MovingNightTraffic

Saya menulis ini di atas pesawat Bombardier CRJ1000 Garuda Indonesia yang penuh sesak, penerbangan dari Surabaya ke Mataram di Lombok. Saya ‘terpaksa’ memilih penerbangan Garuda  Indonesia karena tiket penerbangan dengan maskapai lain (dengan harga yang lebih murah) sudah tak tersisa lagi. Habis.

Saya tidak tahu berapa kali penerbangan Surabaya-Lombok, namun sore tadi saja, saya dengar di bandara beberapa panggilan boarding untuk maskapai-maskapai lain yang akan berangkat ke Lombok.

“Ada apa di Lombok? Kenapa penerbangan penuh semua?” Tanya seorang penumpang yang duduk di samping saya tadi. Dia pun punya cerita serupa, “terpaksa naik Garuda”. Saya yakin, di Lombok tidak sedang ada event besar, saya yakin, inilah pola normal penerbangan Surabaya – Lombok, selalu penuh sesak bahkan di luar weekend.

Saya cukup beruntung bekerja di sebuah perusahaan yang menuntut saya untuk sering bepergian ke luar pulau. Setidaknya sejak 3 tahun terakhir, saya menyaksikan sendiri betapa pertumbuhan penumpang udara di Indonesia begitu fenomenal, bisa dilihat hampir semua bandara-bandara  di Indonesia selalu kelebihan kapasitas. Saya baru pulang dari Poso 3 hari lalu, dan bandara kecil Poso yang saat ini hanya dilayani Wings Air pun juga sudah penuh sesak. Bandara Kasiguncu itupun sebentar lagi takkan mampu melayani lonjakan jumlah penumpang, karena Garuda Indonesia (dengan pesawat propeller ATR 72-500) juga akan masuk ke Poso. Saya juga baru pulang dari Palu. Bandara Mutiara di Palu, yang sudah 4 tahun terakhir tak mampu lagi menampung lonjakan jumlah penumpang. Beruntung, bandara Mutiara sudah memiliki ‘pengganti’, yakni terminal baru yang lebih besar dan modern.

Saya suka mengamati bandara-bandara di Indonesia, bukan hanya karena saya penggemar dunia aviasi, namun sebenarnya saya bisa melihat bukti kasat mata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diikuti dengan pertumbuhan kelompok kelas menengah.  Tak henti-henti saya berbagi gambar-gambar bandara baru di Indonesia ke social media, dan bandara-bandara tersebut dibangun lebih besar, dengan kapasitas setidaknya 2x lipat kapasitas bandara lama. Bandara Kualanamu sebagai pengganti Bandara Polonia tentu saja yang paling kentara, kapasitas bandara baru ini 8x lipat bandara lama, dengan bangunan yang megah dan modern.

“Meledaknya” bandara-bandara karena lonjakan jumlah penumpang di Indonesia terlambat diantisipasi oleh pemerintah. Contoh di kota saya Surabaya. Pada tahun 2007, terminal baru Bandara Juanda Surabaya selesai dibangun untuk dapat menampung 10 juta penumpang per tahun pada tahun 2015. Salah besar. Karena pada 2011, penumpang sudah mencapai 13 juta per tahun! Bandara Soekarno Hatta yang dibangun untuk melayani 22 juta penumpang per tahun, tahun lalu sudah dijejali 55 juta penumpang!

Selain bandara, jalan-jalan di seantero negeri  juga penuh sesak dengan makin banyaknya volume kendaraan. Jalan Menganti di kawasan rumah saya di Karang Pilang, Surabaya adalah kawasan yang beberapa tahun lalu lengang dan sepi. Namun kini ceritanya sangat berbeda. Saya harus benar-benar mengerti kapan harus keluar rumah, kapan mending pakai motor, atau bahkan kapan mending di rumah saja. Mengendarai mobil di jalan besar Babatan-Gunung Sari adalah sebuah perjuangan penuh liku, dan memerlukan kesabaran tingkat tinggi. Motor-motor baru, mobil-mobil keluaran baru, membuat jalanan-jalanan terutama di kota2 di Jawa menjadi penuh sesak.

Tentu ini bukan kondisi ideal. Ini kondisi  yang memicu ketidaksabaran. Ketika makin banyak masyarakat yang mampu bepergian dengan pesawat, atau mampu membeli kendaraan baru, kondisi idealnya adalah kondisi infrastruktur ikut tumbuh dan berkembang. Pemerintah lambat mengantisipasi. Bandara-bandara, stasiun-stasiun, dan jalan-jalan makin penuh sesak.

Seorang kawan menganalogikan, bahwa Indonesia seperti bayi yang diberi makanan dengan baik, cepat sekali tumbuh besar, dan kini menjadi anak yang ‘gendut’. Celakanya, Indonesia terlambat membuatkan baju untuk ukurannya. Semua baju menjadi kekecilan, susah dipakai.

Analogi yang menarik.