“Pak guru, so rasa laor kah belong?” tanya salah satu muridku. “Apa itu laor?” tanyaku balik. Laor itu Wao pak guru, jawabnya. “Wao? Apa itu?” tanyaku penuh penasaran. Apa eh? Laor itu seperti cacing yang warnanya ada yang kuning, merah, coklat dan lain-lain pak guru, ungkapnya. Aku pun hanya mengiyakan dan bertanya-tanya tentang si “cacing laor” yang diceritakan oleh muridku ini. Ternyata tak hanya muridku saja yang bercerita tentang Laor, warga masyarakat pesisir Fitako ini pun ramai memperbincangkan cacing tahunan ini. Dengan penuh penasaran, aku pun mencari informasi tentang Laor ini kepada nelayan dan warga setempat.

Berdasarkan informasi warga Desa Fitako, Kecamatan Loloda Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara aku mendapatkan banyak pegetahuan tentang cacing laut ini. Laor atau yang dikenal juga dengan ‘Wao’ adalah cacing laut yang beraneka warna dengan ukuran mulai dari 2 cm hingga 30 cm. Menurut warga setempat, cacing ini hanya muncul 1 tahun sekali tiap bulan Mei. Sebagian juga ada yang mengatakan muncul diantara Mei-Juni, sementara di bulan-bulan lain cacing warna ini susah ditemukan. Sudah menjadi tradisi turun temurun, setiap datangnya bulan Mei warga sudah bersiap-siap untuk berburu mencari Laor. Aku pun ikut serta warga berburu laor pada malam harinya.

Saat musim Laor tiba, warga setempat ramai berbondong-bondong menggunakan katinting (perahu kecil untuk melaut). Mulai dari anak-anak, ibu-ibu hingga para nelayan yang lain ramai mendatangi lokasi pantai yang dikenal dengan tempat bersarangnya cacing laut ini. Aku pun ikut dengan rombongan warga yang hendak berburu Laor ini. Di tengah kegelapan malam, nyala pelita lampu petromak dan lampu-lampu jenis lainnya tampak menyinari lautan Loloda Kepulauan. Mereka sudah bersiap siaga untuk menangkap Laor. Cara tangkap Laor ini cukup gampang. Tinggal nyalain lampu atau penerang, maka Laor pun satu per satu akan muncul ke permukaan mendekati sumber cahaya. Laor ini bersembunyi di balik batu karang. Saat lampu menyala terang, ratusan Laor ini pun akan mengerumini sekitar katinting. Saat muncul itulah, para nelayan (pemburu Laor) ini menangkap Laor dengan menggunakan jarring-jaring kecil atau penyaring lainnya.

Memang betul penjelasan dari salah satu muridku. Cacing Laor ini ada yang berwarna merah, kuning, hitam, biru dan coklat dengan ukuran beragam. Ada yang berukuran 3 cm, 5 cm hingga sekitar 30 cm bahkan lebih. Saat berada di atas katinting ini, aku jadi bertanya-tanya. Sebenarnya dari manakah asal Laor ini? Dari balik batu karang itu kah? Tapi kenapa hanya muncul 1 tahun sekali, tiap Mei saja? Apakah pada bulan-bulan lain cacing ini berdormansi? Apakah sudah ada penelitian mengenai cacing ini? Apakah hanya ada di lautan Halmahera Utara saja? Beraneka macam pertanyaan ini muncul seketika tatkala aku bersama warga berburu laor. Tidak hanya cukup diburu saja, rupanya cacing laor ini dikonsumsi oleh warga. Tak kalah ketinggalan, aku pun mencoba menikmati cacing laor yang sudah dimasak ini. Olahan laor yang sudah dimasak ini sedap dimakan dengan pisang goreng, dabu-dabu (sambal) dan buat lauk sebagai teman nasi juga enak rasanya.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, cacing laor ini merupakan cacing laut (Polychaeta, Annelida). Bahkan juga ada budaya di Maluku yang dikenal dengan budaya timba laor (timba = ambil; laor = cacing wawo), cacing ini juga biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat di Kepulauan Maluku. Menurut penuturan salah satu guru warga Fitako, laor ini adalah Jelmaan Putri Mandalika. Hikayat Putri Mandalika ini berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat yang mengisahkan tentang seluk beluk Laor atau di Lombok dikenal dengan ‘Nyale’. Tapi apakah benar, Laor ini benar-benar dari jelmaan Putri Mandalika? Setelah searching dan melakukan penelusuran lebih lanjut, cacing laor ini (khususnya di wilayah Maluku) ternyata sudah ada penelitiannya. Salah satu ilmuwan Indonesia yang melakukan penelitian tentang laor di Maluku adalah Joko Pamungkas. Beliau mempublikasikan penelitiannya dengan judul “Species richness and macronutrient content of wawo worms (Polychaeta, Annelida) from Ambonese waters, Maluku, Indonesia”.

