Seperti apa pohon Jengkol?

Written by Akhyari Hananto Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
1 replies

Hampir semua dari kita mengenal Jengkol, atau setidaknya mendengar namanya. Namun mungkin tak banyak dari kita yang pernah memakannya, dan mungkin lebih sedikit yang mengenal asal usul jengkol, apalagi melihatnya tumbuh di pohon aslinya.

Banyak yang mengenalnya hanya dari baunya, dan menghindarinya.

Nah, bicara jengkol, ada baiknya kita mengenal lebih dekat asal usul buah polong-polongan, yang bila dimasak digandrungi sebagian besar orang Indonesia ini.

Jengkol atau Pithecollobium Jiringa atau Pithecollobium Labatum, merupakan jenis tanaman khas wilayah tropis Asia Tenggara. Pohon ini bisa anda temukan di Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Thailand. Di negara-negara itu pula biji jengkol diolah menjadi rupa-rupa menu makanan.

Di Indonesia, beberapa daerah memiliki istilah sendiri-sendiri untuk menyebut tanaman ini. Misalnya jengkol atau erring dipakai orang Jawa, lubi istilah orang Sulawesi, jariang untuk wilayah Minangkabau, jaring untuk daerah Lampung dan joring atau jering untuk daerah Batak.

Bagi orang Indonesia, biji pohon jengkol ini juga bisa diolah menjadi berbagai menu makanan. Misalnya dijadikan keripik, semur atau jenis kudapan lain.

Dalam buku “Sejarah Keraton Yogyakarta” cetakan 2009, penulis Ki Sabdacarakatama mengutip buku babad “Giyanti” tulisan Yosodipuro. Dia menyebut, pohon erring atau jengkol pernah digunakan sebagai patok cikal bakal calon kota Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono I, usai perjanjian Giyanti.

Namun demikian, makanan dari biji jengkol atau erring itu kurang popular bagi masyarakat Jawa. Jengkol lebih popular di kalangan masyarakat Betawi, Pasundan dan Sumatra. Bagi orang Sumatera jengkol cenderung dianggap sebagai makanan murahan.

Penyebabnya, biji jengkol bisa menimbulkan bau tak sedap pada napas dan sisa pencernaan. Pemakan jengkol sering menjadi korban ejekan dari sekelilingnya. Tapi uniknya, tetap banyak orang-orang yang makan jengkol.

Di Sumatera, pohon jengkol tumbuh di lereng-lereng pegunungan Bukit Barisan, pekarangan dan ladang-ladang penduduk. Orang Sumatera belum terbiasa membudidayakan tanaman jengkol. Mereka umumnya memperoleh biji-biji jengkol mentah dari tanaman liar di sekitar hutan atau yang tumbuh secara tak sengaja di ladang-ladang.

Begitu juga di  Jakarta. Konon orang-orang Betawi banyak yang menanam pohon ini di pekarangan-pekarangan rumah. Misalnya di wilayah Pondok Gede dan Lubang Buaya. Sekarang dua daerah itu terkenal karena semur jengkolnya, yang disebut-sebut sebagai makanan khas orang Betawi.

Selama ini memang tidak ada catatan resmi sejak kapan Jengkol dikenal di tengah penduduk Indonesia ini. Jengkol agaknya sudah ada sepanjang umur peradaban manusia di Nusantara. Seperti dikatakan Sejarawan Jakarta JJ Rizal, jengkol ini bukan hanya dikenal di Jakarta, tapi juga di daerah lain di Indonesia.

“Tidak ada catatan resmi. Tapi jengkol sepertinya identik dengan makanan rakyat miskin, rakyat pinggiran. Makanan ini kan baunya tidak sedap, dianggap makanan sampah. Dulu mungkin orang kota tidak terlalu peduli, tapi sekarang sepertinya banyak yang suka,” terangnya.

Menurut ahli botani asal Inggris, Isaac Henry Burkill (1935) lewat buku catatan berjudul; dictionnary of the economic products of the Malay peninsula, jengkol selain dipakai sebagai lauk pauk, juga dipakai untuk obat diare dalam dunia medis, bahan keramas rambut, dan bahan penambah karbohidrat.

Pohon jengkol berbuah secara musiman, antara November hingga Januari. Tanaman ini banyak ditemukan di Indonesia dan Malaysia. Tinggi pohon mencapai 26 meter, bisa hidup di dataran tinggi maupun rendah. Meski bisa dimakan, jengkol juga mengandung racun berasal dari asam jengkolat (L-Djengkolid acid).

Kasus keracunan jengkol di Indonesia pernah dilaporkan dokter peneliti Belanda, Van Veen dan Hyman. Hyman menulis buku yang menjadi rujukan medis terbit pada 1933 berjudul “on the toxic component of the djenkol bean”. Dia menyebut pada zaman penjajahan Belanda dulu kasus keracunan jengkol banyak dialami orang-orang Jawa.

Namun demikian, dalam buku itu dia tidak mengungkap detail jumlah kasus. Dia lebih fokus pada penemuan asam jengkolat yang terkandung dalam jengkol dari penelitianya di Jawa.

[merdeka.com]
 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