205688_launching-mobile-refueling-unit-mru-pgn_663_382

Mungkin sudah banyak yang menyadari, bahwa menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jakarta masuk dalam daftar 10 besar kota dengan udara paling tercemar di dunia. Data ini didapat dari hasil analisa udara di Jakarta dan kota-kota besar yang lain di dunia beberapa tahun lagi, dan ternyata diketahui bahwa Jakarta ada di peringkat 7 kota dengan udara yang paling tercemar. Polusi udara di Jakarta memang paling banyak bersumber dari kondisi lalu lintas kendaraan bermotor (sumber bergerak). Dan dari tahun ke tahun, kondisi ini semakin mengkhawatirkan mengingat pertumbuhan jumlah kendaraan di Indonesia yang terus mencetak rekor dari tahun ke tahun. Tahun 2013 ini diperkirakan jumlah mobil baru yang terjual di Indonesia akan mencapai 1.3 juta unit, tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Belum lagi kendaraan roda dua yang mencapai 10 juta unit!

Selain ‘bencana’ kemacetan kota-kota besar, terutama Jakarta, yang makin menggila, pertumbuhan jumlah kendaraan juga akan makin menurunkan kualitas udara di Jakarta, karena sebagian besar kendaraan tersebut menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak hanya makin menipis cadangannya, namun juga karena BBM melepaskan banyak partikel berbahaya ke udara yang kita hirup sehari-hari.

Sebenarnya, seberapa buruk kualitas udara di Jakarta?

Setiap kali berada di luar ruangan, tanpa selalu kita sadari dan perhatikan, di pakaian atau kulit kita seringkali tercium bau bensin yang menempel, dan itu menandakan bahwa polusi udara di Jakarta tersebut sudah sedemikian parah nya.

Bisa difahami. Bayangkan saja, konsumsi BBM bersubsidi (premium dan solar) oleh kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 9 juta liter per hari. Setiap 1 liter bensin yang digunakan akan melepaskan gas karbon dioksida seberat 3 kg ke udara. Bisa dibayangkan berapa juta kilogram gas karbon dioksida yang terlepas di udara Jakarta setiap harinya. Belum lagi partikel berbahaya seperti timbal dan sulfur (yang terkandung dalam bensin) yang juga terlepas di udara di saat yang sama.

Berdasarkan riset yang dilakukan Universitas Indonesia pada 2006, menunjukkan bahwa udara di DKI Jakarta sudah jauh di bawah garis rata-rata layak untuk paru-paru. Berdasarkan riset tersebut terungkap bahwa urin masyarakat Jakarta sudah mengandung hidrokarbon sebanyak empat kali lipat lebih tinggi dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Lalu kadar Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) dalam urin masyarakat sudah mencapai 30 kali lipat dari yang disarankan oleh WHO.

Jakarta Kota Gas

Kita memang harus berpacu dengan waktu, dan sebelum terlambat, harus segera diambil solusi cepat dan komprehensif. Salah satu yang patut kita syukuri adalah gencarnya program konversi armada transportasi umum dari BBM (Bahan Bakar Minyak) ke BBG (Bahan Bakar Gas) yang jauh lebih bersih. Pemkot Jakarta bahkan telah memulai program konversi armada bus TransJakarta yang sudah ada, dari BBM ke BBG, lalu menambah jumlah armada bajaj gas, dan juga menambah 1000 unit bus TransJakarta BBG. Upaya ini adalah salah satu dari sekian banyak upaya pemerintah Jakarta mewujudkan wacana “Jakarta Kota Gas”.

Di Asia, India dan Bangladesh adalah dua negara yang telah cukup lama menggunakan BBG sebagai bahan bakar untuk kendaraannya. Kedua negara tersebut sadar bahwa selain karena mereka adalah negara pengimpor minyak (seperti Indonesia sekarang) sehingga penggunaan BBG akan menghemat banyak uang negara, juga karena mereka menyadari bahwa udara di kota-kota besar di kedua negara tersebut sudah begitu tercemar. Seperti juga Indonesia, India dan Bangladesh juga adalah penghasil gas alam yang dimanfaatkan menjadi bahan bakar kendaraan.

