Alam dan Kosmologi Suku Baduy

Written by Akhyari Hananto Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

by Ferry Fathurokhman

Hari itu, tas ransel hitam saya penuh beban. Empat kilogram beras, satu kilogram ikan asin, tujuh bungkus mi instan, bekal makan siang dari istri, empat buku tentang Baduy, dan sebuah buku catatan. Semua itu saya bawa ke Cibeo, sebuah Kampung Baduy Dalam di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten. Saya akan menulis tesis mengenai hukum pidana adat Baduy.

Tema tesis ini saya peroleh setelah berdiskusi dengan seorang kawan, Abdul Hamid, di sebuah hotel di Semarang, Jawa Tengah. Pemantiknya, ada kasus pembunuhan yang melibatkan warga Baduy dan luar Baduy. Dan bersegeralah saya mengumpulkan dan mempelajari bahan bacaan mengenai segala sesuatu yang terkait Baduy.

Dari semua bahan bacaan itu, hampir semua penulis Baduy selalu mencantumkan filosofi Baduy: “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung”, yang artinya panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Filosofi ini memberikan pedoman bagi masyarakat Baduy dalam berinteraksi dengan tata kosmos, alam semesta. Saya menutup sebuah buku Baduy dan bergumam “Ada hubungan apa antara Baduy dengan alam?”

Desa Kanekes
Kanekes adalah nama sebuah desa dimana komunitas masyarakat Baduy berada. Ibukota Desa Kanekes adalah Kampung Kadu Ketug III, atau dikenal juga dengan nama Babakan Cigoel yang menjadi tempat Jaro Dainah berada. Dalam struktur adat Baduy, Jaro Dainah menjabat sebagai Jaro Pamarentahan yang bertugas, antara lain, sebagai penghubung antara masyarakat Baduy dengan pemerintahan dan lingkungan di luar Baduy. Jaro Dainah berambut ikal dengan alis yang tebal. Berkumis, kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang Indonesia. Kita akan menemukan kesan yang tidak ramah jika baru pertamakali bertemu dan belum akrab. Namun, jika telah beberapa kali bertemu dan mengetahui maksud baik kita, maka obrolan tentang Baduy mengalir lancar dari mulutnya. Bahkan, ia tak sungkan memberikan data tertulis.

Desa Kanekes terdiri dari 59 kampung yang dibagi ke dalam tiga bagian: tiga kampung Baduy Dalam, 55 kampung Baduy Luar, dan satu kampung luar Baduy. Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik merupakan Kampung Baduy Dalam yang jumlahnya tidak akan berkurang atau bertambah. Selalu tiga kampung. Sementara, Kampung Baduy Luar dapat bertambah jumlah kampungnya seiring pertambahan penduduk dan pemekaran daerah. Satu kampung luar Baduy yang disebut Jaro Dainah adalah Cicakal Girang. Berbeda dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar yang memeluk agama Sunda Wiwitan, seluruh warga Cicakal Girang merupakan pemeluk agama Islam.

 

Jadi, seluruh masyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Jaraknya sekitar lima puluh kilometer dari Rangkasbitung, ibukota Kabupaten Lebak. Desa yang teksturnya berbukit-bukit ini berada di kawasan Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 500 – 1.200 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas 5.101,85 hektar. Lembah-lembah di sana merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung, yang oleh masyarakat Baduy sering disebut hutan tutupan atau hutan larangan.

Adapun jumlah penduduk Baduy mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 1888, orang Baduy berjumlah 291 jiwa dan menghuni sepuluh kampung. Di tahun berikutnya, ia meningkat menjadi 1.407 orang dan tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings, 1902). Pada 1928, jumlahnya meningkat lagi menjadi 1.521 orang (Tricht, 1929), dan pada 1966 menjadi 3.935 orang. Awal 1980, penduduk Desa Kanekes menjadi 4.057 orang, dan sepuluh tahun kemudian berjumlah 5.600 orang. Sedangkan pada 1999 menjadi tujuh ribuan orang (Kartawinata, 2000). (Ade Makmur, “Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif Kekerabatan Pamarentahan Baduy in Kanekes: Kinship Perspective”, diunduh dari http://www.geocities.com/puslitmasbud_unpad/artikel_pamarentahan_Baduy.htm).

