Winston Churcill, Siti Nurhaliza, dan “The Next China”

In Artikel, MSN 5 Responses

by Akhyari Hananto

By Akhyari Hananto

“Never was so much owed by so many to so few”

Kalimat sangat terkenal itu diucapkan oleh Winston Churchill, PM Inggris, setelah memenangkan pertempuran udara yang sangat menentukan melawan Luftwaffe (AU Nazi Jerman). Intinya adalah bahwa Inggris dan rakyatnya berhutang budi pada para pilot RAF (AU Inggris) atas jasa mereka menyelamatkan Inggris dari invasi jerman lebih lanjut. Sampai kini, dimana-mana, kata2 singkat itu masih terngiang di benak begitu banyak orang di seluruh dunia.

Orang-orang awam memang lebih mengenal Battle of Britain, atau pendaratan Normandy, dibandingkan dengan Pertempuran Stalingrad. Padahal pertempuran Stalingrad jauh lebih brutal, lebih mengerikan, dan jauh lebih menentukan jalannya Perang Dunia II. Pertempuran tunggal ini memakan waktu selama 5 bulan, dengan kemenangan silih berganti antara pihak penyerbu (Jerman), dan pihak yang diserbu (Sovyet), begitu sengitnya,  pertempuran ini memakan korban lebih dari 3 juta orang tentara, jumlah yang sangat besar dan tidak terbayangkan (jumlah total tentara Indonesia hanya sekitar 400 ribu personel), belum lagi korban penduduk sipil. Battle of Stalingrad adalah pemicu awal  kekalahan Nazi dalam perang dunia II, setelah  perang tersebut, pasukan tempur Jerman hanya bisa bertahan lalu mundur, tak pernah lagi mengambil inisiatif serangan.

Lalu mengapa Perang Dunia II yang terjadi di front timur (Jerman vs Sovyet) sedikit kita pelajari, sedikit diberitakan, dan  jarang dibuat filmnya? Jangan lupa, di front barat, Jerman dikeroyok banyak negara, sedangkan di timur, musuh Jerman dalam pertempuran hanya satu, yakni Tentara Merah Sovyet. Sekali lagi, mengapa seolah peran Sovyet dalam kemenangan ‘dunia’ atas Nazi tidak selalu dimunculkan ? Kenapa lebih banyak orang yang memahami bahwa kekalahan Jerman adalah karena kekuatan tempur sekutu yang jauh lebih superior?

Jawabannya hanya satu. Peran propaganda di media.

Media barat yang kuat, kekuatan industri filmnya yang menggenggam dunia, adalah alat propaganda yang hingga saat ini tidak punya lawan seimbang. Apalagi, Sovyet waktu itu sedikitpun tidak memiliki kekuatan media seperti yang dipunyai negara-negara barat, sehingga praktis selama perang dingin (perang tanpa pertempuran fisik pasca Perang Dunia II), Sovyet menjadi ‘bulan-bulanan’ media barat. Dan hingga kini, sisa-sisa dari hasil propaganda barat tersebut belum sepenuhnya hilang. Ada ribuan film, buku, dan dokumenter yang ‘mengagungkan’ kehebatan dan kepahlawanan sekutu dalam mengalahkan Nazi, namun saya belum melihat ada satupun film yang cukup berarrti dalam mengangkat peran sangat sentral Sovyet dalam mengalahkan Jerman secara total. Inilah kekuatan media.

Saya pernah geleng-geleng kepala  ketika film dokumenter tentang Siti Nurhaliza ditayangkan oleh History Channel. History Channel  seharusnya  menayangkan program2 sejarah yang tidak hanya popular tapi juga menentukan. Namun waktu itu ternyata menayangkan satu program yang sepenuhnya dibiayai oleh Malaysia. “Kayak gak ada yang lain saja” kata saya saat mengeluh ke seorang teman. Toh, Siti Nurhaliza masih belum menjadi sejarah Malaysia (apalagi dunia), dan kalaupun ada penyanyi yang legendaris yang mengubah sejarah sebuah bangsa, bukankah ada Iwan Fals, God Bless atau bahkan Rhoma Irama? “Lho, terserah yang punya uang dong” sahut teman saya itu.

