Cerita Perempuan Australia yang Jatuh Cinta dengan Wayang

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Budaya Indonesia tidak hanya menarik bagi kita sebagai anak bangsa. Namun juga telah banyak mendatangkan peminat lain yang berasal dari berbagai negara di dunia. Tentu tidak terkecuali dari negara tetangga, Australia. Terdapat seorang perempuan warga Australia yang mengaku sangat mencintai wayang, sampai-sampai dirinya mau belajar tentang perdalangan dan bahkan mendalang!

Perempuan itu adalah Helen Pausacker, dirinya jatuh cinta dengan wayang kulit sudah selama lebih dari 40 tahun, dan satu-satunya perempuan Australia yang belajar secara profesional menjadi dalang. Saat tampil di Australia, Helen mendalang dalam Bahasa Inggris.

Helen Pausacker

Helen Pausacker tengah belajar menjadi dalang pada tahun 1976 (Foto: Helen Pausacker / radioaustralia.net.au).

Secara tradisional, wayang terbuat dari kulit kerbau yang diawetkan dan diwarnai di kedua sisinya. Wayang kulit sudah ditampilkan di tanah Jawa sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu. Seni pertunjukan ini tergolong bentuk teater yang paling rumit di dunia.

Cerita wayang diambil dari kisah epik Mahabharata dan Ramayana, yang berasal dari zaman Kerajaan Hindu Jawa di masa lalu, tapi tiap pertunjukannya biasanya didasarkan pada secuil bagian dari kisah epik tersebut.

Karakter dalam ceritanya menentukan kepribadian dan suara masing-masing wayang. Termasuk karakter jenaka yang mengomentari peristiwa terkini, atau bergurau tentang pihak pendukung pertunjukan atau musisi yang kebetulan menemani tampil.

“Bisa saja membuat cerita yang benar-benar baru atau disebut ‘carangan’ atau ‘cabang cerita’, selama ia tak mempengaruhi peristiwa utama di Mahabharata dan Ramayana. Bagaimana pun, dengan kendala yang dimiliki cerita itu beserta strukturnya, ada ruang untuk interpretasi, mengingat tradisi bersifat oral, sehingga tak harus mengintepretasikan naskah tertulis,” terang Helen.

Bagi Helen, menjadi dalang adalah sebuah hobi yang serius, dan menjadi benih-benih cintanya terhadap seni yang pertama kali dilihatnya dalam kunjungan ke Indonesia pada tahun 1974.

“Wayang adalah bentuk seni yang rumit, merupakan perpaduan harmonis antara cerita, drama, musik, dan seni (wayang). Saya pertama kali melihatnya di Jakarta tahun 1974, dalam kunjungan perdana saya ke Indonesia,” kisahnya.

Ia lantas melanjutkan, “Saya belajar tentang Indonesia di Universitas Melbourne, tapi Wayang saat itu dimainkan dalam bahasa Jawa, yang sama sekali tak dimengerti oleh saya dan bahkan teman-teman Jakarta saya. Jadi kami tak tahu apa yang terjadi, tapi kami nonton semalaman dan sungguh-sungguh menikmati pengalamannya.”

Pada tahun 1976, ia kembali ke Indonesia, mempelajari seni ini di Solo selama setahun, yang kemudian diikuti dengan pembelajaran intensif di tahun 1981, 1995 dan 1997-98. Sebagian besar dalang berasal dari keluarga dalang, dan kelompok minoritas akan belajar melalui guru pribadi atau di sekolah khusus dalang, atau di salah satu institut seni negeri.

Helen Pausacker

Helen Pausacker tampil di Indonesia pada 1997 (Foto: Helen Pausacker / radioaustralia.net.au)

“Di antara orang Jawa, ada kegandrungan terhadap wayang, tapi tak semua orang Jawa pergi nonton wayang. Wayang juga bisa dilihat melalui bentuk teknologi baru – awalnya ia disiarkan melalui radio setiap bulan. Kini, juga ada siaran televisi dan beberapa bagian dari pertunjukannya juga diunggah di Youtube. Beberapa dalang bahkan aktif di Facebook,” tutur Helen.

Karakter Helen sangatlah unik mengingat posisinya sebagai warga Australia yang dilatih untuk menjadi dalang. Menjadi dalang perempuan juga secara relatif tak lazim, karena kebanyakan dalang adalah pria.

Di Indonesia, ada sejumlah dalang perempuan ternama, salah satunya adalah almarhumah Nyi Suharni Sabdhowati.
“Ia dulu dalang perempuan yang populer, dan seorang guru buat saya. Ada banyak dalang yang saya kagumi dan selama bertahun-tahun saya punya banyak guru yang sangat hebat. Saya sangat tertarik pada mereka yang fokus akan interpretasi karakter dan cerita,” katanya.

Menjadi dalang dari pertunjukan wayang semalam suntuk adalah kesenangan tersendiri dengan atmosfer yang unik, dan sangat berbeda dengan apa yang ada dan diadaptasi di Australia.

“Di Jawa, itu akan bergantung pada tempat pertunjukan. Di desa, pertunjukannya sangat hidup, orang-orang mengomentari. Di kota, penontonnya lebih jaim, tapi masih lebih ramai ketimbang di Australia,” ceritanya.

Helen meneruskan, “Karena pertunjukan wayang di Jawa berlangsung selama 9 jam, para penonton akan ngobrol dan atau sambil makan dan hilir mudik. Mereka yang diundang mendapat makanan, dan yang tak diundang akan membeli makanan dari penjual kaki lima. Dan semakin malam, musiknya semakin keras dan rancak.”

Di Australia, Helen tampil bersama Komunitas Gamelan Melbourne, yang telah terbentuk lebih dari 20 tahun yang lalu. Gamelan adalah salah satu instrumen tradisional yang menjadi rangkaian dari instrumen besar, dan musik inilah yang mengiringi pertunjukan wayang.

“Saya tak pernah menjadi dalang semalam suntuk, dan di Australia saya mendalang dalam bahasa Inggris. Di sini, kami juga menampilkan wayang dalam bentuk singkat (1 hingga 3 jam),” ujarnya.

Ia menyambung, “Saya tak menganggap diri saya dalang sebenarnya, karena tak pernah menampilkan pertunjukan wayang semalam suntuk. Di Jawa, saya menampilkan ‘mucuki’, pertunjukan pendek yang biasanya dilakukan oleh dalang anak-anak – dan mungkin standar saya memang baru anak-anak!.”

radioaustralia.net

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