Data kekinian tentang jumlah kampung kemudian saya temukan dalam buku Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah, yang ditulis Suhada, bahwa jumlah kampung di Desa Kanekes pada 1985 sebanyak 30. Pada 1996, meningkat menjadi 49 kampung, lalu pada 2000 meningkat lagi menjadi 52 kampung. Kini, menurut Jaro Dainah, jumlah kampung telah menjadi 59, dengan jumlah penduduk sebanyak 11.150 Jiwa.

Untuk mencapai masyarakat Baduy, aksesnya tidaklah sulit. Terminal pertama yang harus dituju adalah Terminal Bis Rangkas Bitung. Banyak bis yang menuju ke terminal ini; bisa dari terminal Pakupatan Serang atau langsung dari Jakarta. Sesampai di Terminal Rangkas Bitung, carilah PS atau Elf yang menuju Terminal Ciboleger. PS atau Elf adalah angkutan umum kategori mini bus yang bermesin truk PS. Atau, bisa juga menaiki angkutan umum menuju terminal kecil Aweh. Dari Terminal Aweh, baru kemudian naik PS menuju Ciboleger.

Ciboleger adalah desa terakhir yang bisa dimasuki kendaraan dan berbatasan dengan Desa Kanekes. Desa Kanekes hanya berjarak sekitar seratus meter dari Ciboleger. Jika sudah berada di Kanekes, itu artinya kita sudah berada di salah satu kampung Baduy Luar yang terluar, Babakan Cigoel, atau dikenal juga sebagai Kampung Kadu Ketug III.

Siang di Babakan Cigoel pada penghujung 2010, Jaro Dainah mempersilahkan saya salat di rumah singgah dengan diantar Saidam, warga setempat. Saya mendapat kabar dari Asep Bule, warga Ciboleger, bahwa rumah singgah adalah rumah yang disediakan hasil kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Lebak dan Haji Kasmin, warga Baduy Luar yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Banten dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar Lebak. Desain rumah singgah disamakan dengan rumah warga Baduy Dalam pada umumnya: rumah panggung, tiang kayu, anyaman bambu sebagai dinding dan hateup (atap) yang terbuat dari anyaman daun aren. Yang membedakan, pada rumah singgah telah dilengkapi dengan kamar mandi dan water closet (WC).

Ditemani Saidam, saya menuju rumah Ayah Mursyid di Cibeo. Beberapa bulan lalu, saya memang telah membuat janji untuk bertemu dengannya. Ayah Mursyid adalah wakil Jaro Cibeo, putra dari Puun Jandol. Perjalanan ke Cibeo cukup melelahkan. 2,5 jam perjalanan kaki. Naik turun bukit. Tiba di Cibeo, waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Saidam membawa saya ke jalan setapak yang biasa dipakai warga Baduy sehingga bisa lebih cepat sampai.

Alam Baduy
Memasuki Kampung Baduy Dalam Cibeo seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Seperti menerobos dimensi waktu. Tak ada listrik dan bangunan tembok. Asri, alami, hening, dan gemericik air sungai mendominasi suasana. Jembatan bambu melintasi sungai menjadi tanda sudah memasuki Cibeo. Saya terpaku saat melihat seekor elang terbang berputar-putar di atas kepala saya, dekat, di atas rumah warga Cibeo.

