berdoa

 

By Ahmad Cholis Hamzah*

Seringkali kita membaca berita dari media dalam negeri utamanya luar negeri tentang pendapat atau analisa perekonomian Indonesia, sepertinya negeri yang kita cintai ini banyak persoalan dan akan ambruk. Membaca analisa seperti itu haruslah dengan jeli dan perlu dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang negeri ini. Dari berbagai laporan itu – misalnya dari IMF, kita di beritahu tentang berbagai masalah itu misalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2014 ini diprediksi akan melambat sekitar 5-5,5%. Harga-harga komoditas akan menurun dan akan menyebabkan ketidak seimbangan neraca pembayaran Indonesia dan deficit neraca berjalan atau current account, dan banyak lagi gambaran tentang kondisi menurunnya ekonomi Indonesia.

Tentu semua analisa itu dibuat oleh para ahli dibidangnya masing-masing berdasarkan data yang valid. Namun kita perlu melihatnya dengan kaca mata yang lebih luas – bukan dengan maksud menyalahkan analisa para ahli itu; yaitu dengan melihat kondisi perekonomian makro dunia atau perkembangan ekonomi global. Penurunan pertumbuhan ekonomi, inflasi yang meningkat, deficit necara berjalan atau export yang menurun dsb itu tidak didominasi oleh Negara Indonesia saja, akan tetapi di alami oleh Negara-negara lain di dunia, termasuk Negara-negara tetangga Indonesia dan Negara – Negara dengan ekonomi yang mulai kuat yaitu China dan India. Kalau Indonesia mengeluarkan peraturan tentang kemandirian perekonomian, maka perlu difahami bahwa Negara-negara lain juga melakukan hal yang sama demi kepentingan nasionalnyua. Kalau public awam di negeri ini membaca analisa secara sepihak maka akibatnya melihat kondisi negeri kita ini paling jelek; dibandingkan dengan Negara lain.

Kritikan-kritkan dari berbagai pihak tentang Indonesia misalkan soal kurangnya infrastruktur; itupun harus diterima dengan lapang dada akan kekurangan kita. Namun banyak pihak di luar negeri belum memahami betapa luasnya negeri ini dank karena itu betapa sulitnya membangun negeri ini. Bentuk Indonesia yang kepulauan ini berbeda dengan bentuk Negara-negara lain yang hanya daratan saja dan hanya memiliki sedikit pulau. Membangun infrastruktur di negeri dengan 17,000 lebih pulau ini adalah usaha yang sangat besar. Karena itu tentu kita tidak bisa membandingkan bagusnya infrastruktur di Singapura – yang negaranya mungkin hanya sebesar Surabaya dengan kondisi di Indonesia yang luas ini.

Saya ingat ketika pada bulan November 2013 yang lalu sebagai pengurus Alumni Universitas Airlangga (UA) bertemu dengan seorang alumni UA  – Ignasius Jonan direktur PT. KAI di Surabaya. Dia menceritakan pernah dipanggil Presiden berdiskusi tentang mungkin tidak Indonesia memiliki KA tercepat seperti TGV di Perancis atau Shinkansen di Jepang. Dia menjelaskan, Indonesia mampu kok bikin itu, tapi perlu diperhatikan bahwa jumlah perlintasan KA di Jawa saja yang legal- artinya ada petugas jaganya itu lebih dari 4,000; itu belum yang illegal-atau tanpa penjaga. Dan KA tercepat itu menurut dia harus berjalan cepat tanpa hambatan. Kalau disetiap 4,000 lebih perlintasan tadi dibuat jalan layang atau flyover atau jembatan bawah atau underpass agar KA cepat itu bisa melewati dg tanpa hambatan, maka biaya membuat satu flyover atau underpass itu sekitar Rp 50 milyar. Jadi perlu biaya investasi sangat besar. Contoh ini hanya di pulau Jawa, belum di luar Jawa yang memiliki kondisi berbeda.

Sekali lagi tentu kita tidak boleh menafikan pendapat – pendapat tentang menurunnya kinerja perekonomian Indonesia tadi, karena penpadat – pendapat itu dibuat dengan riset yang bagus dan berdasar data yang valid.  Hanya saja kita harus memahami kondisi negeri ini secara utuh. Bagi para pendatang dari luar negeri yang hanya tinggal 1-2 tahun saja tentu tidak cukup memahami kondisi negeri ini sebenarnya dan dengan keterbatasan pengetahuannya itu lantas mengkritik dengan membandingkan dengan negaranya.

Kritikan-kritikan tentang negeri ini, harus diterima dengan lapang dada sebagai input yang berguna untuk bangun lebih kuat. Dan tidak boleh malah melemahkan hati yang selalu sempit melihat kondisi negeri; apalagi ditambah dengan melihat berita secara sepihak tentang berita-berita jelek, seperti korupsi, dinasti politik, tawuran antar desa, kecelakaan bus atau truk, banjir dimana-mana, banyaknya pengemis dsb.

Kita perlu ingat bahwa hal – hal negative itu tidak berarti “the end of the world”. Artinya, kalau export kita menurun misalnya, kita tidak sendiri, karena Negara-negara lain saat ini juga mengalami hal yang sama. Negeri ini masih banyak orang yang jujur, bekerja keras dan taat beragama. Orang kaya baru bermunculan – bukan karena melakukan korupsi tapi karena bekerja dengan keras dan melakukan inovasi usaha yang baik. Coba kita lihat hasil penelitian Q Intel Research yang menemukan bahwa ada sekitar 1,000 lebih orang super kaya yang disebut “Indonesia Ultra-High Net-Worth Individuals” di tahun 2019. Orang-orang ini bertebaran di Jakarta, Bali dan Surabaya. Jumlah ini ditambah dengan jumlah orang kaya yg disebut dengan “new consuming class” sekitar lebih dari 45 juta (dan akan meningkat sampai 100 juta lebih nantinya); tentu akan menjadi katalisator dari pembangunan Indonesia kedepannya. Mudah-mudahan.

_____

*Alumni University of London dan Universitas Airlangga Surabaya, Dosen di STIE PERBANAS Surabaya.