Malaysia juga seolah menguasai channel-channel lain untuk diisi propaganda tentang negara tersebut, mulai dari makanan, tempat wisata, serial animasi, sejarah, hingga fashion. Semua sektor yang sebenarnya Indonesia memiliki jauh lebih banyak cerita yang lebih bagus  untuk ditampilkan dengan utuh, tanpa unsur propaganda. Tapi ya itu tadi, “terserah yang punya uang”.  Namun di titik ini, saya perlu mengakui bahwa Malaysia ada beberapa langkah di depan Indonesia. Negara tersebut memahami sepenuhnya, bahwa propaganda di media internasional (kini kita mendengar istilah yang lebih ‘lunak’, yakni National Branding), akan membawa banyak keuntungan bagi mereka. Tidak hanya wisatawan, tapi juga perdagangan, promosi produk nasional mereka, promosi perusahaan2 nasional mereka, investasi, dan lain-lain. Secara sederhana, dunia kini akan lebih mengenal Malaysia yang “eksotis, indah, punya sejarah yang panjang, dan artis-artis yang keren”.

Indonesia semestinya punya strategi membangun namanya di dunia internasional. Selama ini, Indonesia sangat mengandalkan ‘budi baik’ media-media internasional untuk tentang Indonesia secara jujur. Sayangnya, strategi ini sangat lemah dalam mengangkat Indonesia, ya kalau berprestasi, kalau bermasalah pun, juga akan diangkat menjadi berita. Indonesia tidak mempunyai media berbahasa internasional yang menjadi acuan banyak perusahaan berita dunia. Kita tak punya media seperti The Strait Times, atau NHK, ABC, atau Arirang, atau Al Jazeera.

Memiliki media seperti itu selain akan menjadi alat promosi secara global, juga sanggup berperan dalam mengkaunter berita-berita yang merugikan bagi negara. Saat ini seolah Indonesia tidak bisa berbuat apapun ketika media luar leluasa mengatakan apapun tentang Indonesia, dan media tersebut tentu akan lebih mementingkan kepentingan negara asalnya, dibandingkan menjaga keseimbangan/keakuratan berita mereka tentang Indonesia.

Indonesia harus segera membentuk strategi  membangun reputasi nasionalnya melalui media, diplomasi, produk nasional, dan lain-lain. Korea mungkin tak begitu kuat medianya, tapi ekonomi kreatif serta produk nasionalnya menjadi “agen-agen propaganda” Korea yang sangat bagus. Singapura memposisikan diri sebagai pusat finansial Asia, dan mereka melakukan everything untuk mewujudkannya, melalui branding bahwa ekonominya efektif, bebas korupsi, dan efisian. Tak semuanya benar, tapi setidaknya, dunia mempercayai itu, persis seperti yang diinginkan Singapura.

Kini, Indonesia bukan lagi “the sick man of Asia”, tapi sudah disebut-sebut sebagai the Next China, atau Garuda Rising, atau Emerging power, dan banyak lagi. Perusahaan-perusahaan Indonesia mulai berekspansi ke seluruh dunia, produk-produk Indonesia juga makin bisa ditemukan di sudut-sudut dunia. Pun, ekonomi Indonesia juga makin membesar, sudah melewati US $ 1 Trilyun. Sayang sekali kalau kebangkitan sebuah bangsa besar seperti Indonesia ini tidak diketahui oleh dunia luas hanya karena kita tidak mau melakukan national branding. Kita punya kemampuan melakukan hal itu, dan belum terlambat untuk memulainya.

