Kata seorang kawan saya, setidaknya ada 3 hal yang akan sanggup  menggerakkan hati orang Indonesia untuk bersatu dan melepaskan perbedaan, yakni Malaysia, sepakbola, dan bencana. Saya masih ingat ketika bencana gempa Jogja pada Juli 2006, sekonyong-konyong ribuan orang entah datangnya dari mana datang ke jogja dengan satu tujuan, membantu saudara-saudara sebangsanya mengangkat puing-puing gempa. Pun ketika Merapi bergelora 3 tahun lalu, tak terkira betapa bangganya saya ketika mendapat tawaran berpuluh keluarga di Bantul dan Kulonprogo (yang tak terdampak Merapi) untuk menampung keluarga besar saya selama mengungsi.

Ketika sedikit saja kita “bersinggungan” dengan Malaysia, saya juga merasakan gelora ‘satu nasib satu bangsa’ begitu besar, setidaknya saya rasakan itu di lingkungan saya. Pun ketika menjelang pertandingan timnas sepakbola kita di GBK. Semangat “satu” itu begitu terasa.

Tak begitu sulit ternyata untuk menyatukan (kembali) serak-serak semangat persatuan, saat politik dan kepentingan begitu lama mendera dan memporak-porandakan kita.

Dan kini, Tasripin adalah sosok ‘pemersatu’ itu. Anak kecil asal Banyumas yang harus menjaga dan memelihara adik-adiknya yang masih kecil itu seolah muncul dan menyelamatkan gelora perasaan itu, bahwa Tasripin dan adik-adiknya, juga mereka yang ada di ujung negeri, di mana saja, berada dalam satu lingkup raksasa bernama Indonesia.

Perhatian dan gelombang perhatian untuk Tasripin, adalah sebuah anomali di tengah gencarnya negatifisme di media mainstream kita. Boleh saja media massa setiap hari hiruk pikuk memberitakan politik dan selebritis, boleh saja media tanpa henti mengabarkan kekerasan dan pesimisme, tapi Tasripin yang kecil itu menyadarkan kita, bahwa jiwa dan karakter utama bangsa ini belum habis, namun bukan berarti tak bisa tergerus. Tugas kita semua untuk menjaganya, termasuk kawan-kawan media. Dan kita belum terlambat untuk itu..