Tentang Tetangga

Written by Akhyari Hananto Administrator at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Penuhnya pesan di BBM saya. Isinya seragam, menanyakan soal hubungan yang sedikit memanas antara Indonesia dan Singapura yang dipicu oleh ketidaksenangan negara tetangga itu terhadap penamaan satu dari 3 kapal frigat buatan Inggris yang dibeli dari Brunei. Lainnya menanyakan kenapa saya tidak juga menulis tentang hal tersebut di GNFI.

Baiklah, apa yang saya tulis di sini sepenuhnya adalah pemikiran pribadi saya, dan bisa jadi tidak sepenuhnya benar.

Bagi banyak orang, masalahnya sederhana. Bagi Indonesia, kapal tersebut sudah menjadi milik Indonesia, dan sepenuhnya menjadi hak Indonesia untuk menamainya dengan nama apa saja. Selain itu, Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali, keduanya sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh negara sejak berpuluh tahun lalu.  Sementara bagi Singapura, tentu tak mudah bagi mereka menerima begitu saja, bagaimanapun, Usman dan Harun “pernah” menjadi “musuh” Singapura. Diam saja, tentu akan menjadi cibiran publik Singapura. Awalnya, saya berharap bahwa reaksi Singapura hanya sebatas ‘mempertanyakan’.

Rupanya saya salah. Tapi sudahlah, para pembaca sudah mengerti kelanjutannya.

Tapi kenapa Singapura menjadi begitu “murka” terhadap Indonesia? Ketika para pejabat tinggi Jepang berziarah ke Kuil Yasukuni, tidak terdengar petinggi-petinggi, media, dan rakyat Singapura mengecam dan mengancam Jepang. Padahal tentu saja aksi Usman-Harun tak seujung kuku dari kekacauan dan korban yang ditimbulkan atas invasi Jepang ke Singapura pada tahun 1942.

Apakah karena Singapura takut pada Jepang dan berani pada Indonesia? Bisa jadi. Dan sikap yang diambil Singapura tersebut mudah ‘dipahami’ siapa saja. Jepang negara kaya, negara besar, punya bargaining power yang begitu besar dan banyak, sementara Indonesia, bagi Singapore, bisa jadi dianggap sebagai negara dengan populasi dan ukuran yang besar namun reputasi dan bargaining powernya tak sebesar ukurannya. Perlu diingat, luas Singapura adalah 710 km2, tak sampai separuh luas Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat.

Apakah ini terkait dengan kondisi politik Singapura saat ini?

Ini perlu jawaban panjang lebar. Saya sendiri tak punya jawaban pasti mengenai hal tersebut, akan tetapi setidaknya, saya sering mengikuti perkembangan negeri Singa tersebut baik dari media resmi, media online, komentar-komentar netizen, maupun berkunjung dan bertemu langsung dengan orang-orang Singapura.

Politik Singapura tak pernah terpisahkan dari kondisi sosial-ekonomi rakyat Singapura. Kalau boleh saya katakan, negeri ini sedang mengalami krisis sosial yang tidak ringan. Selama ini, mungkin tak banyak masyarakat Singapura yang menyadarinya, semuanya seolah “take for granted”. Namun generasi-generasi baru Singapura mulai merasakan, betapa ‘beratnya’ hidup di Singapura.

Jam kerja yang panjang, harga-harga yang naik (yang dipicu oleh kenaikan sektor properti), kesenjangan sosial dan pendapatan yang makin dalam, juga makin banyaknya FT (Foreign Talents, sebutan bagi imigran yang datang dan bekerja di Singapura) yang ‘mengambil’ pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa diisi oleh orang-orang Singapura sendiri, dan lain-lain. Tahun lalu, pemerintah Singapura berujar akan menjadikan populasi Singapura, dari 5 jutaan saat ini, menjadi 6.9 juta pada 20 tahun mendatang.

Singapura adalah kota terpadat di Asia Tenggara, lebih padat dari Hongkong, dan akan bertambah padat lagi jika kebijakan tersebut benar terlaksana.

