Untunglah. I am Indonesian

Written by Akhyari Hananto Administrator at GNFI
Share this
0 shares
Comments
6 replies

Akhyari Hananto

Tahun ini, setidaknya ada 3 negara yang diguncang krisis politik yang sangat parah, diwarnai kekerasan, korban jiwa, dan bahkan peperangan dan belum ada jalan keluar. Ukraina, negeri yang sebenarnya cukup makmur, bisa jadi yang paling parah terkena krisis politik, sudahlah Crimea hilang, kini di bagian timur negeri tersebut diguncang pemberontakan.

Ukraina tak pernah lepas dari kemelut politik sejak negeri itu memilih memisahkan diri dari Uni Sovyet pada 1991, dan mudah dipahami sebabnya, yakni pertarungan pengaruh antara Barat (Uni Eropa) dengan Russia, yang ada di sebelah timur negara tersebut. Selain itu, pertarungan ‘kemauan’ juga terjadi di level bawah, banyak rakyat Ukraina (yang berbahasa Ukraina) terutama di bagian utara-barat-tengah negeri tersebut, lebih menginginkan untuk ikut ke blok ekonomi maju yang lebih maju, yakni Uni Eropa. Sementara, banyak rakyat Ukraina yang berbahasa Russia (di bagian selatan dan timur) yang menginginkan Ukraina berdiri sendiri,lepas dari barat atau pengaruh Russia, atau yang menginginkan Ukraina tetap condong ke Russia, karena persamaan latar belakang budaya dan etnis. Ukraina belum lepas dari krisis tersebut, peperangan masih terjadi, dan yang paling diingat adalah jatuhnya pesawat Boeing 777-200 Malaysia Airlines MH17 yang luluh lantak dihantam rudal. Entah kapan kawasan yang lama tak bergejolak ini damai.

Negara yang kedua adalah Mesir. Negeri yang baru belajar berdemokrasi dan sukses menjalankan pemilu pada 2012 tersebut, kini tercabik-cabik. Jenderal angkatan darat Mesir, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi  yang kini menjadi presiden, jelas bukan  merupakan hasil demokrasi. Mayoritas rakyat Mesir, yang partai dan koalisinya memenangkan pemilu, tak bisa berbuat banyak. Kalah ‘garang’ dibanding tentara mesir yang seolah tak ragu melepas peluru tajam ke siapapun penentangnya. Negeri tua ini menyimpan api dalam sekam, bom waktu politik yang mengerikan. Entah, ke depan akan seperti apa.

Negeri yang ketiga adalah Thailand. Tetangga dekat Indonesia ini tak pernah lepas dari perebutan kekuasaan sejak PM Thanksin Sinawatra digulingkan militer pada 2006. Dan sejak itu, perdana menteri di negeri Krating Daeng tersebut silih berganti diisi oleh tokoh dari dua pihak yang selalu berseteru, dari kelompok ‘Merah’ yang pro pada Thaksin, dan kelompok ‘Kuning’ yang pro pada raja (dan militer). Perseteruan itu berlangsung hingga PM Yingluck Sinawatra dipaksa turun, dan militer mengambil alih, dan menempatkan Jenderal Prayuth Chan-Oca sebagai perdana menteri yang baru. Meski kini terkesan tanpa gejolak, rakyat Thailand memendam dendam.

Untunglah, meski juga belum sempurna, tapi demokrasi di Indonesia sudah berfungsi dengan cukup baik, dan kini menjadi negara paling terbuka dan paling demokratis di kawasan. Dulu, Indonesia diprediksi akan menjadi seperti Uni Sovyet, Yugoslavia, atau Czechoslovakia, yang terpecah belah. Prediksi itu tidak terbukti, dan diakui atau tidak, inilah ‘buah manis’ pertama program desentralisasi (lewat otonomi daerah) yang dicanangkan pada 1999, setahun setelah Soeharto diturunkan. Dengan program desentralisasi, daerah-daerah akan punya wewenang mengembangkan kemampuan daerahnya, pun mendapatkan identitas-identitas khas daerahnya , sesuatu yang tak mungkin terjadi di era sentralistik orde baru.(1)

Yang tak kalah penting, adalah kesuksesan Indonesia ‘mengembalikan’ militer ke barak mereka, sangat kontras dengan apa yang kini terjadi di Mesir. Ketika pak Harto jatuh, banyak pengamat dunia yang memprediksi bahwa militer akan segera mengambil alih pemerintahan, apalagi waktu itu hampir separuh kepada daerah di seluruh Indonesia berasal dari militer, baik aktif maupun purnawirawan. Ternyata, reformasi turut berhempus di tubuh militer Indonesia, dan mereka benar telah kembali ke barak-baraknya. Sebuah proses yang cukup cepat kala itu. (1)

Makin kesini makin terlihat bahwa kita makin dewasa berpolitik. Capres yang kalah bertarung di pilpres, dengan berani dan besar hati datang ke acara pelantikan presiden baru, musuh politiknya ketika di pilpres. salut untuk Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Pihak yang kalah tak pernah berupaya mengerahkan massa untuk menolak hasil pemilihan, mereka cukup menyalurkan ketidaksetujuannya lewat jalur hukum. Pilihan Gubernur Bali 2013 adalah contoh yang sangat gamblang tentang kedewasaan politik. Incumbent Gubernur I Made Pastika memenangkan pilgub dengan selisih kurang dari 1000 suara! Pun begitu, sang penantang, yakni Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, sangat legowo menerima putusan akhir di MK. Bayangkan kalau hal ini terjadi di Mesir, Thailand atau Ukraina.

Demokrasi di Indonesia kini jauh lebih stabil, rakyat makin ‘malas’ ribut-ribut soal politik, dan sudah menjadi darah daging (dan DNA) Indonesia. Tentu masih banyak tantangan, hambatan, dan kekurangan. Namun, mengingat bahwa demokrasi dan keterbukaan ini baru berumur 15 tahun, apa yang kita punya saat ini adalah sebuah pencapaian yang perlu kita sadari dan apresiasi. Seorang kawan saya yang orang Thailand belum lama ini memasang status di BBM-nya, “Can we replicate Indonesian democracy?”atau “Bisakah kita (Thailand) meniru demokrasi Indonesia?”.

Indonesia adalah rumah kita, banyak kurangnya, namun ternyata bahkan dalam ketidaksempurnaan ini, banyak yang ingin ‘menjadi’ kita.

ThankGod, I’m Indonesian.

 

———————————————————————————————

(1) Dr Marcus Mietzner is Senior Lecturer in the College of Asia and the Pacific, The Australian National University :“Indonesia’s strong base for democratic development”

 
2 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