Di sini, manusia dan alam hidup berdampingan. Bersahabat. Meski ada banyak yang dapat dituliskan mengenai Baduy, namun bagi saya yang paling menarik adalah bagaimana interaksi masyarakat adat Baduy yang dapat hidup berdampingan dengan alam selama ratusan tahun. Sungai yang baru saja saya lewati adalah sungai yang sama saat dua belas tahun lalu saya mengunjungi Cibeo. Tidak ada yang berubah. Tetap jernih, segar, dan tak ada secuilpun sampah plastik yang mengotorinya. Di Cibeo, saya menginap di rumah Ayah Mursyid. Makan, bicara, mendengarkan hingga larut malam, dan mengoreksi kekeliruan beberapa buku tentang Baduy. Saya juga mewawancarai Jaro Sami, Jaro Cibeo, keesokan harinya.

Masyarakat Baduy percaya bahwa alam adalah salah satu titipan yang maha kuasa untuk dilestarikan. Amanah dan kewajiban melestarikan alam jatuh pada Masyarakat Baduy. Oleh karenanya, semua sistem kehidupan Masyarakat Baduy berpedoman pada filosofi “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung”, tidak terkecuali sistem hukum adat Baduy.

Resapan filosofi Baduy dapat dilihat di seluruh Kampung Baduy, khususnya pada Kampung Baduy Dalam seperti Cibeo. Cibeo terletak di pinggiran sungai. Di sungai inilah seluruh kebutuhan air warga Cibeo terpenuhi: mandi, minum dan semuanya. Airnya jernih tak berbuih. Warga Baduy Dalam tak diperkenankan menggunakan peralatan mandi semisal sabun, odol, dan sampo. Aturan ini juga tertuju pada para tetamu yang mengunjungi Cibeo. Dan inilah sebabnya mengapa selama ratusan tahun sungai di pinggiran Cibeo tetap sanggup menopang kehidupan warga Cibeo. Airnya tetap jernih, dingin, dan berhasil mengembalikan kesegaran tubuh kala saya mandi sore itu.

Sama halnya dengan makanan pokok orang Indonesia pada umumnya, makanan utama masyarakat Baduy adalah nasi. Namun, masyarakat Baduy tak menamam padi dengan bersawah. Mereka menanam padi huma – padi yang ditanam di tanah kebun, bukan sawah. Bagi masyarakat Baduy, kegiatan bersawah dan membajak tanah adalah terlarang. Ayah Mursyid menjelaskan ketentuan tersebut semata untuk menjaga keseimbangan alam.

Saya ingat, Suhada, salah satu penulis Baduy, pernah menjelaskan pada saya bahwa ada penelitian yang menunjukan pengolahan tanah menjadi sawah akan mengurangi kesuburan tanah dalam jangka panjang.

Masyarakat Baduy menyimpan hasil panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit biasanya dibangun di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit masing-masing. Leuit menyiratkan konsep ketahanan pangan masyarakat Baduy. Dan saya belum pernah mendengar warga Baduy kekurangan stok bahan pangan.

Sementara itu, selain semua rumah di Cibeo memiliki bentuknya yang sama, semua bahan yang digunakanpun berasal dari alam: batu, kayu, bambu, ijuk. Tak satupun bahan modern macam paku, batu bata, dan semen diperkenankan di Cibeo (Hal yang sama juga berlaku pada kampung Baduy Dalam lainnya). Dan meskipun bahan bangunan didapatkan dari alam sekitar, tak nampak adanya kerusakan hutan di Baduy. Masyarakat Baduy tidak mengeksploitasi alam; mereka hanya menggunakan seperlunya yang selalu dibarengi dengan pelestariannya.

Saya menyaksikan perwujudan keseimbangan itu. Di suatu pagi, saya melihat rombongan anak-anak dan beberapa ibu-ibu Cibeo sedang membawa kayu dari hutan menuju Cibeo. Rupanya, ada sebuah hajatan hari itu sehingga pemangku hajat membutuhkan kayu bakar untuk keperluan memasak. Kayu yang mereka bawa adalah kayu yang telah kering dan tua. Saidam menjelaskan bahwa kayu bakar tersebut didapat dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Mereka tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun.