Indonesia perlu segera mencontoh kedua negara Asia tersebut. Bayangkan, berapa trilyun devisa yang bisa dihemat jika kita memakai BBG yang bahan bakunya 100% diproduksi di negeri sendiri. Saat ini, Indonesia menghabiskan hampir Rp. 2 trilyun per hari hanya untuk mengimpor BBM yang kita bakar setiap saat. Sangat luar biasa penghematannya jika program konversi BBM ke BBG bisa kita dukung bersama-sama dan berhasil. Apalagi gas mempunyai nilai oktan yang tinggi sekitar 120 ron dan harganya juga murah. Pengeluaran akan menjadi lebih irit, selain itu mesin juga lebih awet. Dan yang paling penting adalah emisi BBG sangat sedikit kadar CO2-nya, sehingga ramah lingkungan.

Sekali lagi, kita sedang berpacu dengan waktu, dan kita tak boleh terlambat!

Indonesia mempunyai PGN (Perusahaan Gas Negara), BUMN yang secara khusus mengemban tugas mengembangkan infrastruktur gas bumi dan distribusinya. Pada awal tahun 2013, tepatnya bulan Mei, PGN sudah mengeluarkan 1 SPBG berjalan atau disebut MRU (Mobile Refueling Unit). Sebuah langkah penting yang patut terus kita apresiasi. Pada 23 Desember 2013, PGN juga membuka SPBG pertamanya di wilayah Pondok Ungu, Bekasi, untuk dapat memenuhi kebutuhan BBG kendaraan umum dengan sirkulasi wilayah Jakarta dan Bekasi.

SPBG di Pondok Ungu ini adalah SPBG pertama milik PGN. Beberapa SPBG lagi akan diluncurkan selama tahun 2014. SBPG milik PGN yang akan diluncurkan ini akan disebut “SPBG PGN”. Jika Pertamina memiliki produk Premium, Pertamax, dan Solar, PGN meluncurkan produk Gasku yang merupakan gas bumi untuk kendaraan.

Menghilangkan kesalahfahaman

Perlu dukungan dari kita semua, agar program ini berjalan terus, dan agar Indonesia tidak kehilangan momentum. Salah satu hal yang krusial adalah memberikan pemahaman seluas-luasnya, bahwa Bahan Bakar Gas (BBG) berbeda dengan elpiji. Ini yang masih banyak disalahartikan di masyarakat. Gas bumi berbeda dengan elpiji. Sederhananya, elpiji (LPG) adalah produk sisa hasil proses minyak bumi, sedangkan gas bumi adalah gas yang diambil langsung dari cadangan gas di alam. Elpiji didistribusikan melalui gas tabung, sedangkan gas bumi disalurkan melalui pipa dibawah tanah. Mungkin itulah kenapa banyak orang yang tidak menyadari keberadaan gas bumi di kehidupan sehari-hari. Gas bumi sendiri biasanya digunakan di rumah untuk kompor, pemanas air, dan pengering pakaian (dryer). Di luar negeri, gas bumi juga digunakan untuk menghangatkan rumah dengan heater di saat musim dingin.

Juga masih banyak yang memahami bahwa BBG mudah terbakar. Berat jenis (perbandingan berat suatu zat dengan volumenya) BBG lebih kecil dari berat jenis udara. sehingga, jika terjadi kebocoran pada tangki penyimpan maupun pada saluran bahan bakar, maka gas yang keluar akan segera terlepas ke udara dan tidak akan menimbulkan kebakaran.

Masih banyak juga yang berasumsi bahwa gas di Indonesia hanya dari Pertamina, yaitu dalam bentuk elpiji. Sebenarnya, selama hampir 50 tahun ini pemerintah juga memiliki BUMN yang khusus menangani gas bumi, yakni PGN. Di masa lalu, PGN bernama PN Gas. PGN sejauh ini telah berhasil membangun jaringan pipa gas bumi di Indonesia sepanjang lebih dari 6.000 km (lebih panjang dari jarak antara Sabang ke Merauke yang 5248 km!)

Program nasional konsumsi BBG ini tidak akan berhasil tanpa kesadaran dan kemauan dari semua pihak untuk menyelamatkan Jakarta, dan kota-kota lain di Indonesia. Ketegasan pemerintah, dan dukungan masyarakat luas tentu saja adalah kunci utama suksesnya program BBG ini.

Mari mulai dari diri kita, dan mulailah dari sekarang!