Kisah Para Junalis Internasional yang Terpukau oleh KAA

Written by Farah Fitriani Editor at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Gaung Konferensi Asia-Afrika 1955 tidak akan sebesar ini tanpa antusiasme wartawan dan penulis yang meliputnya. Berdasarkan data Museum Asia-Afrika, tercatat 376 wartawan hadir di Gedung Merdeka, Bandung, pada 18 April 1955, tanggal konferensi itu digelar. Mereka terdiri atas 163 jurnalis lokal dan 213 wartawan luar negeri. Mereka ditempatkan di balkon ruang sidang.

Richard Wright, wartawan sekaligus penulis kawakan Amerika Serikat, termasuk di antara rombongan jurnalis itu. Pencipta buku legendaris Black Boy (1945) itu memang menaruh perhatian besar pada isu perjuangan ras. Wright, saat itu 47 tahun, terkesima mendengar pidato pembukaan konferensi dari Presiden Sukarno yang memadukan ihwal ras dengan agama.

“Keduanya merupakan kekuatan yang paling dahsyat sekaligus irasional milik manusia,” ujar Wright dalam bukunya The Colour Curtain: A Report on Bandung Conference (1956). “Sukarno tidak bermaksud membangkitkan ’iblis kembar’, tapi mencoba mengorganisasinya.”

Wright mengatakan kesadaran ras dan agama berpadu di Bandung. “Keduanya menjadi nasionalisme yang melewati batas negara,” ujarnya, seperti ditulis majalah Tempo, Senin, 20 April 2015.

Di sela konferensi, Wright mewawancarai Adam Clayton Powell Junior, saat itu 46 tahun. Powell adalah warga keturunan Afrika-Amerika pertama dari New York yang menjadi anggota Kongres Amerika Serikat. Seperti pernah ditulis situs berita The Burning Spear–harian aktivis kulit hitam di Florida–agar bisa datang ke Bandung, Powell mulanya membujuk Presiden Dwight Eisenhower agar resmi mengirim wakilnya. Namun Eisenhower menolak. Akhirnya Powell berangkat dengan sokongan dana dari sebuah penerbitan. Ia menumpang pesawat pengebom sampai Filipina. Dari Filipina, ia bergabung dengan delegasi Filipina menuju Jakarta. “Di Bandung, dia menjelaskan bahwa kakeknya adalah budak,” ucap Wright.

Duduk searea dengan Wright di balkon Gedung Merdeka adalah George McTurnan Kahin, saat itu 37 tahun, asal Amerika. Kahin adalah profesor sejarah Asia Tenggara di Cornell University, New York. Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal KAA, menganggap Kahin sebagai sahabatnya. “Dia berada di tengah-tengah kita sewaktu revolusi di Yogyakarta,” ujar Roeslan di buku Bandung Connection.

Pulang dari Bandung, Kahin melanjutkan program studi Indonesia di Cornell, yang ia rintis setahun sebelumnya. Sampai meninggalnya pada 2000, pada usia 82 tahun, Kahin tidak pernah absen dalam perjuangan kesetaraan. Ia pernah mengademkan unjuk rasa mahasiswa kulit hitam yang memprotes kurikulum Cornell yang dituding rasis pada 1969 sampai menentang keterlibatan negaranya di Perang Vietnam.

Selain penulis semacam Richard Wright dan peneliti seperti George Kahin, tentu saja banyak wartawan asing lain yang datang dan kemudian membuat artikel atau buku khusus. Misalnya Arthur Conte dari Prancis. Conte menulis Bandung, tournant de l’Histoire. Seorang jurnalis Cina, Zhang Yan, mengaku bulu kuduknya berdiri tatkala mendengar pidato Sukarno. ”Gedung seperti bergemuruh, semua langsung bangkit, bertepuk tangan, termasuk delegasi Cina dan saya,” tulisnya dalam artikel ”I Wish I Had Met Richard Wright at Bandung in 1955”.

disadur dari TEMPO

Written by Farah Fitriani Editor at GNFI

a single young woman full of spirit in making a better Indonesia. an undergraduate student in Faculty of Law, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia who is now being an exchange student in Rikkyo University, Tokyo, Japan. english teacher and a lecturer's assistant at College of Business, Rikkyo University. you can contact her by mentioning @farafit in twitter or adding farahfitrianifaruq to have a little chitchat via GTalk.

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