 

 

5 Responses

  1. Aq sebagai peminat berat siti nuhaliza agak terkilan kerana kamu meremehkan keberadaan dia di chanel itu. Aku menyokong terus kata2mu yang pada ak bijak dan harus di angkat bagi kita letakkan indonesia di mata dunia dengan nilai yang lebih tinggi. Tp keberjayaan seni dan music itu harus juga dinilai dr sejauh mana ia telah pergi. Jangan hanya apabila sudah menjadi arwah baru dijadikan sejarah. Siti nurhaliza adalah figura yang benar2 melakukan kejutan seni yang besar di asia tenggara. Menurut aku di rantau ini dia anak melayu pertama yang bejaya mengikat hati jutaan org dengan bakatnya. Dan itu mungkin mengambil masa 50 tahun itu dapat penggnti. Dan pada aku itu sudah bernilai walau belum menjadi sejarah

  2. weleh.. buat2 saudara2 di malaysia ini. sepertinya bnyk yg kurang paham dengan bahasa indonesia dan beberapa istilah2nya. perlu diketahui tidak ada unsur menjelek2an negara kalian di tulisan ini. atau mungkin memang kalian yg terlalu sensitif ketika ada nama panutan kalian yg disebut.

  3. Saya baca komen teman2, kok pada protes dan nyebut tulisannya njelek2in negara tetangga? Bagian yang mana ya? Penulis cuman nulis kalo negara2 itu melakukan publikasi di media, sedangkan kita tidak. Mana menjelekkannya?

    Kembali ke topik, saya kira permasalahannya ada dua. Pertama, memang harus kita akui negara2 lain masih memandang kita ke bawah. Ini menjadi tantangan kita untuk menjadi bangsa yg dewasa.

    Kedua, ya seperti yg ditulis itu. Saya setuju. Jaman sekarang jangan naif lah, semua ujung2nya duit yang bicara. Lihat Bloomberg yang saya ikuti tiap hari. Kalau pun ada berita ttg Indonesia, dijamin pasti negatif. Beda dengan berita ttg Malaysia, pasti positif. Kebetulan saja??

  4. soal Siti Nurhaliza, itu kan cuma sekilas pendapat pribadi dan bukan hal yg terlalu penting untuk diperdebatkan. intinya soal strategi National Branding, bahwa Malaysia punya strategi yg bagus sampai Siti Nurhaliza pun dibahas di History Channel. Indonesia? padahal kita punya terlalu banyak hal baik untuk dibahas dan dibroadcast ke seluruh dunia, gitu loh kawan :)

    saya lebih senang National Branding dilakukan terhadap warga negara Indonesia sendiri, mengingat kita bangsa yg sangat rendah diri bung hehe. Biar kelak jika sudah lebih percaya diri, National Branding kita secara lebih intensif dilakukan oleh warganya yg berprestasi skala dunia, seperti yg sekarang udah banyak ada

  5. Seharusnya yang berkomentar baca dulu dengan cermat. Ini bukan masalah menjelek-jelekkan tetangga. Justru memuji tetangga dan autokritik kepada bangsa sendiri. Malaysia yang potensinya lebih kecil daripada Indonesia kenapa bisa lebih makmur, lebih “menjual” negaranya. Terutama pada hal-hal yang berpengaruh ke aspek ekonomi. Misalnya agar lebih banyak wisatawan mau masuk ke Indonesia, lebih banyak investor masuk ke Indonesia, dan lain-lain. Kita memiliki banyak penyanyi yang lebih baik atau setidaknya sekelas dengan Siti Nurhaliza, tapi kenapa kurang sekali dukungan keseluruhan masyarakat kita? Bukankah orang Malaysia saja sangat menyukai lagu-lagu Indonesia. Bisa dibayangkan jika bisa dikembangkan sampai merambah dunia seperti K-Pop? Jangan lupa Anggun jauh lebih sukses dan diakui dunia ketimbang penyanyi K-Pop. Anggun melakukannya tanpa fasilitas apapun, lebih pada bakat dan usahanya sendiri. Bayangkan hebatnya jika penyanyi-penyanyi kita yang sangat berbakat didukung?

Leave a Reply

  • (will not be published)


%d bloggers like this: