philippines-flag

By Akhyari Hananto

Saya lupa nama dosen saya itu, benar-benar lupa, karena memang beliau sangat jarang hadir di kelas, dan sekali pun datang, hanya memberikan tugas, kemudian pergi lagi. Makanya saya lupa namanya. Yang saya ingat adalah bahwa mobilnya adalah ‘Timor’ keluaran 1992 warna biru, dan dia adalah alumni dari sebuah universitas di Manila, Filipina. Ha…Filipina?

Banyak dari generasi seumuran saya (apalagi yang lebih muda dari saya) yang akan terbengong-bengong mendengar cerita bahwa ada suatu masa ketika Filipina pernah menjadi kiblat pendidikan di Asia Tenggara. Itu terjadi pada tahun 1970’an ketika banyak mahasiswa-mahasiswa dari Malaysia, Indonesia, Thailand, belajar ke negeri yang disebut-sebut sebagai Mutiara Pasifik tersebut. Saya sempat bertanya kepada dosen saya di atas, kenapa memilih Filipina waktu itu, kenapa tidak ke Singapura atau Australia? Dan jawabannya adalah, Filipina sedikit banyak mewarisi tradisi pendidikan di Amerika Serikat, dan itu (katanya) cocok untuk Indonesia.

Entahlah…saya kok kurang yakin, karena saya sendiri pernah cukup lama berkeliling Filipina, dan sama sekali tidak sependapat. Atau mungkin di masa lalu memang begitu? Mungkin saja.

Tapi marilah kita melongok ke belakang untuk melihat sejarah Filipina. Negara ini pernah menjadi negara makmur secara ekonomi, bahkan pada 60an dan 7o-an awal, Filipina adalah negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di Asia setelah Jepang. Saya mempunyai beberapa edisi majalah National Geographic yang terbit pada tahun-tahun itu,  Jepang, Filipina, dan Iran adalah negara-negara yang paling banyak diperbincangkan, terutama untuk investasi, dan pendidikan.

Namun itu tak berlangsung terlalu lama.

Filipina lambat laut menukik tajam, dan mengalami kemunduran dramatis pada awal 80’an karena pemerintahan sentralistik dan mismanagement di era Ferdinand Marcos (salah satunya korupsi yang merajalela), dan pemberontakan di selatan dan komunisme,  sebelum akhirnya tumbang oleh people power yang digerakkan oleh Corazon Aquino. Di titik ini lah, Filipina mulai tak lagi kedengaran di Indonesia, dalam banyak hal. Jarang masuk berita, jarang meraih prestasi dunia. Kalaupun ada berita, tak banyak yang menggembirakan. Karena pemerintahan Aquino pun tak juga membawa banyak kemajuan ekonomi, olahraga, dan gagal mengembalikan kejayaan masa sebelumnya.

Dan kini sepertinya kebangkitan Filipina sedang mulai bersemi lagi..

Sebenarnya, awal-awal kebangkitan Filipina sudah saya rasakan ketika Benigno Aquino menjabat presiden 3 tahun lalu. Reformasi birokrasi, promosi dagang dan investasi, reformasi fiskal di sana-sini, mulai membuka banyak mata orang Filipina yang selama ini terkesan skeptis dan sinis terhadap masa depan ekonomi negaranya. Di berbagai berita di media Filipina, maupun di sosial media, mulai banyak sekali terlihat kembalinya semangat kebanggaan menjadi seorang Filipino, dan menggunakan kemampuan komunikasi bahasa Inggrisnya yang sudah baik, orang-orang Filipina sangat aktif di sosial media mempromosikan (terutama) pariwisata negaranya, juga potensi ekonomi, dan pencapaian2 yang telah mereka peroleh.

Saya merasakan ada collective pride dan collective motivation yang sinergis antara pemerintah, media, dan rakyatnya (setidaknya mereka yang aktif di media online). Hal ini tidak saya rasakan sama sekali pada waktu saya berkeliling Filipina pada akhir 2006, begitu banyak orang yang saya temui mengatakan hal yang sama ..”hopeless”.

