Ikon Bangsa yang Tak Boleh Tidur

Written by Akhyari Hananto Administrator at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

By Ahmad Cholis Hamzah*

Saya baru-baru ini menyaksikan film Brunei “Yasmine” di salah satu bioskop di Surabaya. Film ini menarik bagi saya bukan hanya karena beberapa pemain utamanya dari Indonesia, tapi juga mengingatkan masa kecil dan dewasa saya tentang Pencak Silat – bela diri kebanggaan Indonesia dan tentu juga Negara-negara jiran seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Vietnam dan Thailand. Film Negara Brunei ini dibintangi aktres cantik Brunei Liyana Yus, dengan sederet bintang film terkenal Indonesia seperti Arifin Putra, Reza Rahardian, Agus Kuncoro, Roy Sungkono, Dwi Sasono dan Mentari De Marelle; bahkan sound track nya di garap oleh Niji.

Pada tahun-tahun 1960an sehabis mengaji saya sering pergi ke THR (Taman Hiburan Rakyat) di Surabaya untuk melihat pertunjukan Pencak Silat, kadang di berbagai perhelatan perkawinan saya juga melihat pertunjukan serupa. Saya terkesan dengan gerakan pertarungan jarak dekat – gaya khas silat Indonesia dan serumpun ini, baik dengan tangan kosong, tongkat maupun senjata. Pada saat saya kuliah di Universitas Airlangga Surabaya tahun 1970an saya juga berkesempatan mengikuti Silat Perisai Diri, yang menggabungkan berbagai jurus di nusantara ini (dengan jurus-jurus dari Cina). Meskipun tidak lama saya mengikuti – tapi ada rasa bangga saya bisa merasakan mengikuti gerakan-gerakan halus dari silat (tapi mematikan) dan sekaligus pertarungan jarak dekat secara cepat.

Ketika saya menonton film Brunei Yasmine itu, hati saya berdegup karena film itu menonjolkan ke khasan pencak silat nusantara dan filosofi apa itu silat (tentu di bumbui dengan drama percintaan anak muda). Dan tentu menonjolkan warisan nusantara dengan bagus. Brunei yang industri filmnya lesu sejak tahun 1960, bangkit lagi dengan film Yasmine ini, dan tidak tanggung-tanggung Kerajaan Brunei menyumbang dana sebesar $ 120,000 untuk pembuatan film ini yang ber bujet $ 2 juta. Film ini juga menjadi populer di Negara jiran Malaysia dan Singapura. Bagi saya film ini berhasil membuat Pencak Silat yang umumnya di anggap sebagai bela diri “desa” menjadi elit karena jalan ceritanya yang menarik dan tentu juga karena para pemainnya yang cantik – cantik dan ganteng-ganteng serta memiliki talenta yang tinggi. Dan tentu dunia dibuat terbelak matanya karena mengetahui ttg Pencak Silat.

Sebenarnya Indonesia adalah referensi utama dari pencak silat ini, negeri ini sejak ratusan tahun memiliki beragam jenis silat. Sebut saja silat Banten, Silat Betawi, Silat Madura, Silat Minang, Silat Aceh, Cimande, bahkan ada silat di lingkungan Keraton dan Pesantren. Pendeknya setiap suku atau tempat di nusantara ini memiliki silat. Silat juga memiliki peranan yang cukup besar dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Para pejuang kita banyak di bekali ilmu silat oleh para ulama dalam menghadapi penjajah baik Belanda maupun Jepang. Perguruan Silat Perisai Diri yang saya ikuti juga memiliki acara tahunan kompetisi silat di berbagai Perguruan Tinggi bahkan sampai di luar negeri. Indonesia juga memilki banyak actor laga yang patut dibanggakan.

Sayangnya, tidak ada upaya yang keras untuk membuat film yang kolosal seperti Yasmine itu yang mengangkat Pencak Silat sebagai tema utama. Film-film Cina lebih dahulu berhasil dengan bangga menunjukkan Kung Fu sebagai warisan leluhur Cina di pentas dunia. Kalau toh di negeri kita ini ada film laga nasional, itupun yang dipertontonkan adalah gerakan-gerakan bela diri dari Jepang dan Korea.

 Saya membayangkan pemerintah Indonesia dengan kesadaran nasional yang tinggi mau mengeluarkan dana untuk membantu per film an Indonesia yang menonjolkan unsur unsur budaya nasional sendiri seperti yang dilakukan Kerajaan Brunei terhadap film Yasmine. Publik jarang yang mengetahui bahwa keberhasilan K-Pop menjadi budaya dunia dan terkenal di banyak Negara – itu juga adalah karena pemerintah Korea Selatan membantu dengan all-out agar budaya Korea menjadi salah satu raja di dunia.

 Menumbuhkan nasionalisme dan cinta tanah air sebenarnya bisa dilakukan dengan cara memperkenalkan budaya nasional seperti yang dilakukan Brunei. Industri film Indonesia sekarang selayaknya tidak hanya menonjolkan budaya konsumerisme, mistik, hantu, dan perselingkungan, dan life style Negara lain; karena hal-hal seperti ini tentu tidak mendidikan, counter productive, dan tidak menumbuhkan semangat kebangsaan.

Sumber gambar : http://ppcdn.500px.org/60658336/7539e7226180d98e7d53fb1277218a4bc0fbd5f2/4.jpg

Photo by Agus Rahiem on 500px

_______

*Alumni University of London, Universitas Airlangga, kini pengajar di STIE PERBANAS Surabaya.

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