0

By: Ahmad Cholis Hamzah*

Indonesia dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya memiliki banyak tradisi luhur yang di praktekkan dari generasi ke generasi berikutnya.  Tradisi yang merupakan kearifan lokal itu terbukti dapat memberdayakan masyarakat dan dapat saling membantu sesama. Ketika di belahan dunia lain, kita dapat menyaksikan kejadian setiap hari kemiskinan yang meluas dan mengakibatkan penduduk tidak memiliki apa-apa sehingga menimbulkan kelaparan yang parah yang ujung-ujungnya kematian; kita dapat menyaksikan orang yang mati kelaparan berada di pinggir jalan atau di desa yang kumuh.

Tentu kita tidak boleh menafikan bahwa kemiskinan itu juga ada di Indonesia; jumlah warga yang miskin cenderung meningkat dimana-mana. Tapi jarang kita saksikan pemandangan yang tragis yang terjadi di belahan dunia tadi. Nenek moyang kita ternyata sudah memiliki pandangan yang visioner tetang bagaimana mengatur hubungan dan saling membantu sesama dengan kesekatan bersama membentuk kearifan lokal, yang salah satunya adalah sistim Jimpitan. Sistim kemasyarakatan ini sudah berlangsung lama dan masih banyak daerah-daerah yang mempraktekkan sistim ini.

“Jimpit” dalam Bahasa Jawa berarti “wilonganing barang lembut nganggo pucuking driji” atau mengambil barang lembut/kecil dengan menggunakan ujung jari. Sedangkan “Jimpitan” berarti hasil jimpitan dalam bentuk (biasanya) “beras kang diklumpukake saka warga kanggo ragad pakumpulan desa” – atau beras yang dikumpulkan warga demi kepentingan perkumpulan desa.

Sistim jimpitan ini terbukti handal sepanjang masa membantu warga miskin atau warga dimasa-masa sulit. Biasanya jimpitan itu di lakukan di waktu ronda malam, dan para petugas ronda mengambil beras (dalam jumlah sedikit) yang dikumpulkan setiap rumah tangga dan ditaruh didepan rumah. Dalam perkembangannya ada juga warga desa yang sepakat untuk mengganti beras dengan uang agar lebih efisien dan hasilnya pun tetap dipakai untuk kepentingan desa terutama untuk membantu warga yang sangat memerlukan.

Pada tahun-tahun ’60 an ketika penulis masih kecil, menyaksikan para ibu-ibu rumah tangga dengan kesadaran sosial yang tinggi mengumpulkan beras untuk di –jimpit pada malam harinya oleh petugas ronda, dan hasilnya di kumpulkan di balai RT atau RW untuk dibagikan pada warga yang kurang mampu. Pada masa itu inflasi Indonesia mencapai angka 650%, semua kebutuhan warga di “ransum” (ration) atau dibagi-bagikan oleh pemerintah. Penulis ikut antri di kampung untuk mendapatkan bagian pemerintah itu. Namun warga kala itu tidak merasa sangat menderita karena di kampung kami masih ada sistim jimpitan ini.

Seringkali kearifan lokal ini dianggap “ndeso” atau ketinganggalan jaman dalam perspektif ‘modern”; tapi tidak dapat dipungkiri, bahwa ketahanan nasional bangsa Indonesia ini berlangsung karena kearifan lokal seperti sistim jimpitan ini.  Pembangungan ekonomi suatu Negara konsepnya selalu diperdebatkan, umumnya soal apakah pembangunan itu fokusnya ke pertumbuhan atau pemerataan. Pertumbuhan ekonomi yang melejit seringkali memiliki “collateral damage” misalkan makin tingginya jurang antara yang kaya dan miskin. Dalam dunia yang dianggap modern, seringkali jiuga kita saksikan sikap individualisme yang meningkat yang cenderung mengabaikan kepentingan warga yang kurang beruntung. Sikap konsumerisme yang tinggi selalu mengabaikan rasa keadilan sosial bagi warga yng tidak mampu.

Sistim kearifan lokal seperti jimpitan diatas sudah diasah lama sejak nenek moyang kita dulu dan terbukti dapat menimbulkan rasa solidaritas kesetiakawanan yang tinggi di masyarakat kita. Sistim ini tidak usang walaupun perkembangan ekonomi dan gaya hidup modern yang berubah; dan sebagai bangsa yang besar tentu kita tidak boleh menghilangkan kearifan lokal demi pandangan modern yang sempit. Indonesia memiliki beragam budaya yang luhur, dan sistim Jimpitan yang kita bahas secara singkat ini hanyalah bagian dari mosaik kekayaan budaya bangsa itu. Setiap suku di negeri ini masing-masing memiliki kearifan lokal yang luhur dan yang membuat bangsa ini tetap menjadi satu.

____

*Alumni University of London

Dan Universitas Airlangga

Dosen STIE PERBANAS Surabaya.