By Akhyari Hananto

Apakah ada dari pembaca yang pernah ke Solomon Island? Saya menanyakan hal serupa kepada beberapa kawan saya di Surabaya, dan sebagian besar tidak tahu letak Solomon Island, bahkan tidak pernah mendengar namanya sama sekali. Ada yang berusaha menjawab, bahwa Solomon Island terletak di dekat Meksiko! Hehehe..

Tentu tidak mengherankan. Solomon Island bukanlah sebuah negara besar, tak juga berpengaruh. Negara itu terletak jauuuh di timur Indonesia. Kalau mau ke sana, kita harus ke Australia dulu, kemudian terbang 3.5 jam kembali ke arah timur laut menuju Solomon Island. Saya kebetulan pernah ke sana, dan sempat tinggal selama 2 minggu. Tak banyak yang akan saya ceritakan tentang Solomon Island. (Cerita saya tentang Solomon Island bisa dilihat di sini)

Ketika saya melihat TV di kamar sebuah hotel di Honiara (ibukota negara Solomon Islands), saya terkaget-kaget karena begitu menghidupkan TV, saluran yang pertama muncul adalah TV corong Singapura, yakni Channel NewsAsia. Singapura yang terletak amat jauuuuuuuh dari Solomon Islands pun, punya 'alat propaganda' yang sempurna, yakni saluran TV.

Channel NewsAsia telah hadir di Thailand, Malaysia, Australia, Vietnam, Kamboja, China, Philippine, Palau, Papua New Guinea, Hongkong, atau bahkan negara yang jauh seperti Solomon Islands tadi, Fiji atau bahkan Tonga.  hidupkan TV di hotel anda (yang ada TV satelit/kabelnya), dan anda akan menemukan Channel NewsAsia. Channel NewsAsia (CNA), tak dapat dipungkiri, sudah menjadi acuan berjuta orang untuk mendapatkan informasi tentang Asia. CNA terbukti jauuuh sekali melewati batas wilayah negara Singapura, pun juga menjadi salah satu alat national branding untuk membangun reputasi Singapura yang sebenarnya sudah 'sempurna' itu.

Stasiun TV ini belum lama dibentuk oleh MediaCorp milik pemerintah Singapore, baru tahun 2001, tapi sudah direlay secara luas oleh banyak negara di dunia. Bahkan dalam banyak kesempatan, CNA ditempatkan sejajar dengan saluran-saluran dunia yang lain yang jauh lebih dulu besar, seperti BBC, CNN, dan Al Jazeera.

Diakui atau tidak, dengan memiliki CNA, Singapore yang kecil mungil (ukurannya lebih kecil dari Kabupaten Gunungkidul) menjadi seolah seukuran raksasa yang kuat, dan disegani. Saluran ini tentu saja memiliki peran strategis yang luar biasa, selain memperkenalkan Singapura yang modern, bersih, maju, kaya, juga membentuk opini begitu banyak orang di berbagai belahan dunia mengenai isu apa saja. Dan mudah diduga, opini yang mengarah pada keuntungan jangka panjang Singapura dan berbagai kepentingannya.

Singapura bisa memainkan opini masyarakat dunia, untuk terus berada di pihak Singapura, no matter what. Dan sayangnya, apabila kita 'bersengketa' dengan Singapura, kita seolah tak mampu mengkonfrontir dan mempengaruhi dunia, karena sampai saat ini Indonesia tidak mempunyai ‘alat ‘ serupa.

Ingat ketika sedang panas sengketa penamaan KRI Usman Harun, media-media internasional lebih banyak mengambil referensi dari media-media Singapura (termasuk CNA), sehingga berita-berita tentang hal tersebut sangat tidak menguntungkan pihak Indonesia. Public opinion dibentuk dengan dominasi penuh dari media-media Singapura.

Anyway..tetangga kita yang lain, Malaysia, rupanya tidak mau kalah dengan tetangga kecilnya. Kali ini pendekatannya berbeda, sedikit lebih mahal biayanya. Kalau Singapore menciptakan saluran ala BBC/CNN, Malaysia menginvasi Asia dengan acara-acara di channel-channel internasional yang sudah ada. Jangan kaget jika kita melihat berita dan promosi-promosi Malaysia lewat National Geographic, TLC, AFC, Bio, Disney Junior, History Channel, LI, Discovery Channels, dan masih banyak lagi. Tentu Malaysia keluar uang yang tidak sedikit untuk promosi besar-besaran seperti itu. Namun ini sepadan dengan hasilnya, karena lebih efektif menjaring committed viewer, dibandingkan dengan hanya memasang iklan tentang Malaysia.

Meskipun, kalau boleh jujur, Indonesia punya jauuh lebih banyak cerita untuk ditampilkan, dibandingkan Malaysia. Bayangkan saja, documenter Siti Nurhaliza bisa masuk History Channel, padahal Indonesia punya Iwan Fals atau Slank yang lebih 'nendang'. Sebuah pertempuran kecil di Malaysia yang hampir-hampir tidak mempengaruhi pendudukan melawan Jepang, bisa masuk ke History Channel. Bandingkan dengan Pertempuran 10 November Surabaya, atau Serangan Oemoem 1 Maret, atau perjuangan rakyat Aceh yang luar biasa itu.

Apa boleh buat, yang biasa saya lakukan hanyalah pindah channel, karena saya memahami sepenuhnya, semua adalah promosi dan usaha national branding Malaysia. Dan mereka sepertinya berhasil mengangkat nama Malaysia di kawasan Asia. Cara ini sah-sah saja, dan sebenarnya justru Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengikuti langkahnya.

Lalu, langkah yang mana yang sudah diambil Indonesia; apakah caranya Singapura, mendirikan saluran internasional, atau cara Malaysia, membuat program dan membayar saluran-saluran Internasional untuk menayangkannya?

Saya tidak tahu. 

Tapi, sebaiknya pemerintah baru nanti dengan presiden barunya, harus tahu. Tahu bagaimana menyikapi hal ini. Ada baiknya, presiden yang baru nanti mulai berpikir (kemudian dilaksanakan) bagaimana caranya agar Indonesia bisa mempunyai satu saluran internasional berbahasa Internasional; seperti NHK (Jepang) atau Arirang (Korsel), Channel NewsAsia, Australia Network, atau Russian Today. Nantinya saluran internasional Indonesia ini akan mengangkat berita-berita dan pemikiran-pemikiran orang Indonesia, sekaligus menjadi 'diplomat udara'  yang aktif mem-branding Indonesia secara positif. 

Kita makin perlu menampilkan kepada dunia Indonesia yang dulu selalu kita banggakan, bangsa yang murah senyum, ramah, indah alamnya, sejarahnya yang panjang, keunikan budayanya, kecerdasan para akademisinya, inovasi-inovasinya, tokoh-tokoh besarnya, atau sumbangsihnya pada dunia.

Ini kerja besar, dan perlu pemikiran matang. Tapi menurut saya harus dijalankan.  

Bagaimana, pak Prabowo, pak Jokowi?
Advertisement Advertise your own
Ads Telkom Indonesia
0 Komentar
Tambahkan komentar dengan Akun GNFI / Facebook
READ NEXT
BACK TO TOP