Kecamatan Kodi Bangedo serta Waiha dan Wainyapu di Kecamatan Kodi Blaghar.

Setiap rumah di kampung yang mengadakan Pasola akan memasak dalam porsi besar. Mereka siap menyambut para tamu dari lingkungan sekitar yang akan bersilaturahmi usai perhelatan Pasola.

Salah satu ruang kelas di sekolah Lamboya disulap menjadi ruang prasmanan oleh guru yang rumahnya bersebelahan dengan sekolah tersebut.

“Pasola itu mirip seperti suasana Lebaran”

antaranews.com

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