“Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu, siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran-kebesarannya!

Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangat nasionalnya kalau mendengarkan riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya, tentang kebesaran Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga dan Kediri dan Singasari dan Majapahit dan Pajajaran, kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung!

Siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di Madagaskar di Persia dan di Tiongkok.

Tetapi sebaliknya, siapakah yang tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian kebesarannya hari dulu itu pasti cukup kekuatan untuk mendatangkan hari kemudian yang indah pula, pasti masih juga mempunyai kebisaan-kebisaan menaik lagi di atas tingkat kebesaran di kelak kemudian hari.

Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat nyawa baru dan tenaga baru kalau ia membaca riwayat zaman dulu itu! Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa nasionalnya, lantas menyala lagilah api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.”

(Ir.Soekarno, dalam pidato pembelaannya di depan Pengadilan Kolonial Hindia Belanda, 1930)