Saya merasa bahwa hutan Pegunungan Kendeng di sekitar sini memang telah memilih masyarakat Baduy sebagai penghuninya. Keduanya berjodoh. Keduanya berusaha untuk tidak saling menyakiti. Hingga saat ini, saya tak pernah mendengar ada banjir yang melanda perkampungan Baduy. Menurut Jaro Sami, alam adalah salah satu yang dititipkan oleh yang maha kuasa pada masyarakat Baduy untuk dilestarikan. Pemahaman ini merata di masyarakat. Jaro Dainah juga pernah mengatakan hal yang sama.

Salah satu kewajiban masyarakat Baduy memang adalah melestarikan alam. Masyarakat Baduy bersekolah pada alam. Mereka belajar dan hidup dengan alam. Oleh karenanya, kita takkan menemukan seorang warga Baduy yang bersekolah formal. Sekolah adalah salah satu hal yang dilarang dalam kehidupan Baduy.

Praktik menyesuaikan diri dengan alam juga terlihat dari cara membangun rumah. Bagian paling bawah dari rumah adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu. Tetapi, tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat Baduy tidak menggali tanah untuk pondasi. Batu hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang menyesuaikan. Jadi, panjang pendeknya batu mengikuti kontur tanah.

Sekalipun masyarakat adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan. Padahal, mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal ini telah berlangsung lama meskipun masyarakat adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan.

Masyarakat adat Baduy memang dikenal sangat patuh dan taat pada hukum adatnya. Ada banyak larangan dalam hukum adat Baduy, misalnya tidak boleh difoto (di dalam wilayah Baduy Dalam), naik kendaraan, atau memakai alas kaki. Jika bepergian ke Jakarta, Bogor atau Bandung dengan maksud memenuhi undangan ataupun mengunjungi tamu yang pernah datang ke Baduy, orang Baduy Dalam selalu berjalan tanpa alas kaki. Jika diketahui menggunakan kendaraan, maka ia akan dikenai sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar – Baduy Luar memiliki aturan yang lebih longgar dan berinteraksi lebih dengan dunia modern. Jika ditanyakan alasan kenapa tidak boleh ini dan itu, maka mereka akan menjawab dengan singkat “teu meunang ku adat” (tidak boleh oleh adat).

Pengakuan atas Masyarakat Adat dan Hutannya
Menurut Jaro Dainah, perwakilan masyarakat adat se-Indonesia pernah dikumpulkan dalam sebuah acara di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Bagian terpenting dari pertemuan tersebut adalah dijanjikannya sebuah undang-undang yang menjamin tentang keberadaan masyarakat adat beserta tanah yang melingkupinya. Undang-undang tersebut menurut Jaro Dainah hingga saat ini belum ada.

Meski demikian, dalam catatan saya, sebenarnya keberadaan masyarakat adat Baduy telah diakui dengan diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan hak ulayat masyarakat Baduy di wilayah Banten (www.hukumonline.com/berita/Berdayakan Masyarakat Hukum Adat untuk Perlindungan Lingkungan, 3/8/06). Bahkan, secara umum, masyarakat adat di Indonesia juga sudah diakui keberadaannya. Berbagai peraturan telah mempertegas eksistensi masyarakat adat. Dalam Undang-undang Dasar 1945, pengakuan tersebut dicantumkan dalam pasal 18B ayat 2 dan 18I ayat 3.

Pasal 18B ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan (yang mengalami perubahan dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2004) juga mengakui hak dari masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam pasal 67.

Pasal 67
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Selain itu, keberadaan hutan adat juga telah diakui oleh undang-undang ini dalam pasal 1, 4, dan 37.

Pasal 1
(6) Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Pasal 4
(3) Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Masyarakat Baduy dan hutan memang telah lama hidup secara harmonis. Tidak ada penebangan kayu secara masif, tidak ada pencemaran air, tidak ada hutan yang gundul. Hal tersebut dikarenakan kultur masyarakat Baduy yang menyatu dengan alam.