Dan mohon dicatat, bahwa dari 6.9 juta tadi, pemerintah berencana akan mendatangkan lebih banyak FT, karena tingkat kelahiran bayi di Singapura terbilang sangat rendah. Sehingga (menurut argumen pemerintah) agar pertumbuhan penduduknya tetap positif, maka FT harus didatangkan untuk menyangga pertumbuhan ekonomi. Argumen yang banyak ditentang oleh masyarakat Singapura. Rakyat Singapura sendiri memilih untuk memiliki keluarga kecil (1 atau maksimal 2 anak) karena tingginya biaya hidup, pendidikan, dan perumahan. Selain itu, sang ibu juga dituntut untuk bekerja untuk menambah penghasilan keluarga, tanpa itu, memang berat untuk hidup dengan ‘standar’ Singapura.

Maka, saya tidak begitu heran melihat survey-survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia tentang Singapura. Misalnya, menurut World Giving Index (2012), Singapura masuk dalam jajaran negara yang pelit, meskipun kaya. Singapura berada di peringkat 114 dari 146 negara di dunia sebagai negara dengan rakyatnya yang dermawan. Cukup mengejutkan mengingat Singapura adalah salah satu negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di dunia. Indonesia saja yang tidak kaya ada di peringkat 7 dunia.  Beberapa kali Singapura juga ada di daftar 10 besar negara-negara dengan masyarakatnya yang paling tidak bahagia di dunia. Dalam survey Gallup tahun 2012, tingkat kebahagiaan masyarakat Singapura bahkan berada di bawah Haiti, atau bahkan Iraq. Bahkan bulan lalu (January 2014), para pekerja dan karyawan di Singapura adalah pekerja/karyawan paling tidak bahagia di dunia, menurut laporan Randstad’s World of Work Report.

Yang mulai terasa dari waktu ke waktu, generasi baru Singapura mulai merasakan bahwa kehidupan politik, sosial, budaya mereka tidak sebebas negara-negara lain, terutama tetangga-tetangga dekatnya. Media, politik, organisasi sosial dan kemasyarakatan, partisipasi publik, sepenuhnya berada dalam pengawasan ketat pemerintah, bahkan dikontrol penuh. Bahkan, para pengguna internet pun sangat tidak leluasa mengemukakan pendapat yang berbeda dengan pendapat pemerintah. Para pemuda dan remaja Singapura (tak seperti generasi sebelumnya), mulai sadar bahwa apapun yang mereka baca di media mainstream, sepenuhnya adalah apa yang menjadi pikiran pemerintah, bukan pemikirian partisipatif dari elemen-elemen masyarakat. Banyak ketidaksetujuan, bahkan anomali berita yang, sayangnya, tak bisa mereka tentang secara terbuka.

Akhirnya mereka memilih media online sebagai ‘pelarian’. Dan, sayangnya lagi, inipun dimonitor dan dikontrol ketat oleh pemerintah yang dengan cepat menyadarinya.

Para pemuda dan remaja Singapura juga merasakan betapa hidup mereka ‘terbuang’ selama 2.5 tahun mengikuti wajib militer (di sana disebut National Service), wajib bagi para pemuda Singapura, selama itu mereka praktis tak bisa banyak melalukan kegiatan-kegiatan lain, termasuk membangun karir. Dan pada saat mereka terikat di situ, datanglah para FTs yang tak perlu menjalani NS.

Masalah yang bertumpuk, dan tak mungkin bisa dihilangkan dalam waktu cepat. Di titik inilah, siapapun akan dengan mudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Ini sepenuhnya disadari oleh pemerintah Singapura.

Apakah ini pula yang mendasari Singapura bersikap keras terhadap Indonesia, untuk mengambil hati masyarakatnya? Wallahua’alam

 

 
1 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ
Fario
Fario

Jika Rio nanti ke F1 kira2 rio akan bergabung di tim mana? Mengingat tim F1 sudah bnyk memiliki pembalap junior mereka di Gp2