Categorized | Artikel, General, MSN

P K L

PKL: Disayang dan di Gusur.
Oleh: A. Cholis Hamzah *).

PKL yang masuk dalam kategori sektor informal dimana – mana (terutama di negara berkembang) kerap kali menjadi perbincangan publik – secara sepihak, karena lembaga ini selalu di konotasikan sebagai lembaga ekonomi yang mengganggu ketertiban umum. Dikatakan sepihak juga dalam artian bahwa dalam setiap perhitungan indikator makro ekonomi, peran PKL ini jarang sekali dimasukkan sebagai variable yang penting. Padahal kalau kita melihat anatomi perekonomian sebuah kota besar di negara-negara berkembang, sekitar 30-40% penduduknya berada dalam sector ini. Dalam satu penelitian tentang sektor informal ini di Indonesia tahun 1998 ditemukan bahwa ada sekitar 43 juta orang di daerah pedesaan dan 14 juta orang di daerah perkotaan atau sekitar 65% dari total angkatan kerja (CBS, 2001, Hugo, 2000).

Penyebutan istilah sektor informal ini bermacam-macam tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Misalnya saja – selain sektor informal ada yang menyebut sebagai “ekonomi yang tidak diatur” atau “unregulated economy”, ada juga menyebut “sektor yang tidak terorganisir” atau “unorganized economy” atau ada juga yang menyebut “unobserved employment”. Apapun sebutan yang diterima, sektor ini adalah unit-unit ekonomi dan pekerja yang terlibat dalam berbagai kegiatan usaha dan pekerjaan diluar sektor formal. Dalam kontek perkotaan sector ini adalah unit-unit usaha kecil non formal yang menyediakan barang dan jasa dan karena itu melibatkan “cash economy” dan “market transaction”, dan pada umumnya berada di area publik seperti jalan, trotoar dan karena itu dikenal sebagai “street vendors” atau PKL yang kita kenal saat ini. Lembaga ini jarang atau bahkan dapat dikatakan tidak pernah berhubungan dengan lembaga perbankan.

Keberadaan PKL ini di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta Bandung, Jogyakarta dan kota-kota lainnya seringkali menjadi menimbulkan perdebatan publik karena menjadi variable “pengganggu” bagi ketertiban dan kenyamanan kota. Ada yang dengan marah memberi solusi bagaimana “menghilangkan” keberadaan PKL ini dengan cara: “Jangan Membeli!”, alasannya kalau kita sebagai konsumen tidak membeli produk mereka, mereka akan mati dengan sendirinya. Ada juga yang menggunakan cara-cara seperti dalam pertempuran: “Clear the Street, and Demolish them” atau “bersihkan mereka dari jalan-jalan dan hancurkan tempat mereka”. Namun pada kenyataanya solusi seperti ini sulit, karena ternyata prosentasi penduduk yang mempunyai pendapatan rendah (kadang-kadang) menengah – sebagai konsumen sangat membutuhkan jasa PKL ini karena mereka ingin mendapatkan harga murah. Penggusuran juga bukan sebagai solusi yang paling tepat, sebab selama perekonomian secara umum masih belum pulih, maka semakin lama orang tidak memiliki pekerjaan dan akhirnya semakin tinggi jumlah sektor ini, karena sektor inilah yang menjadikan jalan pintas untuk bangkit dari penderitaan ekonomi itu. Sebagai contoh keberhasilan Polisi atau Pamong Praja membersihkan PKL dimana-mana ternyata bisa dikatakan “belum” berhasil karena PKL-PKL itu sekarang pindah ke tempat lain misalnya di bantaran sungai. Selama tidak ada solusi yang integral maka kejadian: “digusur – pindah, digusur – pindah” akan terus berlanjut.

Perlu diketahui bahwa Indonesia ini adalah salah satu negara yang memiliki sektor informal (baik di desa dan kota) terbanyak di dunia. Dan menurut berbagai laporan, pertumbuhannya semakin meningkat akhir- akhir ini. Jatuhnya perekonomian nasional antara tahun 1997-1999 yang menyebabkan dilikuidasinya bank-bank, ditutupnya pabrik-pabrik dan berbagai perusahaan lainnya telah memberi kontribusi besar dalam peningkatan tenaga pengangguran dan akhirnya masuk ke sektor informal seperti PKL ini.

