Ketika Harimau, Merak dan Kesaktian Menjadi satu

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Berbicara tentang kesenian dan budaya di Indonesia memang tidak ada habisnya. Mulai Sabang sampai Merauke, di setiap daerah pasti memiliki kesenian yang khas masing-masing. Diantara-diantara kesenian tersebut secara umum adalah kesenian pertunjukan, yang dalam waktu-waktu tertentu digelar untuk upacara adat atau semacamnya. Nah, salah satu kesenian tarian yang dimiliki oleh Indonesia adalah Reog Ponorogo.

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang masih sangat dekat dengan kekuatan mistis dan kebatinan. Kesenian yang terkenal karena topeng harimau berbulu meraknya ini berasal dari Jawa Timur dan Ponorogo adalah kota asal Reog, sehingga kesenian ini disebut sebagai Reog Ponorogo. Dalam kesenian yang menampilkan atraksi-atraksi cukup ekstrim ini terdapat tokoh dua tokoh dominan yakni Warok dan Gemblak. Warok adalah seorang yang sakti, sedangkan Gemblak adalah seorang bocah piaraan Warok.

reog

Terdapat banyak versi sejarah tentang bagaimana asal-usul dimulainya tarian Reog ini. Namun kisah paling populer adalah cerita yang melibatkan pemberontakan Ki Ageng Kutu di masa Majapahit. Ki Ageng Kutu diceritakan dahulunya adalah seorang abdi Majapahit yang menguasai Wengker. Ki Ageng Kutu yang berkuasa dibawah kepemimpinan Raja Majapahit Bra Kertabumi tidak menyukai kekuasaan Cina yang menguasai Majapahit kala itu. Selain korupsi merajalela, ternyata para orang Cina saat itu juga dianggap telah mempengaruhi Bra Kertabumi. Sehingga bukan tanpa alasan bila Ki Ageng Kutu akhirnya memperkirakan Kerajaan Majapahit akan runtuh tidak lama kemudian. Maka benar saja, dalam catatan sejarah, Raja Bra Kertabumi adalah Raja terakhir dari Kerajaan Majapahit.

Ki Ageng Kutu yang kecewa dengan kerjaan akhirnya memutuskan hubungan dengan istana dan mulai mendirikan perguruan untuk mengajar pemuda-pemuda seni bela diri, kekebalan tubuh, dan ilmu kesempurnaan batin. Dirinya berharap upayanya ini akan mampu menjadi bibit kejayaan Kerajaan Majapahit di masa depan. Namun keputusannya untuk meninggalkan kerajaan dipandang sebagai pemberontakan dan perguruannya dilihat sebagai upaya pembentukan pasukan pemberontak. Ki Ageng Kutu yang sadar bahwa kekuatannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka keresahannya disampaikan melalui pertunjukan seni Reog yang menunjukkan sindiran-sindiran terhadap Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog ini kemudian menjadi cara Ki Ageng Kutu untuk membangun dukungan terhadap dirinya melawan Majapahit.

Penampilan utama dalam Reog adalah sebuah topeng kepala harimau yang disebut sebagai Barong, sang raja hutan. Kepala singa itu kemudian dihiasi dengan bulu-bulu merak yang menjulang tinggi dan menampakkan sosok yang mewah. Karakter ini menjadi simbolisasi dari sosok Bra Kertabumi yang saat itu menjadi Raja Majapahit yang terpengaruh oleh kemewahan dan keserakahan para orang-orang Cina.

Selain itu juga ada karakter Jathilan. Karakter ini menggambarkan prajurit berkuda Majapahit. Tarian ini dibawakan oleh penari yang diantara penari yang satu dengan lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan sang penari. Karakter ini adalah simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan dengan kekuatan para Warok.

Jathilan

Warok sendiri adalah karakter yang menggambarkan sosok Ki Ageng Kutu. Sebutan warok berasal dari kata wewarah dalam bahasa jawa yang berarti mampu memberi tuntunan dan ajaran perihal kehidupan. Selain itu, warok juga dikenal memiliki sifat kesatria seperti berbudi luhur, jujur, bertanggung jawab, rela berkorban untuk kepentingan orang lain, bekerja keras tanpa pamrih, adil dan tegas, dan tentu saja sakti mandraguna. Dalam versi lain, karakter ini dijelaskan sebagai para murid Ki Ageng Kutu yang dikalahkan oleh Raden Bathoro Katong.

Warok

Kembali pada sosok Ki Ageng Kutu. Perguruan dan Reog yang diajarkan oleh Ki Ageng Kutu menjadi semakin populer menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang. Perlawanan yang dilakukan oleh warok tidak memberikan banyak arti dan dengan singkat dapat teratasi dan kemudian perguruan dilarang untuk beroperasi. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Meski perguruannya telah dimusnahkan, namun kesenian Reog yang sudah terlanjur populer di masyarakat masih diperbolehkan dengan persyaratan ceritanya harus diubah yakni menjadi cerita-cerita rakyat seperti Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo yang saat ini dipentaskan secara luas adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan para warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya.

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam perjalanannya kesenian Reog adalah sebuah kreasi yang terbentuk karena adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun. Upacaranya pun tetap menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya lebih-lebih bila tidak memiliki garis keturunan yang jelas sebab para penerus kesenian ini menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

indonesiakaya.com

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