93107575

Mengintegrasikan Konsep “CSR” Sejak Awal Membangun Usaha

Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) biasanya diasosiasikan dengan perusahaan-perusahaan besar deengan multi million dollar aset. Tapi Titik Winarti punya konsepnya sendiri dalam memaknai konsep Corporate Social Responsibility dalam menjalankan bisnisnya. Konsep inilah yang akhirnya membawa Titik untuk berpidato di depan Sidang Umum PBB dalam International Year of Microcredit di depan ratusan intelektual dan diplomat yang mewakili berbagai negara di tahun 2005.

Dimulai dari keinginan mengisi waktu luang dengan kegiatan yang produktif tanpa harus kehilangan waktu dalam mendidik anak-anaknya, bisnis kerajinan tangan produksi Titik Winarti dengan label “Tiara Handicraft” kini telah menjamah berbagai negara. Titik Winarti pun laris diundang ke berbagai forum untuk berbagi pengalaman tentang bisnisnya yang sejak awal sarat dengan muatan Corporate Social Responsibility didasari dengan keinginan berbagi dan membantu sesama.

Beliau di PBB. (Foto koleksi pribadi)

Awalnya usaha Titik dibangun dengan modal mesin jahit bekas dari mertuanya tanpa karyawan. Dari 8 hanya memiliki 8 karyawan di akhir tahun 1990-an, kini usaha Titik berkembang pesat dengan 43 karyawan. Yang istimewa, dari 43 karyawan tersebut, hanya 5 di antara mereka yang bukan penyandang cacat. “Saya tidak pernah secara sengaja merekrut penyandang cacat,” kata Titik Winarti dalam sebuah perbincangan di kediamannya di kawasan Sidosermo, Surabaya. Sejak awal membangun usaha ini, saya tidak pernah menetapkan kriteria apapun. Tidak harus bisa menjahit, tidak harus berijasah, asal punya kemauan belajar dan mau bekerja keras, saya mau menerima,” kata Titik. Dari situlah, dari memiliki satu pekerja yang penyandang cacat, dengan metode gethok tular akhirnya banyak penyandang cacat yang datang untuk bekerja di Tiara Handicraft. Uniknya, para karyawan ini juga dianggap sebagai bagian dari keluarga Titik Winarti, karena mereka makan dan tidur bersama keluarga Titik.

Karyawan beliau di Surabaya (foto koleksi pribadi)

Usaha Titik yang dilandasi semangat membantu sesama inilah yang membuatnya memenangkan kompetisi UKM yang digelar oleh Universitas Indonesia di tahun 2004. “Ketika memberikan presentasi di depan tim juri di Jakarta, saya mempresentasikan tentang usaha saya yang justru tidak menggunakan prinsip manajemen modern atau teori bisnis apapun.. Sebagai contoh, ada produk yang memerlukan 1 orang tenaga kerja yang normal, tetapi karena dikerjakan oleh penyandang cacat, maka dibutuhkan 2 orang untuk menyelesaikan produk tersebut. Dalam kacamata bisnis, saya dirugikan karena ongkos produksi menjadi lebih besar. Tetapi saya memiliki argumen sederhana bahwa dalam teori manajemen modern, ada satu hal yang terlupakan yaitu konsep “rejeki”. Allah sudah menjanjikan bahwa setiap hambanya memiliki rejekinya sendiri. Dengan menggunakan tenaga kerja dua orang, maka ada dua jalan rejeki yang terbuka sementara dengan satu tenaga kerja, hanya satu pintu rejeki yang dibuka Allah. Alhamdulillah, konsep “nyeleneh” yang berdasar prinsip lillahi ta’ala ini justru membawa saya menjadi wakil Indonesia untuk hadir di sidang PBB di New York tahun 2005,” kata Titik

Tiba di New York, Titik sama sekali tak berpikir bahwa ia harus menyampaikan pidato. “Ketika ditanya konsep pidato saya, saya langsung kaget karena saya tak menyiapkan pidato apapun,” kenang Titik. Akhirnya hanya bermodal Bismillah, Titik menyampaikan pidatonya tanpa konsep. “Mungkin karena penerjemah saya dari UI sangat pandai dalam menyampaikan isi pidato saya jatah waktu 10 menit yang diberikan menjadi molor, bahkan tak sedikit peserta sidang yang menangis ketika saya menyampaikan bahwa penyandang cacat sering tak kebagian tempat di dunia kerja,” kata Titik sambil tertawa. Di akhir pidato, para hadirin pun berdiri memberikan standing-ovation. Istri Sekjen PBB Kofi Anan pun menyampaikan apresiasinya. Ternyata konsep yang sering disebut sebagai Corporate Social Responsibility bisa dimulai sejak awal bisnis didirikan, tidak hanya ketika sukses atau sekedar untuk menggugurkan kewajiban.

Sepulang dari menghadiri sidang PBB, usaha Titik pun makin dikenal. Tahun 2007, dia diundang oleh pemerintah A.S. untuk ke Amerika dan belajar tentang usaha kecil menengah serta kewirausahaan di A.S.Hasilnya, dia membangun jaringan bisnis untuk memasok produk ke pengusaha A.S. yang menjalankan bisnis “batik tambal” di Amerika. Tak lama berselang, ia pun juga berkesempatan mengikuti pameran usaha di Australia dan produknya tak pernah absen di berbagai pameran kerajinan tingkat nasional maupun internasional.

“Bagi saya, pencapaian tertinggi bagi seorang wanita adalah ketika ia bermanfaat bagi keluarganya, terutama bisa menjadi pendamping anak-anaknya tumbuh dewasa,” kata Titik sambil menggendong si bungsu yang masih berusia 4 tahun. Dengan menjalankan bisnis tersebut, kata Titik, ia tak kehilangan waktu sedetik pun untuk mendampingi keempat anaknya tumbuh dewasa. “Dan yang terpenting tak hanya keluarga yang mendapatkan manfaat dari usaha saya, tapi juga para karyawan yang sudah menjadi bagian keluarga saya,” kata Titik menutup perbincangan di suatu pagi di kediaman sekaligus tempat produksinya di kawasan Perumahan Sidosermo Surabaya. Sementara itu, di ruang kerjanya beberapa mahasiswa sudah menunggu giliran untuk “berguru” dari Titik dalam rangka penulisan tugas akhir kuliah tentang kewirausahaan. Ya, Titik Winarti, adalah sumber inspirasi bagi banyak orang. Tak terkecuali saya.

Esti Durahsanti