Sabar Gorky, tunadaksa tangguh asal Solo penakluk puncak Cartenz Pyramid

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Mendaki gunung bagi sebagian adalah sebuah tantangan yang cukup berat dan menguras tenaga. Bagi lainnya bahkan tidak sama sekali memiliki keberanian untuk mencobanya dengan berbagai alasan. Namun resiko dari pendakian gunung tersebut tampaknya tidak membuat seorang Sabar Gorky untuk takut melakukan pendakian ke beberapa puncak tertinggi di Indonesia salah satunya adalah Puncak Cartenz, Papua.

Sabar Gorky, seorang tunadaksa asal Solo yang memiliki keinginan untuk menginspirasi anak muda agar membenci kebodohan dan kemalasan. Alumnus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ini nyatanya adalah sosok yang memiliki keteguhan hati yang kuat.

“Nama saya Sabar. Gorky itu nama pemberian orang Rusia, saat saya mendaki puncak Elbrus (5.642 mdpl, gunung tertinggi di Eropa) pada tahun 2011. Gorky ada filosofinya dalam bahasa Rusia. Artinya di dalam kepahitan mendapat kemanisan,” ucap Sabar

Sabar Gorky

Sabar Gorky


Bermodal ketangguhan mental itulah kemudian Sabar Gorky dan tim marinir yang mendampinginya berhasil menuntaskan misi dan mengibarkan bendera merah putih pukul 12.00 Waktu Indonesia Timur Senin (17/8) di puncak tertinggi Indonesia dan Austrolasia, Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) di Papua Barat.

Dalam ekspedisi ini, peserta yang paling menyita perhatian orang-orang sekitarnya adalah Sabar Gorky. Ia adalah pendaki gunung berkaki tunggal yang sudah mengharumkan nama Indonesia karena menang sebagai juara I dalam kompetisi panjat tebing penyandang tunadaksa se-Asia Tenggara di Korea Selatan 2009 lalu.

Pria 47 tahun ini mengaku sudah jatuh hati pada kegiatan mendaki sejak tahun 1986. Hingga cobaan mendatangi Sabar. Tahun 1990, dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Solo, ia mengalami kecelakaan terjatuh dari kereta, sehingga harus merelakan kaki kanannya diamputasi.

“Saya kehilangan satu kaki saya malah karena jatuh dari kereta saya, perjalanan dari Jakarta ke Solo. Bukan karena panjat tebing atau daki gunung. Saya sempat mengurung diri selama setahun. Akhirnya dirayu sama teman-teman untuk naik gunung dan berkumpul dengan mereka lagi,” kenang Sabar.

Koptimistisan Sabar terjawab, Cartenz telah menjadi rangkaian puncak gunung tertinggi dunia (Seven Summits) ke-3 yang digapainya.

“Pendaki itu mimpinya kan bisa menaklukkan tujuh puncak tertinggi di dunia (Seven Summits). Saya juga seperti mereka. Ini puncak tertinggi ketiga yang saya akan daki. Sudah lama saya ingin ke Cartenz,” tandas ayah satu putri ini.

Sepanjang kariernya sebagai atlet panjat tebing tunadaksa ini, Sabar kerap membagi pengalaman yang paling membekas di hatinya. Saat dirinya menuruni Puncak Kilimanjaro yang berhasil digapainya, beberapa turis pendaki lainnya enggan memberi selamat atas keberhasilannya.

Mereka tak percaya seorang penyandang difabel mampu melakukan apa yang ditempuh pendaki profesional. Ketika itu Sabar mendaki puncak tertinggi gunung di Benua Hitam dengan 5 sahabatnya.

“Yang paling berkesan yang di Kilimanjaro. Enggak ada yang percaya saya sampai Puncak Kilimanjaro. Karena rombongan pendaki lainnya bertemu saya saat saya sudah di perjalanan turun dari puncak. Karena enggak ada yang papasan di puncak, mereka menolak saat tim saya menyuruh mereka memberikan selamat kepada saya. ‘No…no…’,” kata para turis seperti ditirukan Sabar.

Seperti namanya, Sabar hanya tersenyum ketika ia dikucilkan. Penghinaan yang ia dapatkan pun selalu dibalas dengan senyuman.

Liputan6.com

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