Bravo ilmuwan Indonesia. Wilayah Indonesia Timur (Maluku hingga Papua) memang sangat kaya akan biodiversitas lautnya. Semoga semakin banyak lagi ilmuwan-ilmuwan muda yang akan mengeksplorasi, meneliti dan tentunya menjaga potensi bahari yang sangat berpotensi ini. Lautku, lautmu dan laut kita (Indonesia) mari kita jaga dan kelola bersama. Laor adalah salah satu kekayaan laut dari milyaran biota laut yang sangat melimpah ruah ini. Semangat pemuda!
Advertisement Advertise your own
Ads Telkom Indonesia
0 Komentar
Tambahkan komentar Anda...
READ NEXT
BACK TO TOP
Misteri "Flying Dutchman", Kapal SS. Ourang Medan
Misteri "Flying Dutchman", Kapal SS. Ourang Medan
Suatu hari di bulan Juni 1947, 2 kapal Amerika yang sedang berada di Selat Malaka -- City of Baltimore dan Silver Star -- menerima pesan darurat dari kapal dagang milik Belanda, SS Ourang Medan Atau "Orang Medan". Seorang operator di kapal Ourang Medan mengirimkan kode Morse. Isinya: "Semua awak kapal, termasuk kapten terbaring sekarat di ruang peta (chartroom) dan anjungan. Mungkin semuanya telah meninggal dunia."
Lampu dari Bakteri yang Tahan Seumur Hidup Karya Mahasiswa Malang
Lampu dari Bakteri yang Tahan Seumur Hidup Karya Mahasiswa Malang
Satu lagi inovasi anak bangsa. Seorang mahasiswa Fakultas Perikananan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya berhasil mengubah bakteri menjadi lampu hemat energi. Di tangan Elok Fitriani Tauziat, Nurhasna Fauziyyah, dan M. Alfian Arifin, bakteri Bioluminescene diolah menjadi lampu biolie yang menghasilkan cahaya 10,68 watt. Lampu ini mampu menerangi ruangan dalam radius 68 meter.
Diakui Tanggap dalam Tindak Terorisme, Indonesia Pimpin Sidang KTT ASEAN-AS
Diakui Tanggap dalam Tindak Terorisme, Indonesia Pimpin Sidang KTT ASEAN-AS
Di kawasan ASEAN, Indonesia dinilai telah melakukan upaya-upaya pemberantasan terorisme dan ekstremisme dengan baik. Hal ini salah satunya dibuktikan dengan apresiasi dari masyarakat dunia bagi Indonesia terhadap sikap cepat tanggap para aparat keamanan Indonesia dalam menangkap teroris pada kejadian bom di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari lalu.
Joey Alexander : Jangan Pernah Menyerah !
Joey Alexander : Jangan Pernah Menyerah !
Pianis Indonesia, Joey Alexander memang sudah dipastikan gagal meraih penghargaan musik Grammy 2016. Bocah berusia 12 tahun itu kalah dari dua musisi Jazz, John Scofield dan Christian McBride. Namun dibalik kegagalan itu, Joey menyimpan kisah menarik dan pesan yang dapat menjadi inspirasi dan semangat bagi kita semua.
Masalah Menjadi Berkah Sungai Citarum
VIDEO 15 hours ago
Mahasiswa UB berhasil Ciptakan Obat Diare Alternatif Untuk Kelinci
Mahasiswa UB berhasil Ciptakan Obat Diare Alternatif Untuk Kelinci
Membuat inovasi produk seharusnya berawal dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh tiga mahasiswa dari Universitas Brawijaya (UB) Malang ini. Berawal dari keluhan peternak kelinci di daerah Karangploso, Kabupaten Malang, mereka berusaha memecahkan persoalan penyakit diare yang sering dialami oleh kelinci ternak.Tiga mahasiswa tersebut adalah Rhezaldian Eka