Setuju atau tidak setuju tentang keberadaan sektor ini, yang jelas sektor informal (termasuk PKL) menurut Bank Dunia adalah bagian dari perekonomian local maupun nasional, dan walaupun pendapatan mereka itu “rendah”, namun kalau di kumpulkan secara agregat jumlahnya diluar bayangan orang kebanyakan, lihat saja uang yang berputar di pasar Keputran setiap harinya bisa mencapai puluhan (atau ratusan) juta rupiah. Bank Dunia ini juga mengakui bahwa sector ini berperan langsung dalam mengurangi kemiskinan karena income yang didapat melebihi dari upah minimum yang berlaku di perusahaan. Kadang-kadang aktivitasnya bertolak belakang dengan pendapat ahli ekonomi dunia yang mengatakan bahwa salah satu ciri sektor informal seperti PKL ini adalah “lack of access to economies of scale” artinya mereka ini dikatakan tidak mampu membeli barang dalam jumlah banyak (in bulk). Dalam beberapa hal pernyataan ini ada benarnya kalau yang dimaksud itu adalah PKL yang ukuran economies-nya sangat kecil, tapi kenyataanya arus uang yang beredar di pedagang – pedagang non formal di Keputran, Tanah Abang di Jakarta dan Klewer di Solo membuktikan kebalikan pernyataan diatas, karena omzetnya bisa-bisa sampai milyran.

Kalau begitu sekarang bagaimana kita semua menghadapi dilemma tentang perlu tidaknya PKL ini. Coba kita melakukan “Studi Banding” – seperti yang “sering dilakukan” teman-teman anggota DPRD – ke Singapura. Negara kecil ini juga mempunyai PKL seperti yang ada di Surabaya, bedanya keberadaan mereka itu masuk dalam kebijaksanaan ekonomi negara. Pemerintah Singapura menyediakan lahan dan fasilitas yang baik – seperti air, bagi mereka dan dengan pembinaan yang serious keberadaan mereka ini malahan menjadi objek turis manca negara. Penulis pernah diberi tahu oleh “Bapak Angkat” (keluarga angkat dalam program pertukaran pemuda ASEAN – Jepang tahun 1982) ketika mengunjungi negara ini, bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1997/98 yang juga melanda Singapura, pemerintah memberikan ijin dan fasilitas bagi penduduk yang kurang mampu (untuk ukuran Singapura) untuk membuka warung atau kaki lima di depan (wilayah) apartemen mereka. Akibatnya kalau kita menuju daerah pemukikan Yishun dan Woodland (dekat dengan Johor Malaysia), kita menjumpai warung-warung itu di pinggir jalan dengan tertata rapi dan dengan penerangan lampu yang menarik di waktu malam. Tentunya tidak sampai meluber ke jalan raya sehingga menimbulkan kemacetan. Wartawan Jawa Pos di Washington – Ramadhan Pohan dengan istrinya pernah mengajak istri penulis belanja barang-barang murah di salah satu pusat PKL ibu kota AS itu. Pendek kata, di negara-negara manapun didunia maju keberadaan PKL itu tetap dipelihara dan dijadikan obyek wisata yang “wajib” dikunjungi.

Solusi yang lebih bersifat intergral perlu di terapkan, antara lain perlu adanya identifikasi pemetaan sifat atau jenis PKL, kemudian hal ini perlu dihubungkan dengan kebijaksanaan “City Planning” atau perencanaan kota, dalam artian pembuatan perencanaan kota ini harus memasukkan variable PKL didalamnya. Tanpa adanya political will dari semua pihak akan hal ini maka penyelesaian permasalahan PKL ini akan terkesan hanyalah kebijaksanaan tambal sulam saja.

*) Drs. Ec. Ahmad Cholis Hamzah, MSc, adalah alumni Imperial College University of London, sekretaris I Ikatan Alumni FE Unair, dosen STIE Perbanas, STIESIA Surabaya.

VN:F [1.9.11_1134]
Rating: 0.0/5 (0 votes cast)
VN:F [1.9.11_1134]
Rating: 0 (from 0 votes)

Popularity: 1% [?]

Share this Good News!
  • Print
  • Digg
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google Bookmarks
  • email
  • Reddit
  • Technorati
  • Twitter
  • Yahoo! Buzz
  • Tumblr
  • LinkedIn
  • MySpace

This post was posted by:

Akhyari - who has posted 835 posts on Good News From Indonesia.


Contact the author


Leave a Reply

Design your own t-shirt at ooShirts.com!

GNFI’s Charity Project

GNFI Channels


ShoutMix chat widget

counter
Share

Good News by Month

Meta