Perempuan Magelang, Inovator Energi Kelas Dunia

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Isu energi menjadi isu yang sering diperbincangkan saat ini di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang terus tinggi membuat kebutuhan energi menjadi saat penting. Permasalahan tersebut kemudian mendorong banyak riset dan pembangunan pembangkit listrik baru. Sayangnya kebanyakan pembangkit masih berbasis bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan.

Menyadari bahwa kerusakan lingkungan karena bahan bakar adalah sesuatu yang tidak dapat menjadi kebijakan jangka panjang, perempuan kelahiran Magelang, 14 Juni 1974, Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi menemukan inovasi bahan bakar fuel cell berbasis hidrogen. Berkat penemuannya itu dirinya mendapatkan berbagai macam penghargaan salah satunya Habibie Award 2010 untuk bidang ilmu rekayasa energi.

Riset Eniya dimulai dengan “ketidaksengajaan” yang ternyata membawanya menemukan katalis baru untuk sel bahan bakar. “Saat eksperimen, saya sering meninggalkannya waktu makan siang. Saya pikir tidak masalah. Ketika saya melihat hasil eksperimen setelah saya tinggal, kok jadinya berbeda. Ternyata, perbedaan itu malah menjadi inovasi,” tutur Eniya.

Katalis baru temuan Eniya itu telah membuat terobosan zinc-air fuel cell (ZAFC). Yakni, suatu generator penghasil listrik berbahan bakar logam dan oksigen.

Hasil risetnya dipublikasikan di delapan jurnal internasional dalam waktu tiga tahun. Temuan tersebut lantas diakui dunia. Eniya mendapatkan penghargaan Mizuno Award dan Koukenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan pada 2003.

Eniya

Teknologi sel bahan bakar merupakan sumber energi alternatif penghasil listrik yang ramah lingkungan. Cara kerjanya, mereaksikan gas hidrogen dengan oksigen berdasar prinsip elektrokimia. “Hasilnya adalah listrik, panas, dan air murni. Tanpa suara, tanpa emisi, layaknya baterai atau aki,” tutur ibu Ibrahim Muhammad, Nashita Saaliha, dan Nashira Saaliha tersebut.

Fuel cell memang tidak meninggalkan emisi. Hasil buangnya hanya berupa air murni. Prinsip fuel cell mirip dengan baterai atau aki. Bedanya, energi fuel cell menggunakan diisikan hidrogen, alkohol (metanol, etanol), dan hidrokarbon lain sebagai bahan bakar.

Penelitiannya di bidang fuel cell telah dipublikasikan di jurnal dan makalah internasional serta dalam negeri. Jumlahnya lebih dari 160 judul. Dia juga telah mematenkan temuan tersebut di enam hak kekayaan intelektual. Empat paten miliknya juga masih diproses.

Selain fuel cell itu Eniya juga menemukan ThamriON, yang baru saja mendapatkan penghargaan Inovasi Paten dari Ditjen HKI 2010. ThamriON merupakan membran sel bahan bakar dari plastik yang direaksikan dengan asam sulfat sehingga plastik bisa menghantarkan listrik.

Nama paten ThamriON punya sejarah unik. “Saya bekerja di Jalan M.H. Thamrin (Kantor BPPT, Red). Jadi, nama itu saya ambil. Kalau ON berasal dari kata ion. Sebab, plastik bisa menghasilkan ion,” jelas nya.

Eniya mengembangkan sel bahan bakar dengan material lokal hingga 80 persen. Karena itu, biaya untuk menghasilkan produk tersebut lebih murah. Upaya Eniya itu mendapatkan anugerah PII-Engineering Award pada 2006. Salah satu pengembangan sel bahan bakarnya dibuat di BPPT dalam berbagai ukuran daya, mulai 5 hingga 1.000 watt.

Sel tersebut diklaim bisa menyalakan perangkat elektronik, seperti televisi, laptop, lampu, dan radio. Ada pula yang dikembangkan untuk motor, yakni fuel cell berkapasitas 500 watt. Untuk lebih menghemat biaya produksi energi terbarukan, Eniya pun mengembangkan gas hidrogen dari limbah biomassa.

Dia punya impian bahwa setiap rumah bisa memiliki energi mandiri dari fuel cell. Selain lebih ramah lingkungan karena menggunakan energi terbarukan, fuel cell menghasilkan listrik yang lebih stabil. “Tidak akan ada lagi cerita pemadaman listrik,” harap Eniya.

Namun, dia mengakui bahwa mengembangkan energi terbarukan bukan persoalan gampang. Apalagi, selama ini memang acap terjadi kesenjangan antara temuan teknologi dan produksi masal perusahaan. Apalagi, penggunaan energi seperti minyak bumi dan batu bara masih mendominasi.

Padahal, di negara-negara seperti Jepang dan kawasan Eropa, teknologi fuel cell terus dikembangkan. Di Jepang, kota hidrogen telah lama dirintis di Fukuoka. Meski demikian, teknologi fuel cell bukan berarti tanpa penerapan terkini. Eniya mengatakan, saat ini sejumlah menara telekomunikasi (BTS) sudah menggunakan teknologi fuel cell. Sebab, BTS harus menggunakan listrik berarus DC (searah).

“Listrik PLN kan AC (arus dua arah). Karena itu, harus digunakan inverter yang harganya malah lebih mahal,” lanjutnya. Dia menambahkan, setidaknya teknologi fuel cell bisa digunakan sebagai back up energi konvensional.

Ketertarikan Eniya terhadap fuel cell berawal sejak duduk di bangku SMA, saat itu dirinya sangat menyenangi kegiatan yang berkaitan dengan kelesatarian lingkungan. “Saya suka dengan kegiatan daur ulang. Membuat kompos dari sampah, misalnya,” ucap lulusan SMAN 1 Magelang pada 1992 tersebut.

Minat terhadap fuel cell lantas muncul setelah dia menempuh pendidikan program sarjana di Waseda University, Jepang. Dia mendapatkan beasiswa program sarjana science and technology advance industrial development (STAID) Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Saat itu B.J. Habibie masih menjadi Menristek, beasiswa tersebut sangat bergengsi dan menjadi incaran banyak siswa SMA jurusan ilmu-ilmu eksakta.

Gelar S-1 dia raih di tahun 1998. Kemudian dirinya melanjutkan pendidikan ke jenjang master di tahun 2000 dengan beasiswa Iwaki Glass Industry. Selama program doktor, Eniya mendapatkan fellowship sebagai special researcher of young scientist for the promotion of science dari Japan Science Technology. “Itu fellowship terunggul. Dengan bimbingan profesor saya, saya makin tertarik untuk mengembangkan fuel cell,” tegas dia.

jpnn.com

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