Nasi lemak with chicken rendang

by Akhyari Hananto

(catatan dari Kongres Diaspora Indonesia, Los Angeles 6-8 Juli 2012)

Tahukah anda, tahun lalu makanan asli Indonesia yakni Rendang, terpilih oleh CNNGo sebagai makanan paling lezat di dunia? Namun ternyata, mencari rendang di luar negeri sangatlah tidak mudah.

Bagi anda yang sering bepergian ke luar negeri, terutama negara-negara di Eropa, Amerika, Amerika Latin, Afrika, Australia, hingga kepulauan Pasifik, tentu akan menemukan kesulitan persis seperti yang saya rasakan. Saya pernah ke Inggris dan Skotlandia selama beberapa waktu, dan lidah Jogja saya meronta-ronta ingin merasakan masakan dengan bumbu Jawa, atau masakan padang, atau mie ayam, atau sekedar menyantap bakwan atau lumpia yang panas “manget-manget”. Masalahnya adalah selama 3 minggu saya di sana, saya tidak sekalipun menemukan warung Indonesia dengan masakan-masakan khas Indonesia, ataupun informasi tentang keberadaan mereka. Terpujilah orang-orang Thailand yang membuka puluhan warung-warung dengan masakan Thailand di London dan Skotlandia, sehingga kerinduan saya akan masakan berbumbu “sedikit sama dengan” Indonesia sedikit terobati. Warung-warung makan Vietnam juga bertebaran, dengan pilihan menu yang sebenarnya terbatas, yakni variasi-variasi dari makanan kebanggaan mereka, “Pho”.

Seorang teman saya berkewarganegaraan Russia pernah berkeliling pulau Jawa dan Bali untuk berwisata kuliner, dan diluar dugaan lidah Kaukasiannya bisa “menerima” bervariasinya rasa masakan Betawi, Sunda, Jawa Tengah, Jogja, Jawa Timur, hingga Bali. Dari masakan pedas khas Sunda yang dia makan di Cianjur, Sate Solo, hingga Bebek Goreng yang dia makan di Bangkalan, Madura, dia menyukainya. “Orang Indonesia tidak bisa makan tanpa sambal, Kerupuk, dan garam. Dan itu sangat khas” katanya pada saya. Cukup mengherankan, katanya, bahwa sangat sedikit restoran di luar negeri (kecuali di Malaysia, Singapura, dan Brunei) yang menjual masakan Indonesia. “Kalaupun ada, mereka umumnya tidak dikelola secara profesional, tidak terkoordinasi, dan hanya sebagai “sumber” pendapatan semata, dan bukan untuk promosi Indonesia” tambahnya.

Dengan adanya berjuta masyarakat Indonesia (atau berdarah/keturunan Indonesia) di mancanegera, tidak sulit kiranya memulai menyebarkan aroma-aroma khas masakan Indonesia di luar negeri. Hanya masalahnya, tidak seperti Thailand, pemerintah Indonesia belum mempunyai wadah yang mengorganisasi keinginan-keinginan itu. Kalau kita ke restoran Thailand, mereka umumnya dikelola secara profesional, dengan menu dan rasa yang ‘baku’, dan pemiliknya cukup percaya diri mengelola restoran tersebut karena meyakini bahwa masakan Thai mempunyai segmen pasar yang kuat. Dan membentuk segmen ini sangatlah sulit, campur tangan pemerintah Thailand selama berpuluh tahun ternyata mampu membuat restoran-restoran Thailand berkembang sangat pesat di dunia. Jangan tanya kontribusi restoran-restoran Thailand tersebut terhadap membanjirnya turis asing ke negara tersebut.

