Sejarah Peci di Indonesia

Written by Imama Lavi Insani Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Siapa yang tak mengenal peci? Benda yang umumnya terbuat dari beludru berwarna hitam dan dipakai oleh kaum adam ini sangat mudah kita jumpai di sekeliling kita.

Tak hanya sebagai pelengkap beribadah namun peci juga dikenal sebagai identitas nasional Indonesia. Semua orang tak mengenal jenis suku ataupun agama tertentu diperbolehkan untuk memakai benda ini.

Dikutip dari salah salah satu buku yang ditulis oleh Cindy Adams “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang menyatakan bahwa penetus peci sebagai ikon nasional adalah presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Pemuda itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat.

Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri.
“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”
“Aku seorang pemimpin.”
“Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi.
“Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!”
Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.” 

Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci.Namun sebenarnya Sukarno bukanlah intelektual yang kali pertama menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politisi, yang secara tidak sengaja sedang menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam. Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala.

Lalu, bagaimana awalnya peci di Indonesia?

Di Indonesia kita akrab dengan sebutan “peci” maka di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand menyebutnya “songkok”.

Menurut Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or KopiahThe Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa. “Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,” tulis Rozan.

Peci sudah dikenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan. “Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III.

Peci kemudian menjadi penanda sosial seperti penutup kepala lainnya yang saat itu sudah dikenal seperti kain, turban, topi-topi Barat biasa, dan topi-topi resmi dengan bentuk khusus. Pemerintah kolonial kemudian berusaha mempengaruhi kostum lelaki di Jawa. Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.

Itulah sejarah peci di Indonesia, kini peci tak lagi dianggap sebagai bagian dari busana agama tertentu namun telah menjadi ikon nasional yang menjadi busana formal.

Sumber:

http://yafi20.blogspot.com/2013/07/sejarah-asal-mula-peci-di-indonesia.html#ixzz3peBPmx1a

http://www.wartamadani.com/2013/10/sejarah-dan-asal-usul-peci-hitam.html

http://historia.id/retro/nasionalisme-peci