Akhirnya, prediksi saya benar adanya, pertumbuhan ekonomi Filipina mulai meninggalkan Indonesia sejak 2012 lalu, Indonesia tumbuh 6.23%, sedangkan Filipina tumbuh 6.52%. Berlanjut ke triwulan I 2013, di mana Indonesia hanya tumbuh 6.02%, sedangkan Filipina tumbuh secara meyakinkan 7.8%. Di angka inilah mulai banyak pejabat pemerintah kita yang kemudian melontarkan komentar berbagai macam, karena pertumbuhan Filipina yang sudah lama berada di bawah Indonesia, kini tiba-tiba melambung tinggi.  Saya sendiri orang yang termasuk bahagia bahwa negara tetangga kita di utara itu bisa “merasakan” pertumbuhan tinggi setelah sekian lama “tenggelam”.

Pagi ini saya ditanya oleh seorang teman lewat BBM, apakah ini berarti Indonesia akan tertinggal (lagi) oleh Filipina untuk seterusnya? Sampai saat saya menulis ini, saya belum membalas BBM-nya. Namun saya sendiri agak ragu kalau Filipina bisa terus membukukan pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan, dengan berbagai alasan. Kalaupun memang Benigno Aquino lah penentu dan pemicu pertumbuhan tinggi ini, berarti umur pertumbuhan ekonomi akan tidak lama lagi berakhir, karena di Filipina, presiden hanya boleh menjabat selama 1 periode (6 tahun), dan tak boleh dicalonkan kembali. Artinya, umur masa emas ini tinggal…3 tahun lagi.  Kedua, ekonomi Filipina sangat bergantung pada remittance, atau kiriman uang dari tenaga-tenaga kerja Filipina di luar negeri, yang tiap tahun mengirimkan sekitar $ 23 milyar, (atau sekitar Rp. 230 trilyun), lebih dari 10% PDB Filipina yakni sekitar $224 milyar.

Birokrasi di Filipina lebih njlimet dibandingkan dengan di Indonesia, negara yang lebih kecil dari Indonesia itu (populasi dan ukuran), ternyata memiliki 80 propinsi!  Masing-masing propinsi dipimpin oleh gubernur yang bisa jadi berbeda haluan politik dengan presiden, sehingga cukup menyulitkan komunikasinya. Belum lagi isu-isu keamanan (terorisme, dan perang antar klan) yang hingga kini belum teratasi.

Di lain pihak, Filipina juga secara “berani” (saya lebih suka menggunakan kata “nekad”) menentang China terkait sengketa Laut China selatan. Filipina menggunakan kata-kata yang keras (cenderung kasar) pada China untuk menunjukkan ketidaksukaannya. Hal ini tentu sedikit banyak akan berpengaruh pada hubungan kedua negara, dan sayangnya, dalam hal ini Filipina lebih membutuhkan China daripada sebaliknya. Filipina juga punya hubungan kurang menyenangkan dengan Hongkong terkait tragedi penyaderaan di Filipina 3 tahun lalu , dan dengan Taiwan terkait penembakan nelayan Taiwan oleh tentara laut Filipina.

Ketiganya; China, Hongkong, Taiwan, adalah negara-negara kaya yang menjadi sumber penghidupan bagi ratusan ribu orang Filipina, baik langsung maupun tidak langsung. “Mengajak mereka berantem” tidaklah akan menyehatkan, tapi sebaliknya akan merugikan dan menyusahkan. Apa boleh buat, Filipina telah memilih jalan itu. Dan inilah yang membuat saya yakin, pertumbuhan ekonomi Filipina tidak sustainable (bisa jadi saya salah).

Lalu bagaimana sikap Indonesia menghadapi ‘raksasa’ yang baru bangun itu? Yang paling penting adalah mengambil pelajaran dari ‘keberhasilan’ Filipina itu, dan mengantisipasi agar posisi Indonesia tak terancam di mata investor global. Dan yang paling penting, jangan lagi memandang Filipina sebelah mata.