Kerusakan Hutan di Baduy 
Keharmonisan antara masyarakat Baduy dan hutan di sekitarnya tak selamanya langgeng. Kemesraan keduanya mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy; menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat (www.kompas.com, Senin, 24 Mei 2004).

Dalam perjalanan pulang, saya menemukan jejak ternak berkaki empat. Saidam menjelaskan bahwa ternak semisal kerbau tersebut merupakan milik warga luar Baduy. Warga Baduy telah sering melaporkan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi Banten melalui SebaSeba adalah adat tiap tahun untuk mengunjungi pemerintah yang berkuasa sebagai ajang silaturahmi.  Pada masa Banten masih di dalam wilayah Jawa Barat, Seba dilakukan dengan mengunjungi gubernur Jawa Barat, juga kabupaten-kabupaten di Banten, umumnya ke Lebak atau Serang.

Masyarakat Baduy juga sudah melakukan sosialisasi pada warga luar Baduy agar tidak menebang pohon di hutan adat. Bahkan, pelanggaran atas prinsip tersebut juga sudah dilaporkan ke kepolisian. Dalam Peraturan Daerah Banten Nomor 8 Tahun 2001 tentang hak ulayat Suku Baduy, ditetapkan bahwa wilayahnya seluas enam ribu hektar. Namun, kenyataannya wilayah ini kerap diserobot orang, termasuk pada kasus tanah seluas 9.500 hektar persegi yang telah disertifikatkan oleh Nyonya Mariam, anak mantan Kepala Desa Bojongmanik (Situs koran Sinar Harapan). Menurut Jaro Dainah, meski tanah ulayat Baduy sudah dilindungi peraturan daerah, pada praktiknya aturan tersebut tidak berjalan akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat (www.kompas.com, Senin, 24 Mei 2004).

Pada akhirnya, faktor ekonomi menjadi faktor paling utama dalam menyumbang kerusakan hutan di Baduy (lebih lanjut lihat Arif Hidayat dan FX Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007). Pemerintah belum memiliki komitmen yang kuat dalam melestarikan lingkungan, tidak hanya dalam tataran kebijakan, tetapi juga upaya kuat mendorong penegakan hukum dengan tak berpihak pada kekuatan ekonomi. Sementara, pihak perusahaan maupun perseorangan juga belum memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan. Padahal, kesadaran tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara, mulai dari penyuluhan hingga penegakan hukum sebagai upaya untuk menghasilkan efek pencegahan (deterrence effect).

Keharmonisan yang telah berlangsung lama antara masyarakat adat Baduy dan alam akhirnya terusik justru karena faktor di luar mereka. Sedikit demi sedikit, modernisasi mulai menjamah keharmonisan hubungan alam dan manusia. Kondisi ini sebenarnya menjadi “bom waktu” jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas. Konflik horizontal pada akhirnya berpotensi terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyakarat luar Baduy.

Pelajaran dari Baduy
Ayah Mursyid menjelaskan konsep kehidupan masyarakat Baduy hingga larut malam. Lewat temaram lilin, ia lalu menyadari saya mulai mengantuk. Dua buah bantal empuk bersarung putih ia berikan kepada saya. Saya tidur beralas tikar pandan karena memang tak ada kasur di Cibeo.

Banyak pelajaran yang saya dapat dari Baduy, diantaranya prinsip hidup masyarakat adat Baduy yang  tercermin dari petatah-petitih adat Baduy.

Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan
 dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong

Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang yang benar haruslah dibenarkan.

Kandungan penting dari aturan adat tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin. Saya kurang tahu, apakah dua belas tahun mendatang masyarakat adat Baduy masih dapat mempertahankan keharmonisannya dengan alam sebagaimana dua belas tahun yang lalu saat saya menginap di kampung ini, Cibeo, Baduy Dalam.

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