florida-space-shuttle

 

Ketika Neil Amstrong meninggal pada 25 Agustus 2012, saya kebetulan sedang berada di Amerika Serikat. Saya merasakan betul hari itu adalah hari berkabung bagi rakyat Paman Sam. Salah satu pahlawan luar angkasanya, yang mereka sebut Space Legend, Neil Amstrong, meninggal dunia dalam usia 82 tahun. Saya mencoba mengingat-ingat kembali pendaratan pertama manusia di permukaan bulan pada 20 Juli 1969 oleh pesawat luar angkasa Apollo 11 yang dikendarai Neil Amstrong, Edwin Buzz Aldrin, dan Michael Collins.

Waktu saya SD dulu (akhir 80-an), guru IPS saya mewanti-wanti untuk mengingat nama ketiganya, dan juga nama pesawat yang dipakai berangkat dan mendarat di bulan (meski yang sering keluar dalam ujian adalah tanggal mereka mendarat). Pak Yadi, guru SD saya tersebut selalu mengatakan bahwa meski dia mungkin tidak akan melihat orang Indonesia mendaratkan kaki di bulan semasa hidupnya kelak, paling tidak anak didiknya bisa menyaksikan Indonesia berkiprah di luar angkasa, atau bahkan menjadi pelaku pendaratan tersebut. “Kalau Amerika bisa, Indonesia pasti bisa. Wong orang-orang Amerika juga minum air seperti kita, bukan minum bensin” adalah salah satu perkataannya yang selalu saya ingat.

Perlu diingat, bahwa awalnya Amerika tertinggal dari Uni Soviet (musuh besarnya di era Perang Dingin) dalam hal eksplorasi luar angkasa. Pada 4 Oktober 1957, atau 12 tahun sebelum diluncurkannya Apollo 11, Uni Soviet sudah meluncurkan satelit luar angkasa pertamanya, Sputnik-1. Peluncurannya sangat mengagetkan, terutama bagi Amerika Serikat, yang merasa bahwa Uni Soviet sudah selangkah lebih maju dibanding mereka dalam space race, atau perlombaan menguasai luar angkasa. Presiden AS waktu itu, Dwight D. Eisenhower, bahkan menyebut keberhasilan peluncuran tersebut sebagai Sputnik Crisis. Dengan segera membentuk National Aeronautics and Space Act (NASA) pada Juli 1958.

Pak Yadi juga bercerita bahwa Amerika Serikat makin ‘tersengat’ ketika pada 12 April 1961, Uni Soviet berhasil meluncurkan manusia pertama ke luar angkasa melalui pesawat Vostok-1, yang membawa Yuri Gagarin di dalamnya. Begitu besarnya pengaruh ‘prestasi’ tersebut, hingga bahkan di Indonesia masa itu banyak yang menamakan bayi-bayi yang baru lahir dengan nama ‘Gagarina’. Wallahua’lam.

Keinginan kuat dari seluruh bangsa untuk mengejar ketertinggalan tersebut, membuat seluruh bangsa bergerak, mulai dari presiden, para menteri, anggota kongres, ilmuwan, jurnalis, politisi, kampus-kampus, hingga rakyat biasa. Yang paling diingat orang adalah pidato John F. Kennedy pada 12 September 1962, sebuah pidato monumental berjudul “Why we choose to go to the moon” yang menegaskan keinginan Amerika untuk memenangi penjelajahan angkasa, yg terucap rencana pendaratan manusia di permukaan bulan:

“We choose to go to the moon. We choose to go to the moon in this decade and do the other things, not because they are easy, but because they are hard, because that goal will serve to organize and measure the best of our energies and skills, because that challenge is one that we are willing to accept, one we are unwilling to postpone, and one which we intend to win, and the others, too.”

 

(Kami memilih untuk pergi ke bulan. Kami memilih untuk pergi ke bulan pada dekade ini, bukan karena melakukannya adalah mudah, tetapi justru karena sulit, karena cita-cita tersebut akan berguna untuk mengatur dan mengukur energi dan keterampilan terbaik yang kita miliki, karena tantangan itu adalah salah satu yang kita bersedia menerimanya, satu yang tidak akan kita tunda, dan satu yang ingin kita menangi”).

Guru SD saya, pak Yadi sangat sering menggunakan kalimat Kennedy yang ini “Kita memilih untuk pergi ke bulan pada dekade ini, bukan karena melakukannya adalah mudah, tetapi justru karena sulit”.  Neil Amstrong beserta 2 astronot lain, NASA, dan para ilmuwan Amerika Serikat sukses membawa anak bangsa Amerika pergi ke bulan, dan mimpi Kennedy, mimpi bangsa, tercapai. Dan waktunya pun sesuai dengan waktu yang ditargetkan Kennedy, menjelang akhir dekade 60-an.

Penggalan pidato Kennedy yang selalu digaung-gaungkan oleh guru SD dulu kini terpapar lagi di pikiran saya. Menggapai kejayaan, kemakmuran bagi seluruh bangsa, tentu bukan hal mudah, justru karena sulitlah kita seyogianya merasa tertantang. Karena melakukan sesuatu yang sulit akan ‘menguras’ seluruh kemampuan dan skill kita, menjadi bangsa yang penuh inovasi, bergerak ke depan sekuat tenaga, dan percaya diri, bahwa kita mampu.

Beberapa hari yang lalu saya diprotes melalui twitter, karena nge-tweet bahwa Indonesia akan masuk dalam 7 besar negara dengan PDB terbesar di dunia (saat ini nomor 16). Respon yang paling banyak saya terima adalah saya kebanyakan mimpi dan tidak melihat realitas. Bahkan ada yang bilang bahwa Indonesia tidak mempunyai sumber daya manusia yang memadai, pemerintah yang lemah, kebijakan yang lemah, dan sedang menuju menjadi negara gagal, dan makin turun kelas.

Memahami betapa mulai lunturnya kepercayaan diri orang-orang saat ini, membuat saya mengingat kembali penggalan pidato Kennedy yang selalu digaung-gaungkan oleh guru SD dulu. Menggapai kejayaan, kemakmuran bagi seluruh bangsa, menjadi bangsa yang dihormati dunia, tentu bukan hal mudah, justru karena hal tersebut sulit dicapai, kita seyogianya merasa tertantang. Karena melakukan sesuatu yang sulit akan ‘memaksa’ kita menguras dan menggunakan seluruh kemampuan, skill, inovasi, networking, negosiasi, dan berbagai macam hal lain, dan bergerak ke depan bersama-sama sekuat tenaga, dan percaya diri, bahwa kita mampu.

Siapapun presiden yang terpilih nanti, dia harus mampu memompa semangat dan menjaga optimisme bangsa tetap menyala. Selamat datang, Presiden baru Indonesia.