Dalam skala yang lebih kecil, cerita yang sama terjadi pada Upin-Ipin. Ketika bertemu dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu di Kongres Diaspora di Los Angeles minggu lalu, beliau mengatakan bahwa film animasi Garfield ternyata dibuat oleh para animator Indonesia yang bermarkas di Batam. Pun serial Doraemon, Detective Conan, Sailormoon, Pokemon, dan lain-lain yang kartunnya digambar para kartunis anak negeri di Bali. Lalu apa hubungannya dengan Upin-Ipin? Diakui atau tidak, suka atau tidak, serial anak-anak Upin-Ipin berhasil mengharu-biru TV-TV kita sejak beberapa tahun terakhir ini, Upin dan Ipin..serta kakak dan Oma-nya yang baik hati, telah berhasil membentuk karakter anak-anak kita. Les Chopaque, sang pembuat serial tersebut, tentu sangat berbangga hati melihat hasil karyanya diputar hampir setiap hari di Indonesia, dan menjadi buah bibir serta favorit anak-anak, hingga orang tua. Tanpa kita sadari, Malaysia dengan manis menyelipkan elemen-elemen promosi dan diplomasi negerinya ke serial tersebut, dan tentu saja hal itu halal-halal saja. “Salah sendiri kita ‘gak bikin yang sebagus Upin-Upin” kata seorang teman saya yang anak-anaknya tidak pernah lepas menonton Upin-Ipin.

Pertanyaan selanjutnya tentu saja bukan apakah kita mampu membuat hal sebagus atau lebih bagus dari Upin-Ipin, karena seperti yang saya sampaikan di atas, animator kita sudah mempunyai reputasi global, namun lebih kepada kemauan, organisasi dan koordinasi, antara para animator, rumah produksi, hingga fasilitas dan dukungan pemerintah. Animator kita juga secara aktif terlibat langsung dalam film Shrek, Iron Man, Transformer, The Adventure of Tin-tin dan film-film kelas dunia yang lain. Mereka tentu mempunyai kemampuan animasi di atas rata-rata, hingga Hollywood mempercayakan film-filmnya kepada mereka. Dan yakinlah, ketika ada panggilan pertiwi, mereka akan bersedia mengulurkan tangan dan berbagi ilmu dengan para animator tanah air, pun turun langsung membangun film animasi dalam negeri.

Kongres Diaspora Indonesia 2012 di Los Angeles yang berlangsung pada 6-8 Juli lalu telah menyepakati berbagai platform kerja ke depan, diantaranya adalah bagaimana agar para para inovator Indonesia di luar sana, bisa berbagi ilmu tidak hanya menciptakan karya yang baik, namun juga marketable. Kongres itu juga menyepakati bahwa pemerintah akan membentuk task force mempromosikan kuliner Indonesia di luar negeri, dengan ‘memanfaatkan’ orang-orang Indonesia yang telah berdomisili lama di luar negeri. Sebuah cita-cita maha luhur.

Tidak hanya kuliner dan film animasi saja. Perlu diingat bahwa para diaspora Indonesia, baik yang WNI maupun yg sudah menjadi warga negara asing, memiliki resource dan brain power yang luar biasa, yang kadang langka. Mereka juga mempunyai idealisme tinggi, mereka tanpa henti berupaya untuk erkarya demi kepentingan ibu pertiwi, membantu membuat terobosan dan perubahan, untuk kemajuan bangsa dan negara. Lihatlah Sehat Sutardja, seorang Indonesia, sang maestro pembuat chip yang produknya dipakai Apple, Blackberry, dan Android yang merajai Silicon Valley di California berkata “I have now reached a point in my life where i have begun to think more about my past and my heritage” (Saya telah sampai pada suatu titik dimana saya mulai berpikir tentang masa lalu, dan warisan apa yang bisa saya tinggalkan”.

Kita perlu mendukung usaha besar ini. Orang-orang Indonesia, atau mereka yang berdarah Indonesia yang tinggal di luar negeri, mempunyai dua ciri yang sama : mereka mempunyai kekuatan besar, namun diwaktu yang bersamaan, mereka juga tercerai berai. Ibarat ribuan titik-titik yang tidak terhubung, baik sesama mereka, maupun antara mereka dengan tanah air. Usaha apapun untuk menghubungkan titik-titik tersebut perlu didukung dan harus dilakukan dengan terencana dan berkesinambungan. Saya berharap, proses konektifitas antara para inovator dan perintis dengan para pemangku kepentingan tidak berjalan terlalu lama, sehingga di TV2 kita, pun di TV2 luar negeri sana, akan muncul film2 indonesia, dan akan lebih mudah mencari Rendang di jalan2 di Edinburg, Skotlandia.