DSC03856compress

Perhelatan Tokyo International Film Festival yang telah berlangsung sejak 20 Oktober 2012 meninggalkan banyak cerita indah untuk Indonesia. pasalnya, di festival film kenamaan yang diselenggarakan di Toho Cinemas Roppongi Hills, Tokyo ini, ada satu sesi yang dikhususkan untuk menampilkan film – film buatan tiga sineas ternama Indonesia, yaitu sesi Indonesian Express. Dalam sesi ini, sekitar tujuh film dari tiga sutradara Indonesia ditampilkan. Sutradara legendaris Indonesia, Garin Nugroho, menampilkan dua film terbarunya, Blindfold dan Soegija. Selain itu, Edwin, sutradara muda yang telah melanglang buana di berbagai festival film dunia juga datang dengan kedua filmnya, The Blind Pig Who Wants to Fly dan Postcard from The Zoo. Terakhir adalah Riri Riza, yang hadir di Tokyo membawa The Rainbow Troops, The Dreamer dan Atambua 39° Celcius.

Ketujuh film Indonesia ini, tanpa ragu, telah menarik minat masyarakat Jepang dan internasional saat pemutarannya. pada penayangan berbagai film Indonesia seluruh kursi dalam gedung bioskop selalu penuh terisi dan mayoritas penonton adalah masyarakat lokal. Di kesempatan lain, saat pemutaran perdana Atambua 39° Celcius baru saja selesai, penonton ramai bertepuk tangan dan banyak diantaranya rela mengantri untuk mendapatkan tanda tangan Riri Riza serta Mira Lesmana.

Tidak hanya itu, pada sesi talkshow dengan Edwin mengenai filmnya Postcard from The Zoo, banyak penonton menunjukkan antusiasmenya dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan kepada sang sutradara. Salah satu penonton bahkan memuji akting Ladya Cheryl di film tersebut dengan mengatakan ‘kirei’ yang artinya cantik atau indah.

Hal menarik juga terjadi saat sesi talkshow Atambua 39 Celcius. Salah seorang penonton berkewarganegaraan Jepang nampaknya terkesima melihat bagaimana film tersebut secara lugas menampilkan ibadah masyarakat kristen di Nusa Tenggara. ‘Bukankah Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Apakah tidak ada pertentangan antar agama disana?’ tanyanya pada Riri Riza. ‘ada banyak agama berkembang di Indonesia, dan masyarakat hidup rukun berdampingan karena memang begitulah Indonesia.’ jawab sang sutradara sambil tersenyum.

Selain itu, ketiga sutradara ini juga dibuatkan symposium spesial di Tokyo International Film Festival. Dalam symposium yang dihadiri oleh masyarakat Jepang itu, Garin Nugroho berkata, “Saya selalu ingin buat film yang penting untuk Indonesia. Saya tidak peduli soal pasar, saya hanya ingin berdialog lewat film kepada penonton.” Lanjutnya saat disinggung soal alasan ia membuat film.

Sementara itu, Edwin mengatakan bahwa ia memang tidak ingin membuat film biasa. “Saya selalu suka membuat film yang tidak mainstream. Kebun Binatang adalah film yang merupakan perwujudan dari mimpi – mimpi saya. Saya selalu suka dengan kebun Binatang, dan sejak dulu memang ingin membuat cerita soal itu. Banyak sekali hal yang saya angkat di film ini adalah hal yang sering terlupakan, dan kehidupan di Kebun Binatang adalah salah satunya.”

Ketiga sutradara ini memang berasal dari generasi yang berbeda, tetapi ada satu hal yang menyamakan mereka sehingga mereka bertiga bisa sama – sama berada di Tokyo International Film Festival; mereka tidak suka membuat film yang temanya biasa. “Film itu bagian dari seni, dan Indonesia sangat luas serta punya banyak sekali jenis kesenian, jadi saya akan terus membuat film yang berbeda – beda.” Tutur Riri Riza, yang diiringi anggukan oleh kedua rekan sineasnya.

Riri Riza adalah satu – satunya sutradara Indonesia di Tokyo International Film Festival tahun ini yang filmnya berhasil masuk dalam kompetisi di festival ini, bersaing dengan belasan film terpilih lain dari berbagai penjuru dunia. Filmnya Atambua 39° Celcius menceritakan mengenai kehidupan di Atambua, daerah tertinggal di Nusa Tenggara Timur. Film ini pertama kali diputar di Tokyo International Film Festival, dan akan ada di bioskop Indonesia mulai 8 November 2012.

Ketika ditanyai pendapatnya soal Indonesia dan Sumpah Pemuda, Garin Nugroho mengatakan bahwa anak muda Indonesia harus ‘nakal’ agar bisa berkembang. “’kenakalan’ itu harus ada agar bisa mengguncang orang sehingga mereka bisa tumbuh. Maksud dari ‘nakal’ ini adalah anak muda Indonesia harus kritis dan kreatif sehingga tidak kalah dengan konsumerisme dan radikalisme.”

ditulis oleh Farah Fitriani
Staf Biro Informasi & Teknologi PPI Jepang
Kontributor Good News From Indonesia