5359796297_63dde96d84_z

 

By. Muhammad Daniel

Cobalah bertanya kepada setiap warga negara asing yang anda jumpai dimanapun. Tahukah kamu Bromo? Maka dengan fasih mereka akan menjawab dengan detail dan tepat. Pun demikian apabila anda bertanya kepada mereka tentang Kuta – Bali, Danau Toba – Sumatra Utara atau Raja Ampat – Papua.

Akan tetapi jika anda bertanya kepada wisawatan asing tersebut tentang MADAKARIPURA, pasti hanyalah gelengan kepala yang anda akan dapatkan. Bahkan, ada diantara kita sebagai bangsa Indonesia  yang tidak tahu atau mendengar apa itu Madakaripura.

Masih teringat jelas kelas waktu kelas 5 Sekolah Dasar (SD) bagaimana guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) saya waktu itu menjelaskan tentang Madakaripura. Sebuah air terjun yang sangat indah namun sakral yang masuk menjadi bagian Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Kecamatan Lumbang, Probolinggo, Jawa Timur,  yang menjadi pertapaan terakhir seorang Amangkubhumi atau Mahapatih dari Kerajaan Majapahit yaitu Gajah Mada.

Sampailah pada bulan Agustus 2008, saya bersama beberapa sahabat dari Belanda, Perancis dan Jerman berwisata ke Gunung Bromo serta mencoba untuk singgah ke Madakaripura untuk pertama kalinya. Saya sangat penasaran seperti apakah Madakaripura ini? Pertanyaan itu yang berulang-ulang terlintas dalam fikiran saya.

Setelah puas dengan pemandangan Bromo dan menyelesaikan sarapan kami, tepat pukul 10.00 pagi kami memutuskan untuk turun. Beberapa saat lamanya mengarungi aspal yang halus dengan pemandangan yang indah menuju arah Probolinggo, kami melihat sebuah tanda dipinggir jalan yang menunjukkan kearah Air Terjun Madakaripura.

Sejenak berkendara melalui pemandangan semak dan perbukitan sampailah kita disebuah gapura masuk yang sedikit kotor akibat coretan-coretan tak bertanggung jawab. Dengan sebuah senyum ramah Petugas Restribusi bersama seorang Babinsa TNI menyapa saya. Setelah membayar tiket masuk yang menurut saya amat sangat murah, masuklah saya ke sebuah areal parkir yang tidak terlalu besar namun bersih. Nampaklah beberapa kios yang lantainya sudah separuh hilang akibat gerusan air sungai serta gazebo-gazebo dan juga fasilitas toilet yang disediakan oleh pemerintah yang sudah memudar warnanya karena kurang mendapat perawatan.

Dalam hati saya merasa tergelitik untuk bertanya apakah pengelolaan areal wisata ini dipegang langsung oleh pemerintah daerah ataukah diserahkan kepada desa sebagai sumber pendapatan desa.

Beberapa saat melepas penat akibat perjalanan menggunakan mobil naik turun perbukitan, mulailah kita berjalan. Baru beberapa langkah menuruni sungai, kami dikejutkan oleh banyak sekali orang mulai dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa yang jumlahnya melebihi jumlah rombongan kita yang cuma 8 orang mengiringi laju langkah kami. Kami bertanya, mengapa mereka mengikuti kami? Mereka mengaku bahwa setiap rombongan pengunjung wajib untuk membawa guide dari penduduk sekitar dengan bayaran seikhlasnya.

Sejenak kami menjelaskan bahwa kami tidak membawa barang berat serta kami semua mampu untuk mencapai air tujuan tanpa bantuan. Kami merasa terganggu awalnya karena meeka tidak menghiraukan penjelasan dari kami. Puncaknya salah satu diantara mereka berteriak jika tidak menggunakan jasa guide, sebaiknya kita pulang kembali.

Sedih memang mendengarnya, untungnya Petugas Restribusi serta Babinsa dengan bijaksana membantu kami menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi. Dan akhirnya kami berjalan ditemani oleh 3 atau 4 orang pemandu lokal. Sepanjang perjalanan saya merasa sangat sedih, dalam hati saya terus berfikir. Apa jadinya jika tidak ada bantuan dari petugas-petugas tadi? Haruskah kita pulang dan melewatkan sebuah petualangan tanpa hasil? Haruskan insiden yang kami rasa tidak perlu ini menjadikan pengunjung baik lokal maupun dari manca negara merasa kesal?

Jika hal ini sampai terjadi tentunya akan berakibat sangat buruk. Mereka dapat menumpahkan kekesalannya dengan menulis di blog tentang tujuan wisata maupun website-website yang mungkin akan dibaca jutaan orang diluar sana yang akan dapat memperburuk citra akan wisata di Madakaripura serta Indonesia pada umumnya. Saya sungguh sangat sedih!

Dalam hal ini saya tidak menyalahkan sahabat-sahabat saya, karena menurut kami waktu itu medan yang terlihat tidak terlalu berat. Bahkan suatu ketika saya dan sahabat dari Belanda pernah berkunjung lagi dengan ibu dari sahabat saya yang berusia 68 tahun. Ditambah pula bawaan kamipun hanyalah tas kecil berisi kamera dan minuman. Jadi sama sekali kami tidak merasa berat.

Kami juga sama sekali tidak menyalahkan orang-orang yang telah “mengeroyok” kami untuk menawarkan jasa pemandu. Karena disatu sisi mereka butuh pemasukan dan secara kebetulan desa mereka punya potensi besar akan pariwisata dan dapat diandalkan untuk membantu mencari nafkah.

Saya terus berfikir sembari menyusuri jalan setapak yang dibangun oleh pemerintah menuju tujuan kami. Sekitar beberapa puluh meter di depan langkah kami terhenti karena terlihat jalan tersebut terputus mungkin akibat longsor.

Mau tidak mau kami harus melanjutkan perjalanan dengan menyusuri sungai dan sesekali melompat dari batu yang satu ke batu yang lainnya. Sungguh sangat menantang!

Perjalanan kami lanjutkan dengan kembali melalui jalan setapak. Kami sempat berhenti disebuah “warung” tanpa atap untuk sekedar menghangatkan diri dengan memesan kopi, teh manis ataupun jahe panas serta menyantap pisang goreng yang masih panas. Benar-benar sangat nikmat!

Fikiran saya kembali kepada warga yang menawarkan jasa pemandu tadi. Dalam hati saya berjanji, jika kelak saya dapat bertemu dengan seseorang atau sebuah badan pemerintah yang bertanggung jawab akan pengelolaan tempat ini, saya akan memberikan ide atau pemecahan yang kami miliki untuk membantu warga sekitar serta menambah daya tarik dari Madakaripura ini.

Pemikiran yang kami miliki yang mungkin dapat membantu warga mendapat pemasukan dan sekaligus membuat wisatawan asing maupun pengunjung lainnya merasa nyaman adalah satu kata TERTIB!

Desa tersebut melalui Karang Taruna setempat melakukan pendataan terhadap warga yang mempunyai mata pencaharian sebagai pemandu wisata. Dengan sedikit usaha seperti membuat proposal program wisata ditujukan kepada Dinas Pariwisata setempat warga dapat meminta untuk diberikan seragam (kaos batik contohnya) serta mendapat pendidikan dalam menangani wisatawan.

Setelah itu warga dapat meminta kepada pihak pengelola resmi untuk memasukkan peraturan yang telah disepakati yaitu untuk memakai jasa pemandu dari penduduk sekitar. Sedangkan tarif sebagai imbalan jasa bagi pemandu dapat dimasukkan secara resmi beserta tarif masuk tempat wisata ini. Yang terakhir, pihak pengelola mengatur jadwal akan semua pemandu baik durasi maupun personil sehingga pendapatan menjadi adil dan tidak ada saling rebut.

Saya yakin apabila semua tertulis dengan jelas maka wisatawan asing maupun maupun semua pengunjung akan merasa aman serta nyaman.

Langkahpun kembali kita lanjutkan menyusuri sungai dan bebatuan. Diiringi dengan pemandangan kera-kera yang bergelayutan mencari makan. AWESOME! Kata itulah yang keluar dari mulut sahabat-sahabat saya.

Setelah melewati sebuah jalur yang agak curam, tercekat lidah saya melihat pemandangan didepan saya yang sungguh sangat indah!Jauh dari apa yang saya bayangkan.

air terjun 2

 

Rasa lelah setelah mendaki Bromo dan berjalan menuju lokasi air terjun ini seakan hilang melihat deretan air terjun yang  tinggi menjulang.

Salah satu sahabat berujar kepada saya, “saya pikir saya pernah melihat pemandangan ini disebuah iklan air mineral.” Dengan tertawa keras saya menjawab,”yak! kamu benar! Pemandangannya dalam iklan itu benar-benar diambil dari sini saya kira.”

Belum habis kekaguman yang saya rasakan, kami merasa sedikit penasaran kemudian mendaki menaiki sebuah tebing yang agak curam. Dan kami menemukan sebuah air terjun dengan tinggi menjulang sekitar 200 meter dan jatuh pada sebuah danau kecil. Sungguh-sungguh menakjubkan!

Tanpa pikir panjang, segera kami melompat ke dalam telaga tersebut untuk menikmati kesegaran airnya. Dan kamipun hanya mampu bertahan kurang dari 20 menit, karena air di telaga tersebut sangat dingin tersebut.

Saya yakin kekaguman yang saya miliki mungkin berbeda dengan kekaguman para sahabat-sahabat asing saya. Bagi mereka Madakaripura adalah “pertunjukan” alam yang indah serta tempat berenang yang segar.

air terjun

Akan tetapi bagi saya Madakaripura terselip sebuah nuansa mistis serta sakral. Samar terlihat di ujung lain telaga, beberapa saudara kita umat Hindu dengan khidmad memanjatkan doa. Kemudian saya hampiri mereka dan bertanya. “Tahukah anda dimana kira-kira sang Mahapatih bermeditasi?”

Dengan tersenyum mereka menggeleng kemudian menunjuk ke sebuah gua di belakang air terjun. “Mungkin disana!”

Sayapun tidak yakin dengan jawaban yang mereka berikan. Satu yang saya yakini yaitu, tempat ini harus kita JAGA! Untuk saya tunjukkan kepada siapapun yang saya kenal. Inilah alam saya! Inilah INDONESIA!